Senin, 22 September 2014

SEUTAI KERTAS PERUBAH ROBOT (Lutfi Rokhyatul Mu'asiroh)


“ Cettaarrr….”
            Pecahan kaca itu bagaikan petir yang menyambar tubuhku. Suara yang berhasil mengagetkanku dari lamunan panjangku. Spontan, aku langsung mencari sumber suara itu. Saat berbalik, ternyata hanya sebuah kaca yang pecah entah kenapa. Saat itu, aku sedang asyik melamun di tempat semediku, taman belakang perpustakaan. Taman itu memang taman paling asyik untuk mealamun. Dimana, manusia jarang ada yang melewati atau bahkan singgah di sini. Aku akui, tamannya memang pendiam. Sulit untuk menarik perhatian murid untuk singgah di kursinya. Tapi keistimewaan itulah yang membuatku sering melampiaskan semua masalahku kepada taman itu. Benda mati yang tak bisa memberikan solusi untuk semua masalahku. Tapi, cukup setia untuk menemaniku saat waktu galau.
            Saat itulah aku teringat tentang suatu hal yang masih belum jelas baik atau buruknya. Tapi, aku teingat dengan teman yang dulunya sangat aku benci. Tapi lambat laun, dia adalah best friendku. Karena, saat di tempat itulah aku kali pertama melihatnya. Analah orang yang paling berjasa dalam hidupku. Walaupun saat pertama kali mengenal dia, hanyalah sebuah kebencian yang pertama ku lihat.
            Siang yang sunyi itu, tiba-tiba ada sebuah pengumuman
            “ Kepada semua siswi kelas x diharapkan masuk ke kelas.”
            Saat jam terakhir, tiba-tiba Ana masuk kelas dan duduk di sampingku. Aku bingung dan kaget saat ia duduk di sampingku. Sok alim, sok pintar, sok natural, itulah Ana yang ku kenal.
            Lambat laun aku mulai berpikir. Kalau ada dia hidupku menjadi teratur. Melihat dia sholat, hatiku bergerak untuk mengikutinya. Pulang sekolah, aku lihat dia pergi ke masjid. Tak sadar, saat itu aku pun mengikutinya. Sampai aku pun ikut sholat.
            “ Kenapa kamu juga di sini?” tanyanya
            “ Emang yang boleh ada di sini hanya kamu?”
            “ Nggak juga sih, ya udah aku minta maaf”
            Tanpa Ana, mungkin aku akan menjadi gula di tengah semut. Dan tanpa Ana, aku akan menjadi sampah di tengah meja. Besok kalau ajalku sudah datang, mungkin kau bisa berterima kasih pada Ana.
            Kulihat ada tulisan di atas meja. Saat kubaca, “Kafir”. Itulah tulisan di kertas itu. Spontan aku langsung berteriak kencang “ Siapa yang berani-beraninya ngatai aku kafir?”
            “ Nggak tau Lin,” serentak teman-temanku menjawab
            “ Mungkin itu dari orang yang membencimu”
            “ Aku yang nulis itu.” Suara seseorang mengagetkanku dari belakang. Aku langsung membalik badan, dan ternyata..
            “ Ana???”
            “ Apa maksudmu?” aku geram
            “ Kau memang kafir kan?” jawab Ana singkat
            Tarrrrr… telapak tanganku langsung mendarat di pipinya.
            “ Sakit Linda!!!”
            “ Itu hukuman bagi orang yang ngatain aku kafir” jawabku sewot
            “ Kamu islam kan?”
            “ Iya”
            “ Lantas, kenapa kamu jarang sekali sholat? Kenapa kamu belum bisa membaca al-quran? Kamu nggak tau kalau itu disebut kafir?” jawabnya dengan nada tegas. Aku langsung lari meninggalkan kelas.
            Taman itu. Lagi-lagi menjadi tempat persandaranku. Aku langsung merenung. Nangis, jika mengingat semua ucapan Ana. Saat itulah aku sangat membenci Ana.
            Jumat, 27 September, tiba-tiba ada seuntai kertas di atas mejaku.
            “ Salahnya perlakukan di dunia, bisa menjadi factor penentu masuk surge atau neraka. Semua manusia di dunia ini ibarat robot yang harus nurut kepada pemiliknya. Kita, manusia hanyalah sebuah robot buatan Allah swt yang harus nurut untuk menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Kalau robot salah, pemiliknya akan marah dan senantiasa menghukum yang salah. Sedangkan kalau robotnya menurut, pemiliknya akan memberinya hadiah. Apa kamu tidak lihat banyak orang yang celaka. Dimana orang itu sudah melupakan penciptanya. Kamu tidak takut? Apa susahnya sih kamu nurut sama penciptamu? Unutk yang kemaren, maaf sudah mengatakan ini orang kafir. Aku hanya ingin kamu berubah. Ayo bangun dari mimpi burukmu.
Tertanda : pipi robot yang tertampar”
            Tak sadar, air mataku sudah membasahi kertas itu. Hatiku terketuk saat membacanya. Ketakutan menyertaiku. Neraka atau surgakah yang akan diberikan kepadaku?
            Lagi-lagi aku berlari menuju kamar itu. Taman yang biasa leluasa memarahi diriku sendiri. Ternyata selama aku hidup, aku sudah memesan tiket untuk ke neraka. Dan, mengabaikan tiket untuk ke surga.
            “ Ya Allah, kenapa baru sekarang kau menyadarkanku? Aku harus berterima kasih kepada penulis surat ini”
            “ Ana.. Ana,…Ana..” aku memnaggil penulis surat ini sambil menangis memeluknya
            “ Ana, terima kasih” sambiil memegang tangannya dan melepaskan pelukanku
            “ Kenapa harus berterima kasih? Apa yang telah ku lakukan?”
            “ Karena suratmulah aku bangun. Aku juga mau minta maaf atas segala kesalahanku.”
            “ Sudahlah, yang terpenting adalah sekarang kamu sudah sadar”
            Kami berdua menjadi teman akrab. Dulu, aku belum berjilbab. Tapi semenjak kejadian itu, sekarang aku sudah berjilbab. Kami berdua merupakan pasangan yang sama-sama menyicil membeli tiket masuk surge.
            Semuanya tiba-tiba berakhir, ketika Ana jatuh saat sholat, dan menghembuskan nafas terakhirnya. Saat itu, kami berdua sedang sholat jumat di masjid Al-Ikhlas Ungaran.
            Aku begitu kaget melihatnya.
            “ Ana.. ana.. ana bangun..” hanya tangisan dan penyesalan yang aku lakukan saat itu juga.
            “ Ya Allah.. ada apa dengan Ana? Apa dia sudah berhasil membeli tiketnya?”
            Sore itu, aku dengar keluarga mengunjungi pemakamannya. Hatiku benar-benar terpukul ketika bestfriendku berangkat keluar meninggalkanku sendiri. Semenjak saat itu, aku menjadi tambah semangat untuk melakukan kebaikan. Dan, kenanganku saat bersama Ana adalah sebuah motivasi yang mendorongku untuk menjadi orang yang lebih baik. Sampai sekarang, aku masih mengingat semua kejadian itu.