Kamis, 18 Desember 2014

,Aku suka wangi hujan. Karna KAMU.

.Hujan...
.Entah berapa kali hujan turun di kota atlas ini. Aku tak sempat memikirkannya. Aku tak sempat membacanya. Dan aku tak sempat mempedulikannya.
.Sesekali aku mencoba membangkitkan gairahku untuk tetap bersemangat. Tetap menegakkan daguku dengan bangga. Bahwa aku masih memiliki keberanian menatap rintik-rintik hujan itu.
.Pagi...lalu menjani siang. Siang dengan teriknya, lalu berubah sore. Sore yang kemilaunya elok, lalu berubah semakin gelap. Malam.
.Hujan...
.Ingatanku masih segar. Tak ada kecacatan sedikitpun, seperti yang pernah ia katakan padaku. Aku gila. Karena tak bisa beranjak dari masa itu. Dia mengatakan aku bodoh. Karena aku masih belum bisa melihat kenyataan. Dia mengatakana aku lemah. Karena aku tetap menangis ketia menyaksikan dua arogansi dihadapanku.
Akh, itu hanya tentang perspektifnya saja.
.Masih terekam jelas, sangat jelas, dan begitu jelas. Bagaimana hujan kali pertamanya kau meninggalkanku. Tanpa pesan. Tanpa kata. Tanpa pamit. Danpa kejelasan.
.Aku tak menangis. Aku tersenyum dengan satu sisi.
.Aku tersenyum dengan satu kepedihan.
,Yah...
,Ini tahun keempat hujan membasahi pipiku, berlarian dengan tetes demi tetes air mataku.
Ya sudahlah...
Ya sudahlah...
Dia mengatakan dua kata itu berkali-kali.
Baiklah...
Baiklah...
Aku mengakhiri perbincanganku dengan hujan dan kamu.
Kita akhiri cerita ini... Kita akhiri kisah ini dengan keikhlasan.
Hujan...
Dan kamu... Adalah dua keegoisan yang berbeda...