Sabtu, 30 Agustus 2014

BUKAN MANUSIA

          Seminggu setelah kepergiannya, hidupku terasa amat gelap. Sesekali hujanpun enggan turun dan datang kepadaku untuk sekadar menyapaku dalam kesendirian. Burung-burung di halaman rumah yang biasanya berkicauan menyambut pagiku mesra, kini tinggal bulu-bulu halus yang menempel di setiap dinding kamarku. Malam, ketika beberapa orang menyaksikan terangnya bulan atau indahnya bulan di sudut taman, aku hanya tertidur dengan bantal dan berbagai boneka berwarna hijau kesukaanku. Mereka menjadi sahabat penenang setelah kepergiannya. Selasa, ketika semua teman-temanku tertawa karena bisa berlatih renang dengan psangannya masing-masing, aku hanya bisa tertunduk masam menyaksikan gelak tawa dipenghujung pagi. Entahlah, perubahan hidupku menjadi semakin terpuruk semenjak tawanya tiada. Semenjak bayangnya menghilang dari pandanganku.
Terkadang, aku sendiri mengajak nyawaku untuk segera bangkit dari keterpurukan ini. Namun jiwaku masih tak sanggup meluapkan segala kekesalan pada dunia. Mengapa dia yang begitu cepat meninggalkan aku dalam keheningan. Bukankah dia pernah berjanji akan menemaniku belajar sampai aku menjadi apa yang aku inginkan? Tapi mengapa ragaku ia ambil. Mengapa ragaku yang masih sangat ingin bersamanya, begitu cepat dipisahkan dengan bayangannya. Tuhan tidak adil. Mengapa hanya dia?
“ Jika kau ingin mengetahui betapa banyak hitungan bulan, maka tanyakan seorang ibu yang akan melahirkan anak pertamanya. Jika kau ingin mengetahui betapa banyak hitungan detik, maka tanyakan seseorang yang selamat dari bencana besar. Betapa berharganya waktu bagi mereka.”
Banyak manusia-manusia hebat yang terkadang tidak pernah menyadari kehebatannya. Banyak pula manusia-manusia sederhana yang bahkan tidak mengakui betapa sederhananya ia. Tapi aku, aku tidak pantas kau sebut sebagai manusia. Karena aku memang bukan manusia. Aku jauh lebih hina jika disebut sebagai manusia. Tubuhku teramat kotor untuk mengakui keberadaannku di dunia ini. Kakiku teramat indah jika dikatakan sebagai manusia seutuhnya. Dan tanganku teramat sempurna jika dikatakan bahwa aku manusia paling beruntung di dunia ini. Karena aku memang bukan manusia. Aku bukan manusia yang mampu mengubah dunia menjadi secantik awan. Atau bahkan, aku hanya mampu menjadikan diri ini seperti setan. Yah, aku memang setan yang bersuara emas. Setan yang memiliki cara pandang manusia.
Aku raih sebuah hiasan yang sengaja aku letakan tak jauh dari tempat tidurku. Benda itu memberikan aku banyak makna, juga memberiku desiran air mata. Memory dua tahun lalu. Ketika aku dan dia duduk bersama disebuah tempat penuh bunga. Dia sangat menyukai mawar putih. Dihari jadinya yang ke 14, aku sengaja memberinya setangkai mawar putih dengan boneka Barbie kesukaannya. Dia cantik, semakin cantik.
“ Selamat ulangtahun sahabatku, Kania.. panjang umur dan sukses selalu yah..”
Diawal tahun, kania mengajakku untuk mendaki dan menjelajah salah satu gunung di Jawa Tengah. Merbabu. Yah, aku masih ingat betul gunung itu yang menjadi saksi perjalanan hatiku bersamanya. Dia pecinta alam yang sudah berkali-kali menjelajah gunung di Jawa. Beberapa kali ia mengajakku mendaki gunung, namun berkali-kali pula aku menolaknya. Aku tidak seperti dia yang suka dengan pendakian. Semeru, merbabu, merapi, ungaran, sindoro sumbing, bromo, ceremai, arjuna, dan masih banyak lagi. Namun baru kali ini aku berkenan ia ajak mendaki ke merbabu. Entahlah, ada kepuasan tersendiri ketika sampai di puncak gunung. Kita bisa mensyukuri ciptaan Allah, katanya. Mungkin, karena aku belum pernah merasakan nikmatnya menjadi pendaki seperti kania.
“ Banyak ciptaan Allah yang terkadang masih kita lupakan, Ndin. Jadi, apa salahnya kita mencari dan melihat lebih dekat bagaimana Allah menciptakan segalanya di dunia ini.. “ senyumnya semakin indah. Kania gadis yang menawan. Tak heran banyak laki-laki yang menyukainya, termasuk Mas Raihan. Kakak kelasku yang hampir satu tahun menjadi penjaga hatiku. Tapi sedikitpun aku tidak pernah memiliki perasaan cemburu padanya. Karena dia bukan sekadar sahabat, tapi saudara kandung.
