Tak ada kalimat apapun yang mampu menyuarakan inspirasiku tentang ini. Tak ada satu kata indahpun yang mampu mendendangkan bagaimana bahagianya hati ini. Sekalipun itu seribu ungkapan cinta dari sang cinta, aku tak bisa menandingi betapa indahnya perasaan ini. Keluargaku, keluargaku hanya sebuah bangunan kecil yang monumennya tergambar secara gamblang dalam bingkai foto di dinding itu. Senyuman itu sangat menawan. Sangat lepas tanpa beban apapun di guratan-guratan wajah.
Aku memahami arti senyuman lepas itu.
Bapak, Ibu, Ilma, dan Aku. Semuanya menawan dan elegan dipandang mewah. Posisi
duduk yang mewakili betapa bahagianya keluarga kecil sederhana ini. Setiap hari
Bapak harus bekerja menghantarkan barang-barang ke kios yang letaknya sangat
dekat dengan pusat kota Cirebon bagian Selatan. Ibu yang sering dibuat pusing
dengan segala perhitungan pemasukan atau bahkan pengeluaran keuangan dari hasil
usaha keripis melinjo atau emping itu. Sesekali aku dan Ilma adikku yang masih
duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama kelas 3 itu menemani Bapak di kios
untuk menyambut para pembeli yang diibaratkan sperti raja. Istilah itu aku
dapatkan ketika aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Aku memberikan mahkota
mainannku kepada seorang pembeli yang kebetulan lewat di depan kiosku. Mereka
adalah orang-orang Jakarta yang hendak mudik ke kampung halamannya di Rembang.
Sebuah peristiwa yang membuatku geli sampai sekarang.
Bapak adalah orang yang sangat tegas,
disiplin, dan bijaksana menurutku. Beliau akan sangat marah jika sampai melihat
anak-anaknya bermalas-malasan. Sama seperti Ibu yang memiliki sifat keibuan
tinggi. Hampir setiap malam, aku tak pernah lepas dari belaian hangat tangannnya
sebelum tidur. Sangat memanjakan anak-anaknya, itulah salah satu karakter Ibu
yang asli dari Tuban, Jawa Timur. Pernah suatu ketika, Ibu menceritakan awal
mula pertemuan Bapak dan Ibu berlangsung.
“ Bapak itu dulunya jutek banget neng,
sampai Ibu sendiri sempat benci sama Bapak gara-gara Ibu minta bantuan tapi
Bapak jutek banget. Waktuu Ibu dan Bapak masih sama-sama kuliah di Bandung, dan
kebetulan kami sama-sama satu jurusan. Wakh, Bapakmu itu jadi rebutan cewe-cewe
di kelas. “ Ibu bercuap-cuap dengan
lantangnya
“ Yah Ibu… jutek-jutek begini juga
akhirnya Ibu mau sama Bapak kan? Heum.. Bapak kan emang paling ganteng Sha,
jadi ya banyak yang suka… “ Bapak tak mau kalah
“ Ya.. ya.. Bapak sama Ibunya Shalsa itu
emang paling top banget deh.. “ Aku mulai memanjakan diri dipangkuan Ibu malam
itu
Meskipun kesibukan sering melanda
keluarga kecilku ini, namun untuk hari sabtu dan minggu khusus digunakan untuk
nostalgia ke tempat-tempat wisata sekitar Cirebon dan Kuningan. Bapak sering
mengajak kami ke Kuningan mengunjungi temannya di sana. Om Burhan, yang anak
laki-lakinya sangat tampan dan sedikit mirip dengan Ridhwan vokalis Langitan di
Lamongan. Aku sering sekali mencari perhatian atau curi-curi pandang dengannya.
Sikapnya yang ramah juga membuat aku kadang enggan diajak pulang Bapak. Yah,
tapi dia memutuskan untuk melanjutkan Kuliahnya di Semarang. Pasti pertemuan
antara aku dan dia akan sangat renggang..
“ Kenapa Shal…? Kamu naksir sama Aa
Fathur yah… ? “ ledek Ibu suatu hari
“ Nggak ko Bu.. Shalsa ngga naksir sama aa
Fathur. Cuma ngepens aja… “ Jawabku dengan logat sundanya yang khas.
Ibu sering meledekku jika berkunjung ke
rumah Om Burhan. Jarak usia aku dan Fathur hanya satu tahun. saat ini dia
memasuki Kuliah semester awal di Semarang Jurusan Analisis Kesehatan. Sikapnya
sangat ramah dan bersahaja. Senyumnyapun sangat menarik.
Beralih ke keluarga kecilku. Usaha kripik
emping Bapak sudah berjalan hampir 7 tahun lamanya setelah kami pindah dan
menetap di Cirebon. Setelah menikah, Ibu dan Bapak memang menetap sementara di
Tuban. Namun setelah kelahiranku, Bapak dan Ibu memutuskan untuk berpindah
tempat di Cirebon sampai saat ini. Sebenarnya aku sendiri masih ingin menetap
di Tuban, kediaman Nenek dari Ibu yang sampai sekarang masih ada.
