Seminggu
setelah kepergiannya, hidupku terasa amat gelap. Sesekali hujanpun enggan turun
dan datang kepadaku untuk sekadar menyapaku dalam kesendirian. Burung-burung di
halaman rumah yang biasanya berkicauan menyambut pagiku mesra, kini tinggal
bulu-bulu halus yang menempel di setiap dinding kamarku. Malam, ketika beberapa
orang menyaksikan terangnya bulan atau indahnya bulan di sudut taman, aku hanya
tertidur dengan bantal dan berbagai boneka berwarna hijau kesukaanku. Mereka
menjadi sahabat penenang setelah kepergiannya. Selasa, ketika semua
teman-temanku tertawa karena bisa berlatih renang dengan psangannya
masing-masing, aku hanya bisa tertunduk masam menyaksikan gelak tawa
dipenghujung pagi. Entahlah, perubahan hidupku menjadi semakin terpuruk
semenjak tawanya tiada. Semenjak bayangnya menghilang dari pandanganku.
Terkadang,
aku sendiri mengajak nyawaku untuk segera bangkit dari keterpurukan ini. Namun
jiwaku masih tak sanggup meluapkan segala kekesalan pada dunia. Mengapa dia
yang begitu cepat meninggalkan aku dalam keheningan. Bukankah dia pernah
berjanji akan menemaniku belajar sampai aku menjadi apa yang aku inginkan? Tapi
mengapa ragaku ia ambil. Mengapa ragaku yang masih sangat ingin bersamanya,
begitu cepat dipisahkan dengan bayangannya. Tuhan tidak adil. Mengapa hanya
dia?
“
Jika kau ingin mengetahui betapa banyak hitungan bulan, maka tanyakan seorang
ibu yang akan melahirkan anak pertamanya. Jika kau ingin mengetahui betapa
banyak hitungan detik, maka tanyakan seseorang yang selamat dari bencana besar.
Betapa berharganya waktu bagi mereka.”
Banyak
manusia-manusia hebat yang terkadang tidak pernah menyadari kehebatannya.
Banyak pula manusia-manusia sederhana yang bahkan tidak mengakui betapa
sederhananya ia. Tapi aku, aku tidak pantas kau sebut sebagai manusia. Karena
aku memang bukan manusia. Aku jauh lebih hina jika disebut sebagai manusia.
Tubuhku teramat kotor untuk mengakui keberadaannku di dunia ini. Kakiku teramat
indah jika dikatakan sebagai manusia seutuhnya. Dan tanganku teramat sempurna
jika dikatakan bahwa aku manusia paling beruntung di dunia ini. Karena aku
memang bukan manusia. Aku bukan manusia yang mampu mengubah dunia menjadi
secantik awan. Atau bahkan, aku hanya mampu menjadikan diri ini seperti setan.
Yah, aku memang setan yang bersuara emas. Setan yang memiliki cara pandang
manusia.
Aku
raih sebuah hiasan yang sengaja aku letakan tak jauh dari tempat tidurku. Benda
itu memberikan aku banyak makna, juga memberiku desiran air mata. Memory dua
tahun lalu. Ketika aku dan dia duduk bersama disebuah tempat penuh bunga. Dia
sangat menyukai mawar putih. Dihari jadinya yang ke 14, aku sengaja memberinya
setangkai mawar putih dengan boneka Barbie kesukaannya. Dia cantik, semakin
cantik.
“
Selamat ulangtahun sahabatku, Kania.. panjang umur dan sukses selalu yah..”
Diawal
tahun, kania mengajakku untuk mendaki dan menjelajah salah satu gunung di Jawa
Tengah. Merbabu. Yah, aku masih ingat betul gunung itu yang menjadi saksi
perjalanan hatiku bersamanya. Dia pecinta alam yang sudah berkali-kali
menjelajah gunung di Jawa. Beberapa kali ia mengajakku mendaki gunung, namun
berkali-kali pula aku menolaknya. Aku tidak seperti dia yang suka dengan
pendakian. Semeru, merbabu, merapi, ungaran, sindoro sumbing, bromo, ceremai,
arjuna, dan masih banyak lagi. Namun baru kali ini aku berkenan ia ajak mendaki
ke merbabu. Entahlah, ada kepuasan tersendiri ketika sampai di puncak gunung.
Kita bisa mensyukuri ciptaan Allah, katanya. Mungkin, karena aku belum pernah
merasakan nikmatnya menjadi pendaki seperti kania.
“
Banyak ciptaan Allah yang terkadang masih kita lupakan, Ndin. Jadi, apa
salahnya kita mencari dan melihat lebih dekat bagaimana Allah menciptakan
segalanya di dunia ini.. “ senyumnya semakin indah. Kania gadis yang menawan.
Tak heran banyak laki-laki yang menyukainya, termasuk Mas Raihan. Kakak kelasku
yang hampir satu tahun menjadi penjaga hatiku. Tapi sedikitpun aku tidak pernah
memiliki perasaan cemburu padanya. Karena dia bukan sekadar sahabat, tapi
saudara kandung.
Perjalanan
singkatku dengannya menuju puncak merbabu hanya tinggal satu langkah lagi.
