Ini
bukan pertama kalinya aku menemukan rembulan itu padam di musim semi. Bukan
untuk pertama kalinya aku menemukan rembulan itu dengan raut wajah muram masam.
Bukan untuk pertama kalinya juga aku menemukan rembulan cantik itu menuangkan
wajah senganya pada malam. Satu minggu lalu, aku dapati tawanya memecah
keheningan. Namun, beberapa bulan setelah kejadian tragis itu, aku tak lagi
mendapati tawa itu mengembala di ruang rindu. Entah, sejak kapan aku merasakan
dingin yang menggeliat riuh.
Maya, aku mengenalnya beberapa bulan
yang lalu. Ketika hujan masih menggenang kota udang. Gerimis, entah untuk ke
berapa hujan membasahi keheninganku di
musim penghujan ini. Yang pasti, aku belum juga mendapati percikan-percikan api
menggenang dalam sukma. Dia bukan sosok pertama yang aku kenal. Ada banyak maya
yang setiap malam menemaniku bermimpi. Ada banyak maya yang setiap waktu
mendendangkanku sebuah alunan melody romantic milik salah satu grup music
ternama di Indonesia. Romantic, maya orang yang sangat romantic. Entah dalam
segala hal apapun, ia senantiasa mendendangkan sebuah alunan music yang membuat
tidurku menjadi berwarna.
Hujan kedua di bulan juli, aku
mendapatinya duduk termenung di beranda asrama. Sebuah gedung megah yang hampir
beberapa tahun ini aku tempati. Sebuah bangunan berwarna putih dengan campuran
hijau melekat pada setiap dinding kamar. Kamar dengan segala lukisan kaligrafi
yang megah sekaligus menawan. Aku lalui kehidupan di asrama dengans egala
keceriaan maya yang berada di sampingku.
“ Sudah malam, kamu tidak tidur
May..?”
Suatu kali aku mengingatkan maya
untuk segera menempatkan diri kembali ke peraduannya bersama beberapa boneka
kesayangannya di kamar dengan nomor 3.
“ Belum ngantuk, sini kamu temani
aku. Cuaca malam ini benar-benar membuat aku teringat akan masa-masa indah itu
bersama Gana.”
Gana. Laki-laki yang yang hampir
empat tahun lamanya mengabdikan cintanya untuk maya. Laki-laki dengan kulit
sawo matang yang hampir beberapa bulan ini membuatnya tersiksa batin. Laki-laki
dengan wajah jawa kearab-araban yang hampir satu minggu ini membuat hidup maya
berubah 180 derajat. Aneh. Aku tahu betul bagaimana Gana. Dia satu kelas
denganku.
Aku masih teringat. Beberapa hari
yang lalu, aku dapati maya dalam keadaan basah kuyup dengan kedua bola mata
yang sembab. Wajahnya teramat pucat pasi. Bibirnya membiru. Sakitkah ia? Namun
ia masih mampu berbicara dengan nada lembut khasnya. Pandangannya mulai kosong.
Entah apa yang ada dalam pikirannya kala itu.
“ Apa yang kamu lakukan di tempat
ini maya? Ini sudah malam. Tidak baik untuk kesehatan kamu. Ayo kita masuk dan
tidur saja..” Aku mengutip kalimat lamaku beberapa hari sebelum hari itu
terjadi
Udara pagi ini semakin menguatkan
ingatanku tentang sosok maya yang cantik dan lemah lembut itu. Aku merindukannya.
Merindukan tawanya yang senantiasa membuat hari-hariku menjadi indah. Rindu
dengan sosoknya yang senantiasa mendendangkan sebuah melody indah di tengah
malamku. Ia semakin menghilang dari hadapanku. Cahayanya mulai meredup ketika
kedatangan sang mentari di terik senja. Cahayanya mulai memudar ketika sosok
Gana mendekat dalam keheningannya.
