(Catatan Pendakian Gunung Merbabu)
Edelweis
adalah bunga yang pasti sudah tak asing lagi bagi para penggiat alam bebas
mendaki gunung. Pasalnya, bunga abadi ini saat ini hanya mampu tumbuh dan besar
di ketinggian gunung dan memerlukan sinar matahari penuh. Bunga cantik ini
memang akrab dengan para pendaki dan mengilhami banyak orang melalui keindahan
dan keabadian yang ditampilkannya. Bunga Edelweiss yang menyukai sinar matahari
penuh ini dalam ukuran dewasa dapat mencapai 8 meter tingginya, tapi pada
umumnya hanya mencapai tinggi kurang dari satu meter. Bunga edelweiss umumnya
terlihat antara bulan April sampai Agustus, dimana pada sekitar akhir Juli
sampai Agustus merupakan fase mekar terbaiknya.
Tidak aneh lagi jika bapak memang
sangat menyukai bunga dengan warna elegan itu. Sejak kecil, bapak sering sekali
menceritakan tentang bunga yang satu ini. Sebagai simbol keabadian katanya.
Entah keabadian itu semacam apa. Apakah itu sejenis roti dengan selai kacang
yang lezat. Ataukah keabadian itu sejenis minuman dengan taburan cokelat dan
mocachino yang semakin menambah rasa dahaga di siang hari. Atau bahkan,
keabadian itu hanya maya yang menghiasi tidur malamku. Maklum sajalah, setiap
malam bapak tidak pernah absen untuk memberikan sedikit cerita padaku. Sebagai
pengantar tidur, katanya.
Untuk pertama kalinya aku beranikan
tubuhku menghantam kedinginan dan berbagai tanjakan terjang, atau bahkan
mengerikan di gunung. Pertama kalinya aku beranikan diri untuk memangsa
kelelahan dan kerontaan tubuhku di tempat itu. Merbabu. Aku pernah mendengar
nama itu. Salah satu gunung di Jawa Tengah dengan ketinggian 3.145 meter di
atas permukaan laut. Sempat aku berpikir untuk menyerah dengan beberapa tawaran
yang mampir kepadaku. Namun, dari beberapa pertimbangan akhirnya aku beranikan
diri merelakan tubuhku untuk menghantam lelah mendaki gunung yang terletak
diantara kota Boyolali, Salatiga, dan Kabupaten Semarang itu.
Langkah demi langkah jalanan setapak
aku lalui dengan semangat tinggi. Pukul 21.30 tiupan angin merbabu mulai
menyesakkan tubuhku. Dingin, Sudah pasti. Lelah, itu bukan hal baru. Kantuk,
tidak perlu ditanya lagi betapa mata ini sudah tidak bisa tertahankan. Tapi
masih tetap semangat dalam menggoyangkan keoptimisanku tentang sebuah harapan.
Yah, mengapa harapan? Rasa lelahku terputus dengan adaya harapan bapak
memintaku untuk membawakan sebuah bunga keabadian di puncak merbabu. Keinginan
bapak itulah yang membuatku optimis.
Dalam seperempat perjalanan, tubuhku
sudah tidak bisa lagi menahan dinginnya malam di tengah pegunungan. Kulitku
semakin keras. Tubuhku kaku. Dan kakiku hampir tidak bisa aku gerakkan lagi.
Seandainya bisa, ingin rasanya aku memeluk api. Bahkan masuk di dalamnya.
Rasanya tak sedikitpun bayangan yang mampu aku ungkapkan. Aku hanya menemani
tubuhku dalam kedinginan. Namun, lagi-lagi bayangan seseorang membuatku semakin
optimis dapat menaklukkan merbabu sampai ke puncak. Bayangan seseoranglah yang
membuatku bertahan dalam kedinginan akut.
“ Ayow Mega.. pasti kamu bisa deh..
puncak merbabu itu nggak ada apa-apanya..” suara seseorang menyadarkan aku
segalanya. Betapa kecilnya kita dibandingkan dengan ciptaan-Nya yang lain.
Betapa lemahnya kita diantara para makhluk ciptaan-Nya di dunia ini. Betapa
banyak hal yang perlu kita renungkan dan kiita syukuri semua itu.
Aku hanya mendengar bisikan-bisikan
kecil itu diseberang telingaku. Sudah tidak ada lagi rasa gundah gulana ketika
sebuah bayangan menghampiriku. Sampai pada akhirnya, puncak merbabu berhasil
aku taklukan. Meski dengan wajah yang mulai memerah karena ciuman mentari
dipertigaan siang. Tepat pukul 13.00 puncak merbabu sudah tidak bisa berkutik
lagi dihadapanku. Dan saatnya aku katakan pada dunia, bahwa aku mampu menahan
sengatan matahari. Aku mampu memotong kedinginan malam di hamparan dedaunan.
