Senin, 22 September 2014

SEBATAS KORELASI

Ini bukan pertama kalinya aku menemukan rembulan itu padam di musim semi. Bukan untuk pertama kalinya aku menemukan rembulan itu dengan raut wajah muram masam. Bukan untuk pertama kalinya juga aku menemukan rembulan cantik itu menuangkan wajah senganya pada malam. Satu minggu lalu, aku dapati tawanya memecah keheningan. Namun, beberapa bulan setelah kejadian tragis itu, aku tak lagi mendapati tawa itu mengembala di ruang rindu. Entah, sejak kapan aku merasakan dingin yang menggeliat riuh.
            Maya, aku mengenalnya beberapa bulan yang lalu. Ketika hujan masih menggenang kota udang. Gerimis, entah untuk ke berapa  hujan membasahi keheninganku di musim penghujan ini. Yang pasti, aku belum juga mendapati percikan-percikan api menggenang dalam sukma. Dia bukan sosok pertama yang aku kenal. Ada banyak maya yang setiap malam menemaniku bermimpi. Ada banyak maya yang setiap waktu mendendangkanku sebuah alunan melody romantic milik salah satu grup music ternama di Indonesia. Romantic, maya orang yang sangat romantic. Entah dalam segala hal apapun, ia senantiasa mendendangkan sebuah alunan music yang membuat tidurku menjadi berwarna.
            Hujan kedua di bulan juli, aku mendapatinya duduk termenung di beranda asrama. Sebuah gedung megah yang hampir beberapa tahun ini aku tempati. Sebuah bangunan berwarna putih dengan campuran hijau melekat pada setiap dinding kamar. Kamar dengan segala lukisan kaligrafi yang megah sekaligus menawan. Aku lalui kehidupan di asrama dengans egala keceriaan maya yang berada di sampingku.
            “ Sudah malam, kamu tidak tidur May..?”
            Suatu kali aku mengingatkan maya untuk segera menempatkan diri kembali ke peraduannya bersama beberapa boneka kesayangannya di kamar dengan nomor 3.
            “ Belum ngantuk, sini kamu temani aku. Cuaca malam ini benar-benar membuat aku teringat akan masa-masa indah itu bersama Gana.”
            Gana. Laki-laki yang yang hampir empat tahun lamanya mengabdikan cintanya untuk maya. Laki-laki dengan kulit sawo matang yang hampir beberapa bulan ini membuatnya tersiksa batin. Laki-laki dengan wajah jawa kearab-araban yang hampir satu minggu ini membuat hidup maya berubah 180 derajat. Aneh. Aku tahu betul bagaimana Gana. Dia satu kelas denganku.
            Aku masih teringat. Beberapa hari yang lalu, aku dapati maya dalam keadaan basah kuyup dengan kedua bola mata yang sembab. Wajahnya teramat pucat pasi. Bibirnya membiru. Sakitkah ia? Namun ia masih mampu berbicara dengan nada lembut khasnya. Pandangannya mulai kosong. Entah apa yang ada dalam pikirannya kala itu.
            “ Apa yang kamu lakukan di tempat ini maya? Ini sudah malam. Tidak baik untuk kesehatan kamu. Ayo kita masuk dan tidur saja..” Aku mengutip kalimat lamaku beberapa hari sebelum hari itu terjadi
            Udara pagi ini semakin menguatkan ingatanku tentang sosok maya yang cantik dan lemah lembut itu. Aku merindukannya. Merindukan tawanya yang senantiasa membuat hari-hariku menjadi indah. Rindu dengan sosoknya yang senantiasa mendendangkan sebuah melody indah di tengah malamku. Ia semakin menghilang dari hadapanku. Cahayanya mulai meredup ketika kedatangan sang mentari di terik senja. Cahayanya mulai memudar ketika sosok Gana mendekat dalam keheningannya.
            “Nandini… berapa lama lagi kau akan berdiri di tangga seperti itu? Sudah satu jam lebih loh Nan..” Kinan menghampiriku di senja sore
            “ Satu jam? Baru juga satu menit, Kinan…”
            Aku mulai bernostalgia dengan duniaku sendiri. Pikiranku melayang. Entah putih atau hitam, semuanya berdiri dengan sebuah angan-angan fatamorgana. Tubuhku mulai memanas melebihi kebiasaanku setiap hari. Aku melupakan segalanya demi sebuah bayangan tentang maya. Hampir beberapa hari ini Maya tidak menemuiku lagi. Maya menghilang dari hidupku. Ia hanya menyisakan sebuah foto dengan gelap menyelimuti. Mataku mulai memerah ketika suara Maya menghilang dari hadapanku. Entah, suara atau getarannya saja. Aku masih ingat betul bagaimana Maya menyanyikan sebuah lagu dikala gundah gulanaku
            Gana telah merenggut kebahagiaan gadis dengan bulu mata panjang itu. Sosok laki-laki yang sangat dicintainya itu teah berhasil mengambil secuil nafas dari tubuh Maya. Gana mengambil hak berharga pada Maya yang selama ini ia jaga baik-baik. Dalam sekejap waktu, Maya kehilangan segalanya. Gadis manis itu menghilang dari hiruk pikuk indahnya dunia. Sering aku bertanya pada cacing-cacing yang menggeliat di atas kasur. Sering aku juga mengutip beberapa nafas yang terbaca dalam keheningan malam Maya. Ia telah pergi jauh sebelum semuanya muncul hingga aku sendiri terbawa mimpi-mimpi Maya.