Pukul 09.33 aku dan kania bersama rombongan bersama-sama sampai di puncak
gunung dnegan ketinggian mencapai 3.414 meter dari permukaan laut. Ada kepuasan
tersendiri ketika kita dengan harunya berada di antara ciptaan Allah di alam
semesta ini. Subhanallah indahnya…
Beberapa
bunga edelweiss tumbuh subur diantara gersangnya gunung merbabu. Anginnya yang
semilir menambah rasa kantuk yang mulai menyengat mataku. Bukan hanya kami yang
berada diantara indahnya puncak merbabu, namun ada beberapa orang yang terlihat
menikmati indahnya ciptaan Allah yang begitu dahsyatnya itu. Kami sempat
berbincang-bincang di tengah udara yang sejuk namun terkadang panas menyengat
kulit.
Lelah
menjadi santapan makan malam kami setelah melalu jalan panjang menuju puncak
merbabu. Dingin menjadi minuman penghangat rasa letih kami setalah melawan tingginya
puncak merbabu di siang hari. Rasa kantukpun tak lepas menjadi cemilan
kelelahan kami yang hampir satu hari ini berkutit dengan dinginnya merbabu.
Namun inilah sebuah nilai kesabaran. Kesabaran untuk mencapai sebuah tujuan.
Perjuangan dengan berbagai halangan untuk mencapai apa yang menjadi tujuan
bersama. Dan inilah karunia terbesar yang pernah Allah berikan padaku.
Matahari
diufuk barat sudah enggan memunculkan senyumnya pada kami. Mungkin ia malu pada
rembulan yang sebentar lagi muncul dan menunjukan senyuman termanisnya. Langkah
demi langkah kecil kami lalui bersama tanpa adanya ruang diantara kelelahan.
Gersangnya tanah merbabu sudah mulai aku kalahkan dengan semangat menuruni
gunung itu. Meski dingin mulai menusuk sendi-sendi tulang ini, namun semangat
untuk sampai di basecamp jauh lebih besar dibandingkan apapun. Aku lirik jam
tanganku, masih pukul 18.45 aku terus berjalan diantara ilalang yang
menggoyangkan kesejukannya. Kania masih menggenggam tangan kananku dengan erat.
Sangat erat, lebih erat dibandingkan ketika mulai pendakian. Tidak biasanya ia
seperti itu.
Brruukk…
“
Kania.. kania kamu kenapa? Kania bangun.. bangun kania.. “ aku sempat menangis
kala itu. Tubuhnya menjadi dingin, bibirnya pucat pasi. Mungkin karena
kedinginan akut. Tapi tak biasanya ia mengalami kejadian seperti ini. Iapun
tidak memiliki penyakit hipeternia. Atau
mungkin, ia belum sempat makan? Sepertinya sebelum sampai puncak, kami makan
roti bersama-sama dengan berbagai makanan ringan yang sengaja kami siapkan.
Semua orang merasa panik. Tidak terkecuali aku, di sampingnya.
“
Kania mengalami hipeternia. Peluk dia lebih erat lagi. Jangan sampai lepas.
Kalau perlu tambahkan lagi selimut dan jaketnya. Andin, peluk dia ndin. “ Mas
Raihan terus memintaku memeluk kania. Tubuhnya semakin dingin. Bibirnya pucat
pasi. Oh Tuhan, jangan amabil dia sekarang. Aku masih ingin bersamanya dan
menjaganya. Masih banyak impian yang kami miliki dan belum kami capai
seutuhnya.
Pukul
20.00 tepat. Aku tidak lagi meraskan detak jantungnya. Detakkan nadinyapun
tidak aku rasakan. Apa ini pertanda buruk? Tidak, aku tidak membunuh sahabatku
sendiri. Aku tidak membunuhnya. Kania masih berada dipelukanku saat itu. Kedua
tangannya tidak berdaya. Wajahnya pucat pasi. Tubuhnya menjadi kaku. Dan detak
jantungnya melemah.
“
Kania bangun…!!! Kania… !!!”
Aku
terbangun dalam lamunan panjang. Aku letakkan bingkai foto itu di atas meja.
Biarlah, biar saja air mata ini mengalir deras. Mungkin aku memang bukan
manusia. Aku setan. Aku iblis. Aku tak bisa menyelamatkan sahabatku sendiri.
Padahal, ketika itu aku berada di sampingnya. Aku bodoh. Aku tolol. Tuhan,
pantaskah aku Kau sebut sebagai manusia? Kiranya memang bukan. Dan aku memang
bukan manusia. Aku telah membunuh sahabatku sendiri. Sahabat macam apa aku ini?
Membiarkan sahabat sendiri mati kedinginan.
Yah,
seminggu ini hidupku serasa mati. Aku hidup, tapi aku mati. Enggan rasanya
melakukan apapun tanpa kehadiran Kania. Enggan rasanya melakukan segala sesuatu
dengan rasa bersalah yang teramat dalam. Semoga saja, merbabu bukan tempat
persinggahan terakhir semua sahabat-sahabatku yang lain. Semoga saja, merbabu
tidak menjadi kenangan pahit seumur hidupku.
Selamat
tinggal pecinta alam..
Selamat
tinggal putri manisku, Kania…