Dan aku mampu mencuri keindahan alam di atas puncak. Subhanallah, betapa indah
ciptaan-Mu.
Hanya sebentar saja, aku ingat
kata-kata bapak sebelum perjalananku bersama 29 orang kawanku sampai di puncak
merbabu, “Jangan lupa bawakan bapak
bunga edelweis, mega...”. Yah, bunga edelweis pesanan bapak harus segera aku
dapatkan. Hamparan bunga keabadian itu sudah ada di depan mata. Dengan
terkumpulnya segala keberanian ini, aku beranikan diri memetik satu tangkai
bunga berwarna putih indah itu di lereng gunung. Susah memang. Bunga itu
dikelilingi jurang yang curam. Jika kita tidak berhati-hati, mungkin
keselamatan kita yang akan menjadi gantinya. Tapi tidak terpikirkan sampai
sejauh itu. Hanya saja, aku memikirkan bagaimana caranya agar satu tangkai
bunga itu ada di tanganku.
“ Jangan macem-macem deh kau mega.. kalo
kamu ngambl itu bunga, bisa-bisa kamu kepleset dan jatuh ke jurang itu.. “ Nina
mengingatkanku
Aku paham. Dan aku memahami. Paham
bagaimana caranya bunga itu ada di tanganku. Dengan langkah tertatih, aku
mencoba mengulurkan tangan kananku ke arah setangkai bunga berwarna putih itu.
Perlahan aku raih tangkai yang sedikit menancapkan duri tajamnya. Dalam
hitungan detik, kakikku mendadak kram dan tidak bisa bergerak sama sekali.
Tubuhku menjadi kaku, dan pandanganku semakin dibutakan akan sebuah bayangan.
Entah bayangan sebuah pesan singkat, atau bayangan kalimat pembangkit
semangatku dalam pendakian ini. Yang aku ingat, hanya obsesiku untuk meraih
setangkai bunga keabadian itu dan aku bawa pulang ke hadapan bapak.
“ Aaaaaaaaaaaa.... Nina... Mas Heni..
Mas Fadhli.. tolongin aku... “ aku hanya membenarkan sebuah bayangan kecil itu.
Aku tak mampu menopang berat badanku sendiri. Aku tersesat. Aku terjebak dengan
bayang-bayang seseorang di ujung sana yang lambaiannya terus menghampiriku. Dan
aku tertipu dengan segala keindahan keabadian bunga dengan kelopak kehijauan
itu. Jurang terjang itu semakin mendekatiku dan terus menarikku keras. Aku tak
ingin mengakhiri pendakianku dengan kekecewaan bapak. Aku tak ingin mengakhiri
pendakian panjang ini dengan mencium bau jurang di bawahku ini. Oh Tuhan.. beri
aku waktu sedikit saja untuk kembali ke pemukiman para pecinta alam itu. Lepas.
Yah, terlepaslah tubuhku. Aku tak bisa menahan berat badanku terlalu lama.
Mungkin Tuhan mulai marah denganku. Dan memintaku kembali pada-Nya sekarang.
Saat ini. Dan detik ini juga. Terimakasih Tuhan..
“ Bapaaakkk............... “ aku
terbangun dalam kegelapan malam
“ Mega... mega... kamu kenapa? miimpi
buruk lagi yah?” Nina menyadarkanku di tengah keheningan. Pukul 03.22 aku
terbangun dengan keringat yang semakin membuat jaket yang aku kenakan ini
basah. Sesekali aku melirik suasana di sekelilingku. Sampai puncak.
Subhanallah.. beberapa jam lagi aku akan menyaksikan indahnya ciptaan Tuhan di
dunia ini. Aku hanya bermimpi. Bunga tidur semalam membuat aku semakin takut.
Takut akan keabadian bunga yang ingin sekali aku dapatkan.
Ternyata hanya sebuah ilustri saja.
Hanya pelengkap tidurku yang diselimuti kelelahan panjang. Namun, puncak
merbabu sudah bisa aku taklukan dalam waktu 7 jam. Meskipun berat rasanya untuk
mencapai puncak keindahan gunung dengan kapasitas dinginnya yang menakjubkan.
Satu demi satu rasa takut sudah aku bunuh dengan semangat bayangan bapak di
pikiranku. Terimakasih Tuhan, sudah memberikan mimpi indah itu. Terimakasih
Tuhan, telah mengembalikan nyawaku untuk bisa melihat, merenungi, dan
mensyukuri segala ciptaan-Mu di muka bumi ini. Jazakumullah...