Namaku
bayangan. Mungkin kau tidak akan bisa melihatku ketika malam. Atau mungkin
ketika hujan mulai membasahi harimu. Ketika sang raja siang mulai menampakkan
dirinya di ufuk timur, aku akan segera
menapaki jejak-jejak langkah hina ini. Kau tidak akan bisa menerima kehadiranku
ketika malam mulai menelusuri hari-hari itu. Bayanagan akan senantiasa member
nuansa baru ktika hujan dan pelangi sama-sama berbaregan menapaki jejak-jejak
kerinduan dalam diamku.
Namaku awan. Setiap saat kau akan
menemukanku dalam diam. Ketika sang raja siang mulai diam lalu mencium aroma
keheninganku. Kau akan meenmukanku dalam keadaan biru atau bahkan tak berwarna
sekaligus. Ketika hujan melanda, angin akan senantiasa menghembuskan beribu
kata untuk menyegarkan harui-hariku. Ketika diam, gunung-gunung dan berbagai
keindahan di alam akan tersenyum melihat keheningaku yang mulai merenguk.
Dan kali ini, namaku keheningan.
Senja mulai menyapaku ketika sang malam sendiri menyindir segala keresahan yang
melanda. Sunyi meronggak jalan pikiranku jetika senyap bergeora dalam kebisuan
yang dalam. Kecil. Aku terlihat kecil jika dibandingkan dengan semilir angin
dan deraian badai cinta. Mungkin kau akan menemukanku dalam keadaan basah
karena air mata yang terus membasahi pipiku.
Masih terekan jelas ketika suaraku
mulai memasang kuda-kuda untuk melepas kepergianmu ke dunia barumu. Masih
sangat kecil jika aku harus mengatakan hal yang sesungguhnya di hadapan cinta.
Aku tidak terlahir dan dewasa dari seonggok darah yang menangisi akan kepergianmu.
Jiwaku pun tak sekuat baja dengan tekanan angin di dalamnya. Kulitku tak
sejernh embun pagi dengan wanginya yang semerbak tercium mesra.
Aku sempat membaca ketika nyawaku
mulai terbaring dengan segudang rindu menyusup ke dalam aliran darah. Aku masih
merekam jelas jejak-jejak kepergianmu bersamanya. Yah, aku katakan bersamanya.
Karena ketika itu kau tak sendiri. Memang kau tak sendiri kala itu. Bayanganmu
masih terekam jelas dengan bisik-bisik angin yang menyelinap ke sekujur
tulangku. Harumnya masih menyengat jelas kala itu.
Yah, kau hanya akan mengenangku
dengan nama-nam itu. Bahkan melupakanku. Berapa bulan yang lalu, kau menciumku
dengan bayangan. Memelukku dengan senyuan, dan merayuku dengan sekantong kata.
Munafik. Kau hanya mampu bersembunyi dibalik kekacauanmu sendiri. Tak ubahnya
ketika malam itu. Ketika kau katakana sebuah kalimat rindu, lalu kau
menjatuhkanku ke lubang api yang membara. Pengecut. Sesekali kau luapkan
kekesalanmu pada kata-kata yang menjadi abu.
Kini, bicaralah pada dirimu sendiri,
lalu ungkapkan pada sebuah kejujuran yang menyelimutimu dengan sentuhan hangat.
Aku merindukanmu. Merindu dengan kepolosanmu. Dan rindu dengan wajah-wajah yang
selalu memberikan kehangatan.
Ungaran, 31 Agustus 2104