            Wajah Maya sangat cantik. Rambutnya panjanag terurai. Ketika ia berjalan, seluruh makhluk di hadapannya menjadi berbicara. Ketika ia berbicara, seluruh benda dibelakangnya menjadi berjalan indah. Dan ketika matanya membuka keheningan, suara-suara di sekelilingnya menjadi bisu diam tak berkutik. Maya adalah bayangan dimasa laluku yang suram. Aku hentak mencacinya ketika ia hanya terdiam dalam pangkuan sang malam. Aku sering menggunjingnya, ketika ia hanya menangis dalam genggaman malam yang terik. Entahlah, ia hanya gambaran yang mulai mengabstraksikan loyalitas cintanya untuk Gana.
            “ Nandini.. sebenarnya apa yang kamu lakukan di tempat ini? Segala kegiatan kamu lakukan di sini. Di tempat ini. Kamu nunggu siapa?” Sesekali Cici menghampiriku dan mengajakku untuk meninggalkan segala aktivitasku di tempat kumuh ini
            “ Aku menunggu Maya..”
            “ Maya.. Maya.. Maya lagi.. Nandini.. Maya itu nggak ada. Kamu hanya terobsesi dengan Mayamu itu. Lama-lama bisa gila kamu Nan..”
            Aku gila? Mengapa? Aku baik-baik saja. Semua orang menganggapku gila. Aku hanya menunggu Maya dan Maya. Entah , sampai sekarang aku masih belum pernah melihat Maya lagi di sampingku. Ia, di sini dengan gaun putih indahnya. Dengan mata indah bola pingpongnya menghampiriku. Aku masih belum mampu menyaksikan Maya dengan rambut indah panjang terurainya.
            Maya sering menceritakan kisahnya bersama Gana dengan sangat rinci. Terkadang, ia sampai menangis di bahuku dengan nada sendu yang menggeliat. Aku tak tega melihat keadaan Maya yang seperti itu. Hidupnya seakan miris. Tak ada sedikit kebahagiaan dalam hidupnya. Seandainya saja aku mampu, ingin rasanya kau menemui Gana, sosok laki-laki yang telah menghancurkan masa depan dan hidupnya. Dengan merenggut kesucian Maya, Gana membuktikan bahwa dirinya adalah seorang yang keras kepala, dan tak punya perasaan sama sekali. Hatinya licik dan senga. Jijik aku mendengar cerita Maya tentang laki-laki dengan wajah melankolis itu. Seandainya saja aku bisa bertemu dengannya, ingin rasanya aku mencabik-cabik wajahnya yang membosankan itu.
            “ Maya.. maya ada di sini.. aku tidak berbohong mamah… aku melihat Maya.. “ teriakku kala itu
            “ Maya siapa? Di sini tidak ada siapa-siapa kecuali mamah dan papah. Kamu pasti mimpi. Maya tidak ada di sini sayang.. “
            “ Maya… Maya jangan pergi.. aku pasti bantu kamu buat Gana…”
            Aku masih belum mampu memahami bagaimana kerasnya kekejaman sosok Maya dalam hidupku. Hingga air mataku membasahi keheningan malamku. Mungkin aku hanya seonggok awan di tengah musim hujan yang mulai memanas ketika angin menerjangnya. Aku sekecil binatang hitam yang setiap waktu datang dengan gigitannya yang tajam. Entah berapa lama aku mengenal sosok Maya dalam hidupku. Aku semakin gila dibuatnya. Hari-hariku hanya dihabiskan untuk merenung dan memikirkan Maya. Maya yang selama ini memikat darahku dengan kekejaman nuraninya.
            Beberapa hari ini kedua orangtuaku mulai membiasakan diri untuk mengajakku menelusuri jalanan sore dalam kebisingan. Aku mulai membiasakan diri ini menghangatkan kehidupan baruku bersama orang-orang terkasih. Aku hilangkan kebiasakan burukku bersama bayangan Maya. Aku hapuskan kebiasaan burukku dengan memulai dunia baruku bersama teman-temanku. Dan aku hilangkan semua bayangan tentang sosok Maya. Tidak ada lagi Maya yang selama ini menghantuiku dengan segala kemunafikannya.
            Kini aku mulai menapaki jejak baruku dengan segala sesuatu yang bermanfaat. Maya hanya ilustrasiku semata. Aku terlalu berlama-lama memendam kebencian terhadap seseorang yang selama ini membuat hidup maya hancur. Gana. Ia sudah menikah dan memiliki kehidupan barunya bersama orang lain. Dan Maya, ia hanya bayangan masalalunya saja. Kepergian Maya bukan hal baru bagi Gana. Dua tahun setelah perpisahan sekolah itu berlangsung, Maya dikabarkan meninggal akibat kecelakaan tragis yang menimpa kendaraann yang ia kendarai bersama temannya. Banyak  hal yang aku tahu tentang Maya. Tapi hal ini yang baru aku sadari kebenarannya. Maya yang selama ini aku kenal dan sering mendendakan sebuah alunan lagu melankolis itu, ternyata hanya sebuah bayangan hitam yang terus menggangguku. Maya hanya tinggal kenangan saja. Dan aku, aku hanya sebuah alat yang digunakan Maya untuk mengingat semua kenangannya tentang Gana. Maya bukan hanya memberikan sebuah cerita melankolis, namun ia juga memberikan sebuah gambaran betapa jalangnya kehidupan ini.
            Entahlah. Bagaimana sosok  Maya yang sesungguhnya. Aku tak pernah tahu. Karena yang aku lihat adalah sebuah bayangan kosong dengan gaun putih bersih mengkilat. Maya yang dengan rambut panjangnya menembus bayang-bayang semu antara dua dunia.
            Maya.. gadis cantik yang menorehkan sebuah kisah baru dalam hidupku. Maya.. gadis manis yang berhasil melukiskan sebuah kesan baru dalam perjalanan hidupku…