Hiruk pikuk suara binatang ternak yang rupanya telah siap untuk pergi menuju sawah untuk membajak. Para petani berbondong-bondong pergi ke tanah penghidupan serta kemakmuran. Sorak-sorai rerumputan yang menari-nari di tanah pertiwi. Sebagai sambutan pagi sangn penyinar bumi. Dari ufuk timur, ia telah memancarkan sinar cahayanya yang begitu elok, sejuk di hati damai di jiwa.
Saat
ku duduk bersenda gurau dengan adik iparku, terdengar suara khas yang tajam
untukku dengarkan dari arah depan rumahku. Seorang saudagar kaya, berenampilan
serba mewah, dengan emas dan mutiara. Sering disebut sebagai rentenir rupanya
ingin mencari masalah denganku.
“
Mengapa sibuk-sibuk sekolah menjadi orang sok pintar? Biar menjadi insinyur?
Toh perempuan kodratnya jadi ibu rumah tangga. Udah orang miskin, sok pintar,
dan satu lagi.. untuk makan saja harus membanting tulang ekstra. Kalo saya sih
ngaca ya buk.. siapa saya. Mampukah saya. Hidup itu nggak usah muluk-muluk.
Ntar kesannya pamer. Iya kan ibu-ibu..?”
“
Eh ibu, maaf sebelumnya.. entah kenapa kata-kata anda itu sulit untuk saya
cerna maknanya. Maksud ibu apa? Menyindir saya yah? Itu sih udah biasa. Tak ku
sangka saudagar yang kaya raya itu merendahkan dirinya sendiri dengan perkataan
yang tak bermutu seperti itu.” Sahutku dengan intonasi tinggi
“
Berani-beraninya anak kecil seperti kau menceramahiku. Kenapa? Kau keberatan
dengan omonganku tadi? Heh!!?”
Aku
sama sekali tidak menggubrisnya. Aku tinggal saja mereka. Dan lebih memilih
masuk ke dalam rumah dengan adik iparku.
“
Lintang sudah besar.. sudah harus bisa mandiri. Tidak boleh cengeng seperti
itu” suara lirih ibu dari celah dapur mencoba menenagkanku.
“
Ingatlah nak, Lintang itu bukan anak saudagar kaya yang harus dihormati dan
disegani banyak orang. Lintang hanyalah anak seorang buruh tani yang tak
berpendidikan”
“
Apa kau sedang ada masalah dengan saudagar kaya itu nak?” tanya ibu
“
Iya buk, hanya saja aku tidak terima kalo dia mengolok-olok keluarga kita.
Semua orang kan tahu, kalo kita hanyalah orang miskin yang bekerja sebagai
buruh tani saja.”
“
Sudahlah nak, alangkah baiknya jika kau ambil air wudhu dan sholat dhuha untuk
menenangkan pikiranmu”
“
Aku tahu pak, bu, kalo aku ini anak orang muskin. Tapi entah kenapa, kata-kata
yang keluar dari mulut orang tua itu benat-benar merapuhkan hatiku. Anak orang
miskin belum tentu kelak akan menjadi orang miskin juga kan bu? Pak?”
“
Maka dari itu, belajarlah yang rain. Agar kau tak seperti bapak dan ibumu.
Cobalah matamu dan tengoklah masa depanmu. Di sanalah masa depanmu masih
panjang, Nak..” sambung ibu dengan nada lirih
Jam
menunjukan pukul 11.00 siang. Suara sepeda memecahkan lamunan dalam hatiku. Ku
buka jendela kamarku.
“
Ada apa Pakde? Ko buru-buru banget. Ada yang bisa saya bantu?”
“
Itu, ada orang kota yang sedang mencarimu nduk. Ayolah ke sana”
“
Siapa Pakde..?” sembari berlari keluar rumah, aku menghampiri Pakde dengan
buru-buru.
“
Entahlah. Ayolah kita ke sana. Kita ke surau. Mereka sudah menunggumu”
“
Logh, tadi juga ibu pergi ke surau Pakdek. Mungkin mereka sedang bercakap-cakap
di sana Pakde.”
Dengan
sepeda bututnya, paman mengayuh sepeda menuju surau. Betapa herannya diriku
melihat orang-orang berbondong-bondong ke surau. Tak seperti biasanya, mereka
pergi ke suarau siang bolong begini. Aku tercengang dan bertanya-tanya.
“
Ada apa Pakde? Kenapa wajah pakde berubah pucat begitu?” dengan nada rendah,
pakde memlukku erat dan berbisik
“
Pakde sayang sama kamu, Nak.. ibumu dipanggil oleh Allah untuk menghadapnya”
“
Pakde jangan berbohong. Ibu tidak sakit. Ibu juga sehat-sehat saja tadi”
Kulihat
jenazah ibuku sudah terbujur kaku dengan selimut panjang dan diselimuti oleh
mukenah lengkap berwarna putih bersih
“
Benarkah ini ibuku? Ibu, mengapa kau begitu cepat meninggalkan aku
sendiri? Belum sempat aku kabulkan
keinginanmu untuk memberangkatkanmu pergi haji, kenapa kau lebih dulu dipanggil
oleh Allah?” kataku sambil terisak
“
Pakde dan adikmu masih di sini bersamamu Nak, sekarang kita cari ayahmu untuk
mengabarinya yah.. ayahmu sedang di sawah kan?”
Aku
hanya termenung..
Serasa
semua ini hanyalah sebuah mimpi. Dan semakin bertanya-tanya, apakah mimpiku
semalam pertanda bahwa ibu akan pergi? Ia berpesan …
“ Lintang anak
satu-satunya, kau yang bisa membimbing adik-adikmu. Berikan contoh yang baik
untuk adik-adikmu yah.. jaga adik-adikmu dnegan sepenuh hati. Saat ibu
meninggalkanmu, Lintang tak boleh bertengkar dengan siapapun. Itu ujian
untukmu, Nak. Ketahuilah Nak, Allah itu maha melihat. Allah itu maha
mengetahui. Smeua yang kita lakukan aka nada ganjarannya. Maka dari itu,
hentikan pertengkaran dengan siapapun yah.. mulailah menata hidup dan fokuskan
pada masa depanmu, agar kau sukses dunia dan akhirat..”
Mungkin
itu pesan terakhir dari ibu untukku lewat mimpi. Selamat jalan ibu, aku selalu
merindukanmu..