“
Cettaarrr….”
Pecahan
kaca itu bagaikan petir yang menyambar tubuhku. Suara yang berhasil
mengagetkanku dari lamunan panjangku. Spontan, aku langsung mencari sumber
suara itu. Saat berbalik, ternyata hanya sebuah kaca yang pecah entah kenapa.
Saat itu, aku sedang asyik melamun di tempat semediku, taman belakang
perpustakaan. Taman itu memang taman paling asyik untuk mealamun. Dimana,
manusia jarang ada yang melewati atau bahkan singgah di sini. Aku akui, tamannya
memang pendiam. Sulit untuk menarik perhatian murid untuk singgah di kursinya.
Tapi keistimewaan itulah yang membuatku sering melampiaskan semua masalahku
kepada taman itu. Benda mati yang tak bisa memberikan solusi untuk semua
masalahku. Tapi, cukup setia untuk menemaniku saat waktu galau.
Saat
itulah aku teringat tentang suatu hal yang masih belum jelas baik atau
buruknya. Tapi, aku teingat dengan teman yang dulunya sangat aku benci. Tapi
lambat laun, dia adalah best friendku. Karena, saat di tempat itulah aku kali
pertama melihatnya. Analah orang yang paling berjasa dalam hidupku. Walaupun
saat pertama kali mengenal dia, hanyalah sebuah kebencian yang pertama ku
lihat.
Siang
yang sunyi itu, tiba-tiba ada sebuah pengumuman
“
Kepada semua siswi kelas x diharapkan masuk ke kelas.”
Saat
jam terakhir, tiba-tiba Ana masuk kelas dan duduk di sampingku. Aku bingung dan
kaget saat ia duduk di sampingku. Sok alim, sok pintar, sok natural, itulah Ana
yang ku kenal.
Lambat
laun aku mulai berpikir. Kalau ada dia hidupku menjadi teratur. Melihat dia
sholat, hatiku bergerak untuk mengikutinya. Pulang sekolah, aku lihat dia pergi
ke masjid. Tak sadar, saat itu aku pun mengikutinya. Sampai aku pun ikut
sholat.
“
Kenapa kamu juga di sini?” tanyanya
“
Emang yang boleh ada di sini hanya kamu?”
“
Nggak juga sih, ya udah aku minta maaf”
Tanpa
Ana, mungkin aku akan menjadi gula di
tengah semut. Dan tanpa Ana, aku akan menjadi sampah di tengah meja. Besok
kalau ajalku sudah datang, mungkin kau bisa berterima kasih pada Ana.
Kulihat
ada tulisan di atas meja. Saat kubaca, “Kafir”. Itulah tulisan di kertas itu.
Spontan aku langsung berteriak kencang “ Siapa yang berani-beraninya ngatai aku
kafir?”
“
Nggak tau Lin,” serentak teman-temanku menjawab
“
Mungkin itu dari orang yang membencimu”
“
Aku yang nulis itu.” Suara seseorang mengagetkanku dari belakang. Aku langsung
membalik badan, dan ternyata..
“
Ana???”
“
Apa maksudmu?” aku geram
“
Kau memang kafir kan?” jawab Ana singkat
Tarrrrr…
telapak tanganku langsung mendarat di pipinya.
“
Sakit Linda!!!”
“
Itu hukuman bagi orang yang ngatain aku kafir” jawabku sewot
“
Kamu islam kan?”
“
Iya”
“
Lantas, kenapa kamu jarang sekali sholat? Kenapa kamu belum bisa membaca
al-quran? Kamu nggak tau kalau itu disebut kafir?” jawabnya dengan nada tegas.
Aku langsung lari meninggalkan kelas.
Taman
itu. Lagi-lagi menjadi tempat persandaranku. Aku langsung merenung. Nangis,
jika mengingat semua ucapan Ana. Saat itulah aku sangat membenci Ana.
Jumat,
27 September, tiba-tiba ada seuntai kertas di atas mejaku.
“
Salahnya perlakukan di dunia, bisa menjadi factor penentu masuk surge atau
neraka. Semua manusia di dunia ini ibarat robot yang harus nurut kepada pemiliknya.
Kita, manusia hanyalah sebuah robot buatan Allah swt yang harus nurut untuk
menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Kalau robot salah,
pemiliknya akan marah dan senantiasa menghukum yang salah. Sedangkan kalau
robotnya menurut, pemiliknya akan memberinya hadiah. Apa kamu tidak lihat
banyak orang yang celaka. Dimana orang itu sudah melupakan penciptanya. Kamu
tidak takut? Apa susahnya sih kamu nurut sama penciptamu? Unutk yang kemaren,
maaf sudah mengatakan ini orang kafir. Aku hanya ingin kamu berubah. Ayo bangun
dari mimpi burukmu.
Tertanda : pipi robot yang tertampar”
Tak
sadar, air mataku sudah membasahi kertas itu. Hatiku terketuk saat membacanya.
Ketakutan menyertaiku. Neraka atau surgakah yang akan diberikan kepadaku?
Lagi-lagi
aku berlari menuju kamar itu. Taman yang biasa leluasa memarahi diriku sendiri.
Ternyata selama aku hidup, aku sudah memesan tiket untuk ke neraka. Dan,
mengabaikan tiket untuk ke surga.
“
Ya Allah, kenapa baru sekarang kau menyadarkanku? Aku harus berterima kasih
kepada penulis surat ini”
“
Ana.. Ana,…Ana..” aku memnaggil penulis surat ini sambil menangis memeluknya
“
Ana, terima kasih” sambiil memegang tangannya dan melepaskan pelukanku
“
Kenapa harus berterima kasih? Apa yang telah ku lakukan?”
“
Karena suratmulah aku bangun. Aku juga mau minta maaf atas segala kesalahanku.”
“
Sudahlah, yang terpenting adalah sekarang kamu sudah sadar”
Kami
berdua menjadi teman akrab. Dulu, aku belum berjilbab. Tapi semenjak kejadian
itu, sekarang aku sudah berjilbab. Kami berdua merupakan pasangan yang
sama-sama menyicil membeli tiket masuk surge.
Semuanya
tiba-tiba berakhir, ketika Ana jatuh saat sholat, dan menghembuskan nafas
terakhirnya. Saat itu, kami berdua sedang sholat jumat di masjid Al-Ikhlas
Ungaran.
Aku
begitu kaget melihatnya.
“
Ana.. ana.. ana bangun..” hanya tangisan dan penyesalan yang aku lakukan saat
itu juga.
“
Ya Allah.. ada apa dengan Ana? Apa dia sudah berhasil membeli tiketnya?”
Sore
itu, aku dengar keluarga mengunjungi pemakamannya. Hatiku benar-benar terpukul
ketika bestfriendku berangkat keluar meninggalkanku sendiri. Semenjak saat itu,
aku menjadi tambah semangat untuk melakukan kebaikan. Dan, kenanganku saat
bersama Ana adalah sebuah motivasi yang mendorongku untuk menjadi orang yang lebih
baik. Sampai sekarang, aku masih mengingat semua kejadian itu.