Sabtu, 30 Agustus 2014

LIRIH



Namaku bayangan. Mungkin kau tidak akan bisa melihatku ketika malam. Atau mungkin ketika hujan mulai membasahi harimu. Ketika sang raja siang mulai menampakkan dirinya di ufuk timur,  aku akan segera menapaki jejak-jejak langkah hina ini. Kau tidak akan bisa menerima kehadiranku ketika malam mulai menelusuri hari-hari itu. Bayanagan akan senantiasa member nuansa baru ktika hujan dan pelangi sama-sama berbaregan menapaki jejak-jejak kerinduan dalam diamku.
            Namaku awan. Setiap saat kau akan menemukanku dalam diam. Ketika sang raja siang mulai diam lalu mencium aroma keheninganku. Kau akan meenmukanku dalam keadaan biru atau bahkan tak berwarna sekaligus. Ketika hujan melanda, angin akan senantiasa menghembuskan beribu kata untuk menyegarkan harui-hariku. Ketika diam, gunung-gunung dan berbagai keindahan di alam akan tersenyum melihat keheningaku yang mulai merenguk.
            Dan kali ini, namaku keheningan. Senja mulai menyapaku ketika sang malam sendiri menyindir segala keresahan yang melanda. Sunyi meronggak jalan pikiranku jetika senyap bergeora dalam kebisuan yang dalam. Kecil. Aku terlihat kecil jika dibandingkan dengan semilir angin dan deraian badai cinta. Mungkin kau akan menemukanku dalam keadaan basah karena air mata yang terus membasahi pipiku.
            Masih terekan jelas ketika suaraku mulai memasang kuda-kuda untuk melepas kepergianmu ke dunia barumu. Masih sangat kecil jika aku harus mengatakan hal yang sesungguhnya di hadapan cinta. Aku tidak terlahir dan dewasa dari seonggok darah yang menangisi akan kepergianmu. Jiwaku pun tak sekuat baja dengan tekanan angin di dalamnya. Kulitku tak sejernh embun pagi dengan wanginya yang semerbak tercium mesra.
            Aku sempat membaca ketika nyawaku mulai terbaring dengan segudang rindu menyusup ke dalam aliran darah. Aku masih merekam jelas jejak-jejak kepergianmu bersamanya. Yah, aku katakan bersamanya. Karena ketika itu kau tak sendiri. Memang kau tak sendiri kala itu. Bayanganmu masih terekam jelas dengan bisik-bisik angin yang menyelinap ke sekujur tulangku. Harumnya masih menyengat jelas kala itu.
            Yah, kau hanya akan mengenangku dengan nama-nam itu. Bahkan melupakanku. Berapa bulan yang lalu, kau menciumku dengan bayangan. Memelukku dengan senyuan, dan merayuku dengan sekantong kata. Munafik. Kau hanya mampu bersembunyi dibalik kekacauanmu sendiri. Tak ubahnya ketika malam itu. Ketika kau katakana sebuah kalimat rindu, lalu kau menjatuhkanku ke lubang api yang membara. Pengecut. Sesekali kau luapkan kekesalanmu pada kata-kata yang menjadi abu.
            Kini, bicaralah pada dirimu sendiri, lalu ungkapkan pada sebuah kejujuran yang menyelimutimu dengan sentuhan hangat. Aku merindukanmu. Merindu dengan kepolosanmu. Dan rindu dengan wajah-wajah yang selalu memberikan kehangatan.
Ungaran, 31 Agustus 2104