Senin, 22 September 2014

PESAN TERAKHIR SANG IBU(Karya Siswa SMA 2 Ungaran: Khoirul Umah)


Hiruk pikuk suara binatang ternak yang rupanya telah siap untuk pergi menuju sawah untuk membajak. Para petani berbondong-bondong pergi ke tanah penghidupan serta kemakmuran. Sorak-sorai rerumputan yang menari-nari di tanah pertiwi. Sebagai sambutan pagi sangn penyinar bumi. Dari ufuk timur, ia telah memancarkan sinar cahayanya yang begitu elok, sejuk di hati damai di jiwa.
            Saat ku duduk bersenda gurau dengan adik iparku, terdengar suara khas yang tajam untukku dengarkan dari arah depan rumahku. Seorang saudagar kaya, berenampilan serba mewah, dengan emas dan mutiara. Sering disebut sebagai rentenir rupanya ingin mencari masalah denganku.
            “ Mengapa sibuk-sibuk sekolah menjadi orang sok pintar? Biar menjadi insinyur? Toh perempuan kodratnya jadi ibu rumah tangga. Udah orang miskin, sok pintar, dan satu lagi.. untuk makan saja harus membanting tulang ekstra. Kalo saya sih ngaca ya buk.. siapa saya. Mampukah saya. Hidup itu nggak usah muluk-muluk. Ntar kesannya pamer. Iya kan ibu-ibu..?”
            “ Eh ibu, maaf sebelumnya.. entah kenapa kata-kata anda itu sulit untuk saya cerna maknanya. Maksud ibu apa? Menyindir saya yah? Itu sih udah biasa. Tak ku sangka saudagar yang kaya raya itu merendahkan dirinya sendiri dengan perkataan yang tak bermutu seperti itu.” Sahutku dengan intonasi tinggi
            “ Berani-beraninya anak kecil seperti kau menceramahiku. Kenapa? Kau keberatan dengan omonganku tadi? Heh!!?”
            Aku sama sekali tidak menggubrisnya. Aku tinggal saja mereka. Dan lebih memilih masuk ke dalam rumah dengan adik iparku.
            “ Lintang sudah besar.. sudah harus bisa mandiri. Tidak boleh cengeng seperti itu” suara lirih ibu dari celah dapur mencoba menenagkanku.
            “ Ingatlah nak, Lintang itu bukan anak saudagar kaya yang harus dihormati dan disegani banyak orang. Lintang hanyalah anak seorang buruh tani yang tak berpendidikan”
            “ Apa kau sedang ada masalah dengan saudagar kaya itu nak?” tanya ibu
            “ Iya buk, hanya saja aku tidak terima kalo dia mengolok-olok keluarga kita. Semua orang kan tahu, kalo kita hanyalah orang miskin yang bekerja sebagai buruh tani saja.”
            “ Sudahlah nak, alangkah baiknya jika kau ambil air wudhu dan sholat dhuha untuk menenangkan pikiranmu”
            “ Aku tahu pak, bu, kalo aku ini anak orang muskin. Tapi entah kenapa, kata-kata yang keluar dari mulut orang tua itu benat-benar merapuhkan hatiku. Anak orang miskin belum tentu kelak akan menjadi orang miskin juga kan bu? Pak?”
            “ Maka dari itu, belajarlah yang rain. Agar kau tak seperti bapak dan ibumu. Cobalah matamu dan tengoklah masa depanmu. Di sanalah masa depanmu masih panjang, Nak..” sambung ibu dengan nada lirih
            Jam menunjukan pukul 11.00 siang. Suara sepeda memecahkan lamunan dalam hatiku. Ku buka jendela kamarku.
            “ Ada apa Pakde? Ko buru-buru banget. Ada yang bisa saya bantu?”
            “ Itu, ada orang kota yang sedang mencarimu nduk. Ayolah ke sana”
            “ Siapa Pakde..?” sembari berlari keluar rumah, aku menghampiri Pakde dengan buru-buru.
            “ Entahlah. Ayolah kita ke sana. Kita ke surau. Mereka sudah menunggumu”
            “ Logh, tadi juga ibu pergi ke surau Pakdek. Mungkin mereka sedang bercakap-cakap di sana Pakde.”
            Dengan sepeda bututnya, paman mengayuh sepeda menuju surau. Betapa herannya diriku melihat orang-orang berbondong-bondong ke surau. Tak seperti biasanya, mereka pergi ke suarau siang bolong begini. Aku tercengang dan bertanya-tanya.
            “ Ada apa Pakde? Kenapa wajah pakde berubah pucat begitu?” dengan nada rendah, pakde memlukku erat dan berbisik
            “ Pakde sayang sama kamu, Nak.. ibumu dipanggil oleh Allah untuk menghadapnya”
            “ Pakde jangan berbohong. Ibu tidak sakit. Ibu juga sehat-sehat saja tadi”
            Kulihat jenazah ibuku sudah terbujur kaku dengan selimut panjang dan diselimuti oleh mukenah lengkap berwarna putih bersih
            “ Benarkah ini ibuku? Ibu, mengapa kau begitu cepat meninggalkan aku sendiri?  Belum sempat aku kabulkan keinginanmu untuk memberangkatkanmu pergi haji, kenapa kau lebih dulu dipanggil oleh Allah?” kataku sambil terisak
            “ Pakde dan adikmu masih di sini bersamamu Nak, sekarang kita cari ayahmu untuk mengabarinya yah.. ayahmu sedang di sawah kan?”
            Aku hanya termenung..
            Serasa semua ini hanyalah sebuah mimpi. Dan semakin bertanya-tanya, apakah mimpiku semalam pertanda bahwa ibu akan pergi? Ia berpesan …

“ Lintang anak satu-satunya, kau yang bisa membimbing adik-adikmu. Berikan contoh yang baik untuk adik-adikmu yah.. jaga adik-adikmu dnegan sepenuh hati. Saat ibu meninggalkanmu, Lintang tak boleh bertengkar dengan siapapun. Itu ujian untukmu, Nak. Ketahuilah Nak, Allah itu maha melihat. Allah itu maha mengetahui. Smeua yang kita lakukan aka nada ganjarannya. Maka dari itu, hentikan pertengkaran dengan siapapun yah.. mulailah menata hidup dan fokuskan pada masa depanmu, agar kau sukses dunia dan akhirat..”
            Mungkin itu pesan terakhir dari ibu untukku lewat mimpi. Selamat jalan ibu, aku selalu merindukanmu..