“Nandini… berapa lama lagi kau akan
berdiri di tangga seperti itu? Sudah satu jam lebih loh Nan..” Kinan
menghampiriku di senja sore
“ Satu jam? Baru juga satu menit,
Kinan…”
Aku mulai bernostalgia dengan
duniaku sendiri. Pikiranku melayang. Entah putih atau hitam, semuanya berdiri
dengan sebuah angan-angan fatamorgana. Tubuhku mulai memanas melebihi
kebiasaanku setiap hari. Aku melupakan segalanya demi sebuah bayangan tentang
maya. Hampir beberapa hari ini Maya tidak menemuiku lagi. Maya menghilang dari
hidupku. Ia hanya menyisakan sebuah foto dengan gelap menyelimuti. Mataku mulai
memerah ketika suara Maya menghilang dari hadapanku. Entah, suara atau getarannya
saja. Aku masih ingat betul bagaimana Maya menyanyikan sebuah lagu dikala
gundah gulanaku
Gana telah merenggut kebahagiaan
gadis dengan bulu mata panjang itu. Sosok laki-laki yang sangat dicintainya itu
teah berhasil mengambil secuil nafas dari tubuh Maya. Gana mengambil hak
berharga pada Maya yang selama ini ia jaga baik-baik. Dalam sekejap waktu, Maya
kehilangan segalanya. Gadis manis itu menghilang dari hiruk pikuk indahnya
dunia. Sering aku bertanya pada cacing-cacing yang menggeliat di atas kasur.
Sering aku juga mengutip beberapa nafas yang terbaca dalam keheningan malam
Maya. Ia telah pergi jauh sebelum semuanya muncul hingga aku sendiri terbawa
mimpi-mimpi Maya.
Wajah Maya sangat cantik. Rambutnya
panjanag terurai. Ketika ia berjalan, seluruh makhluk di hadapannya menjadi
berbicara. Ketika ia berbicara, seluruh benda dibelakangnya menjadi berjalan
indah. Dan ketika matanya membuka keheningan, suara-suara di sekelilingnya
menjadi bisu diam tak berkutik. Maya adalah bayangan dimasa laluku yang suram.
Aku hentak mencacinya ketika ia hanya terdiam dalam pangkuan sang malam. Aku
sering menggunjingnya, ketika ia hanya menangis dalam genggaman malam yang
terik. Entahlah, ia hanya gambaran yang mulai mengabstraksikan loyalitas
cintanya untuk Gana.
“ Nandini.. sebenarnya apa yang kamu
lakukan di tempat ini? Segala kegiatan kamu lakukan di sini. Di tempat ini.
Kamu nunggu siapa?” Sesekali Cici menghampiriku dan mengajakku untuk
meninggalkan segala aktivitasku di tempat kumuh ini
“ Aku menunggu Maya..”
“ Maya.. Maya.. Maya lagi..
Nandini.. Maya itu nggak ada. Kamu hanya terobsesi dengan Mayamu itu. Lama-lama
bisa gila kamu Nan..”
Aku gila? Mengapa? Aku baik-baik
saja. Semua orang menganggapku gila. Aku hanya menunggu Maya dan Maya. Entah ,
sampai sekarang aku masih belum pernah melihat Maya lagi di sampingku. Ia, di
sini dengan gaun putih indahnya. Dengan mata indah bola pingpongnya
menghampiriku. Aku masih belum mampu menyaksikan Maya dengan rambut indah
panjang terurainya.
Maya sering menceritakan kisahnya
bersama Gana dengan sangat rinci. Terkadang, ia sampai menangis di bahuku
dengan nada sendu yang menggeliat. Aku tak tega melihat keadaan Maya yang
seperti itu. Hidupnya seakan miris. Tak ada sedikit kebahagiaan dalam hidupnya.