Namun, seiring berjalannya waktu dan
keadaan, aku semakin merasa banyak perubahan pada diri Bapak yang sangat
terlihat akhir-akhir ini. Emosinya sering meledak-ledak tak terkontrol.
Semenjak aku mendapati Bapak menerima sebuah panggilan telephon dari seseorang
di suatu malam, tingkahnya berubah drastis. Bapak tak selembut dulu, tak
sehalus dulu, dan tak sebijak dulu. Ada saja kesalahan kecil yang
dibesar-besarkan olehnya. Ibu sampai menangis malam-malam kerena beradu mulut
dengan Bapak. Entah apa sebenarnya yang terjadi dengan Bapak dan keluarga
kecilku ini. Sempat aku tanyakan perihal perubahan yang dialami Bapak pada Ibu,
namun tak ada jawaban pasti darinya. Hanya kalimat sabar.. sabar.. dan sabar
saja yang aku dengar dari mulut Ibuku.
Hari terakhir Ujian Nasional, aku sengaja
mengajak teman-temanku untuk sekadar menghilangkan penat di otak dengan
jalan-jalan mengelilingi sejuknya Obyek Wisata Linggarjati, Kuningan. Udara di
sekitar kaki gunung cermai membuat penat di dada kami semakin menghilang. Tak
pernah kusangka sebelumnya, akan pandangan mataku. Kalau boleh memilih, lebih
baik aku buta selamanya daripada harus menyaksikan seseorang yang sangat aku
kenal itu bergandengan tangan sangat mesra keluar dari sebuah mobil berwarna
hitam. Plat nomor itu sudah sangat aku hafal di luar kepala. Setiap hari aku
mengendarai mobil itu untuk pergi ke sekolah bersama Ilma, Adikku. Mengapa ia
tega melakukan semua itu pada kami? Mengapa harus Tante Gisma salah seorang
teman Ibu yang pernah berkunjung ke rumah kami? Mengapa harus mereka ada
dihadapanku saat ini? Rasanya sakit sekali aku melihtanya. Bagaimana jika
sampai Ibu tahu semuanya. Ibu pasti akan drop dan kesehatannya akan menurun
lagi. Apalagi akhir-akhir ini darah tinggi Ibu naik terus. Seandainya saja aku
punya pisau atau gunting ditanganku, tak segan-segan aku lemparkan ke tubuh
laki-laki dan perempuan itu dengan sangat keras. Menyakitkan…
“
Shalsa.. kamu teh kunaon..? meuni kachicing wae mane mah… “ Hida
mengagetkan lamunanku. Bahasa sundanya memang tidak bisa ia hilangkan.
“ Nggak papa ko Dha, kayaknya kau pulang
duluan deh yah.. biar nanti aku minta a Doni yang jemput aku aja.. “
Aku dapati selang infuse yang tetes demi
tetes mengalir ke tubuh perempuan yang sudah dengan tegarnya Manahan semua
permasalahan ini. Aku dekati dan aku peluk perempuan yang sudah berjuang
melahirkan aku ke dunia ini beberapa tahun silam. Aku cium keningnya dengan
sangat lembut. Aku tak ingin ia tahu bagaimana kondisi yang sebenarnya.
Kesehatannya semakin drop, ketika ia mendapati ponsel Bapak banyak foto-foto
perempuan liar itu. Yah, aku sebut dia perempuan liar yang sudah menhancurkan
semua mimpi-mimpiku besama Ibu dan Ilma. Aku sebut dia perempuan liar karena ia
sudah lantang masuk ke dalam kehidupan keluarga kecilku.
“ Ibu… “ aku mendekatinya
“ Shalsa, jaga adikmu baik-baik yah… ntos berantem deui.. !!!(Jangan
berantem lagi)” Ibu melebarkan senyumnya ke arahku
Aku tahu, a Nirwan mendapat kepercayaan
dari Ibu untuk mengurus semua keuangan kios dan kripik emping. Hampir dua hari
ini Bapak tak pernah pulang. Entah kemana ia melarikan diri dari semua himpitan
masalah ini. A Nirwan bukan orang jauh buat kami. Dia adik sepupu Ibu dari
Tuban yang sengaja ikut kami di Cirebon. Saat ini, ia masih berstatus Mahasiswa
di Sebuah Universita Swasta d Cirebon. Kerjanya sangat bagus, kata Ibu suatu
ketika.
Yah, datang atau tidaknya Bapak sekarang,
yang jelas aku sudah tidak memperdulikan semuanya lagi. Biar Allah yang
menghukum semuanya. Biar waktu saja yang mejawab bagaimana mutiara yang sudah
menjadi serbukan itu akan kembali menjadi mutara yang memiliki nilai jual
tinggi. Biar sajalah matahari pagi yang akan memanaskan kehidupan ini dengan
sinarnya yang mungkin tak akan sehangat dulu lagi semenjak kepergian Bapak
dengan perempuan liar itu. Dan biar sajalah kesejukan kaki gunung cermai yang
menjadi saksi bagaimana kahancuran dan kemunafikan itu terjadi dengan sangat
singkat. Aku hanya mampu menahan tangisku dihadapan Ibu saja. Dan sebisa
mungkin memberikan apa yang mampu aku berikan untuk Ibu dan Adikku, Ilma.