Perjalanan singkatku dengannya menuju puncak merbabu hanya tinggal satu langkah lagi. Pukul 09.33 aku dan kania bersama rombongan bersama-sama sampai di puncak gunung dnegan ketinggian mencapai 3.414 meter dari permukaan laut. Ada kepuasan tersendiri ketika kita dengan harunya berada di antara ciptaan Allah di alam semesta ini. Subhanallah indahnya…
Beberapa bunga edelweiss tumbuh subur diantara gersangnya gunung merbabu. Anginnya yang semilir menambah rasa kantuk yang mulai menyengat mataku. Bukan hanya kami yang berada diantara indahnya puncak merbabu, namun ada beberapa orang yang terlihat menikmati indahnya ciptaan Allah yang begitu dahsyatnya itu. Kami sempat berbincang-bincang di tengah udara yang sejuk namun terkadang panas menyengat kulit.
Lelah menjadi santapan makan malam kami setelah melalu jalan panjang menuju puncak merbabu. Dingin menjadi minuman penghangat rasa letih kami setalah melawan tingginya puncak merbabu di siang hari. Rasa kantukpun tak lepas menjadi cemilan kelelahan kami yang hampir satu hari ini berkutit dengan dinginnya merbabu. Namun inilah sebuah nilai kesabaran. Kesabaran untuk mencapai sebuah tujuan. Perjuangan dengan berbagai halangan untuk mencapai apa yang menjadi tujuan bersama. Dan inilah karunia terbesar yang pernah Allah berikan padaku.
Matahari diufuk barat sudah enggan memunculkan senyumnya pada kami. Mungkin ia malu pada rembulan yang sebentar lagi muncul dan menunjukan senyuman termanisnya. Langkah demi langkah kecil kami lalui bersama tanpa adanya ruang diantara kelelahan. Gersangnya tanah merbabu sudah mulai aku kalahkan dengan semangat menuruni gunung itu. Meski dingin mulai menusuk sendi-sendi tulang ini, namun semangat untuk sampai di basecamp jauh lebih besar dibandingkan apapun. Aku lirik jam tanganku, masih pukul 18.45 aku terus berjalan diantara ilalang yang menggoyangkan kesejukannya. Kania masih menggenggam tangan kananku dengan erat. Sangat erat, lebih erat dibandingkan ketika mulai pendakian. Tidak biasanya ia seperti itu.
Brruukk…
“ Kania.. kania kamu kenapa? Kania bangun.. bangun kania.. “ aku sempat menangis kala itu. Tubuhnya menjadi dingin, bibirnya pucat pasi. Mungkin karena kedinginan akut. Tapi tak biasanya ia mengalami kejadian seperti ini. Iapun tidak memiliki penyakit hipeternia. Atau mungkin, ia belum sempat makan? Sepertinya sebelum sampai puncak, kami makan roti bersama-sama dengan berbagai makanan ringan yang sengaja kami siapkan. Semua orang merasa panik. Tidak terkecuali aku, di sampingnya.
“ Kania mengalami hipeternia. Peluk dia lebih erat lagi. Jangan sampai lepas. Kalau perlu tambahkan lagi selimut dan jaketnya. Andin, peluk dia ndin. “ Mas Raihan terus memintaku memeluk kania. Tubuhnya semakin dingin. Bibirnya pucat pasi. Oh Tuhan, jangan amabil dia sekarang. Aku masih ingin bersamanya dan menjaganya. Masih banyak impian yang kami miliki dan belum kami capai seutuhnya.
Pukul 20.00 tepat. Aku tidak lagi meraskan detak jantungnya. Detakkan nadinyapun tidak aku rasakan. Apa ini pertanda buruk? Tidak, aku tidak membunuh sahabatku sendiri. Aku tidak membunuhnya. Kania masih berada dipelukanku saat itu. Kedua tangannya tidak berdaya. Wajahnya pucat pasi. Tubuhnya menjadi kaku. Dan detak jantungnya melemah.
“ Kania bangun…!!! Kania… !!!”
Aku terbangun dalam lamunan panjang. Aku letakkan bingkai foto itu di atas meja. Biarlah, biar saja air mata ini mengalir deras. Mungkin aku memang bukan manusia. Aku setan. Aku iblis. Aku tak bisa menyelamatkan sahabatku sendiri. Padahal, ketika itu aku berada di sampingnya. Aku bodoh. Aku tolol. Tuhan, pantaskah aku Kau sebut sebagai manusia? Kiranya memang bukan. Dan aku memang bukan manusia. Aku telah membunuh sahabatku sendiri. Sahabat macam apa aku ini? Membiarkan sahabat sendiri mati kedinginan.
Yah, seminggu ini hidupku serasa mati. Aku hidup, tapi aku mati. Enggan rasanya melakukan apapun tanpa kehadiran Kania. Enggan rasanya melakukan segala sesuatu dengan rasa bersalah yang teramat dalam. Semoga saja, merbabu bukan tempat persinggahan terakhir semua sahabat-sahabatku yang lain. Semoga saja, merbabu tidak menjadi kenangan pahit seumur hidupku.
Selamat tinggal pecinta alam..
Selamat tinggal putri manisku, Kania…