Seandainya saja aku mampu, ingin rasanya kau menemui Gana, sosok laki-laki yang
telah menghancurkan masa depan dan hidupnya. Dengan merenggut kesucian Maya,
Gana membuktikan bahwa dirinya adalah seorang yang keras kepala, dan tak punya
perasaan sama sekali. Hatinya licik dan senga. Jijik aku mendengar cerita Maya
tentang laki-laki dengan wajah melankolis itu. Seandainya saja aku bisa bertemu
dengannya, ingin rasanya aku mencabik-cabik wajahnya yang membosankan itu.
“ Maya.. maya ada di sini.. aku
tidak berbohong mamah… aku melihat Maya.. “ teriakku kala itu
“ Maya siapa? Di sini tidak ada
siapa-siapa kecuali mamah dan papah. Kamu pasti mimpi. Maya tidak ada di sini
sayang.. “
“ Maya… Maya jangan pergi.. aku
pasti bantu kamu buat Gana…”
Aku masih belum mampu memahami
bagaimana kerasnya kekejaman sosok Maya dalam hidupku. Hingga air mataku
membasahi keheningan malamku. Mungkin aku hanya seonggok awan di tengah musim
hujan yang mulai memanas ketika angin menerjangnya. Aku sekecil binatang hitam
yang setiap waktu datang dengan gigitannya yang tajam. Entah berapa lama aku
mengenal sosok Maya dalam hidupku. Aku semakin gila dibuatnya. Hari-hariku
hanya dihabiskan untuk merenung dan memikirkan Maya. Maya yang selama ini
memikat darahku dengan kekejaman nuraninya.
Beberapa hari ini kedua orangtuaku
mulai membiasakan diri untuk mengajakku menelusuri jalanan sore dalam
kebisingan. Aku mulai membiasakan diri ini menghangatkan kehidupan baruku
bersama orang-orang terkasih. Aku hilangkan kebiasakan burukku bersama bayangan
Maya. Aku hapuskan kebiasaan burukku dengan memulai dunia baruku bersama
teman-temanku. Dan aku hilangkan semua bayangan tentang sosok Maya. Tidak ada
lagi Maya yang selama ini menghantuiku dengan segala kemunafikannya.
Kini aku mulai menapaki jejak baruku
dengan segala sesuatu yang bermanfaat. Maya hanya ilustrasiku semata. Aku
terlalu berlama-lama memendam kebencian terhadap seseorang yang selama ini
membuat hidup maya hancur. Gana. Ia sudah menikah dan memiliki kehidupan
barunya bersama orang lain. Dan Maya, ia hanya bayangan masalalunya saja.
Kepergian Maya bukan hal baru bagi Gana. Dua tahun setelah perpisahan sekolah
itu berlangsung, Maya dikabarkan meninggal akibat kecelakaan tragis yang
menimpa kendaraann yang ia kendarai bersama temannya. Banyak hal yang aku tahu tentang Maya. Tapi hal ini
yang baru aku sadari kebenarannya. Maya yang selama ini aku kenal dan sering
mendendakan sebuah alunan lagu melankolis itu, ternyata hanya sebuah bayangan
hitam yang terus menggangguku. Maya hanya tinggal kenangan saja. Dan aku, aku
hanya sebuah alat yang digunakan Maya untuk mengingat semua kenangannya tentang
Gana. Maya bukan hanya memberikan sebuah cerita melankolis, namun ia juga
memberikan sebuah gambaran betapa jalangnya kehidupan ini.
Entahlah. Bagaimana sosok Maya yang sesungguhnya. Aku tak pernah tahu.
Karena yang aku lihat adalah sebuah bayangan kosong dengan gaun putih bersih
mengkilat. Maya yang dengan rambut panjangnya menembus bayang-bayang semu
antara dua dunia.
Maya.. gadis cantik yang menorehkan
sebuah kisah baru dalam hidupku. Maya.. gadis manis yang berhasil melukiskan
sebuah kesan baru dalam perjalanan hidupku…