Seandainya
saja matahari tak sepanas kemarin. Seandainya saja bulan tak seredup malam
kemarin. Seandainya saja malam tak jauh lebih cepat dibandingkan siang.
Seandainya saja bunga tak jauh lebih indah dari daunnya. Dan seandainya saja
aku tak lahir sebagai gadis dengan keterbatasan fisik. Mungkin duniaku akan
jauh lebih indah seperti apa yang aku bayangkan dan aku khayalkan sebelumnya.
Aku masih ingat betul bagaimana
hantaman keras itu mengenai kepalaku, dan seketika duniaku menjadi gelap tanpa
arah. Aku masih ingat betul bagaimana suara keras itu mendadak mengenai
kepalaku. Dan seketika kedua kakiku tak dapat aku gerakkan sama sekali.
Disitulah aku mulai merasa tiada keabadian diantara kesunyianku yang panjang.
Aku mulai menyendiri dengan kebimbanganku. Aku lelah, dan aku resah.
Kesendirianku mulai terbaca dengan
kehadiran sosok perempuan di seberang hati ini. Aku terbiasa dengan suara
dentingan jam yang setiap saat mengingatkanku untuk segera bercumbu dengan
segala macam obat-obatan. Dari yang berbentuk bulat panjang, sampai yang
memiliki bentuk segitiga sekalipun. Dari yang berwarna putih, sampai yang
berwarna ungu. Semua terhidang dihadapanku setiap dua jam sekali. Ibu tak
pernah lelah mengingatkanku. Terlagi Ayah yang setia menungguku di tempat tidur
ini.
Malam ini, aku tak bisa menarik
selimut panjang itu lagi. Dingin, itu pasti. Menggigil, bahkan itu sudah
menjadi santapan malamku. Tapi ada yang lebih membuat aku harus bisa bertahan
dengan segala kedinginan ini. Gigi, yah dialah alasanku bertahan dengan semua
ini. Delapan tahun lalu aku merasakan kebahagiaan yang teramat dalam karena aku
memiliki putri kecil yang cantik, imut, dan lucu. Dia anugerah terindah yang
pernah aku miliki setelah Mas Vino, suamiku. Namun beberapa tahun setelah
kelahirannya ke dunia ini, sebuah tanda tanya besar merenggut kebahagiaanku
bersama Mas Vino. Panasnya tinggi, badannya terus menggiggil kedinginan, wajah
cantiknya berubah menjadi pucat pasi, dan kedua bola matanya entah tak terbaca
dengan kata. Aku hanya berdoa dan berdoa kepada yang punya hidup saja. Semoga
tidak ada cela diantara malam yang sunyi ini.
Air matanya mulai membasahi pipi
merahnya dihadapanku. Namun aku tak hentinya menatap bola mata indah itu, agar
aku tak masuk dalam kelelapanku sendiri. Dan cerita itu pun berlanjut,
Anakku, putri keclku, malaikat
indahku, gigiku saat ini terbaring lemah di atas kasur dengan selang infus
menempel di pergelangan tanga kirinya. Ia terlihat kelelahan. Mungkin karena
sehari ini ia harus berkutik dengan segala macam obat-obatan. Ada satu hal yang
membuat tubuhku serasa tak berdayu. Kedua kakiku serasa tak berpijak pada bumi.
Dan nafasku seketka berhenti. Gigiku akan kehilangan pendengaran, penglihatan,
dan alat ucapnya. Tuhan, apa dosaku di masalalu? sehingga sebegitu beratnya
ujian hidup yang menimpaku dan gigi. Rasanya aku ingin mati saja, dan
mengakhiri semuanya. Tapi aku harus bisa bertahan demi putri kecilku. Sabar dan
ikhlas, itu yang selalu Mas Vino katakan padaku. Semua itu akan ada hikmah.
Hari-hariku hanya ditemani air mata
dan kesenyapan. Tak ada yang mampu aku lakukan selain menangisi kenyataan hidup
anakku. Dia masih terlalu kecil untuk menerima semua dosa dan kesalahannku
dimasalalu. Aku mencoba untuk tegar dan senantiasa memberikan gigi arahan-arahan
kecil agar kelak ketika ia dewasa nanti, ia bisa menerima kenyataan yang
sebenarnya, meskipun mungkin tidak seikhlas dan semudah yang aku bayangkan.
Usianya kala itu baru menginjak 5 tahun. Dan aku mencoba mengenalkan dia dengan
dunianya. Belajar, bermain, merasa, menatap, mendengar, mengulang, berkata,
mencintai, dan segalanya aku berikan padanya. Aku tahu itu sulit.
Tapi aku mengusik sebuah bayangan
tentang kenyataan hidup dan arti sebuah keikhlasan yang tiada tara. Perjalanan
hidup putri kecilku amsih panjang. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.
Suatu saat nanti, putri kecilku akan menjadi juara diantara semua juara. Putri
kecilku akan menjadi putri diantara putri lainnya. Dan putri kecilku akan
menjadi putri terbaik diantara kesempurnaan lainnya di dunia ini. Aku hanya
selalu mengingatkan keheningan ini. Bahwa kunci semua ini hanya terletak pada
hati. Yah, hanya ada pada hati.
Aku mulai mengusap butiran dingin
ini. Tak ada guna aku menangisi segala yang terjadi padaku. Diantara manisnya
gula, masih ada yang jauh lebih manis. Diantara putihnya kertas, masih ada
kertas yang jauh lebih putih. Cerita kesunyian salah seorang petugas kebersihan
di Rumah Sakit tempat aku menyegarkan kesakitanku itu semakin menyadarkan aku
tentang banyak hal. Di dalam luasnya kehidupan di dunia ini, masih tersimpan
sesuatu yang memiliki makna indah untuk kita pelajari. Dan aku tahu satu hal,
segala sesuatu yang menimpa hidup kita, kekurangan kita, dan kecacatan kita
pasti ada satu kunci yang membuat kita mampu bertahan di dalamnya. Hati, yah..
dengan itulah kita mampu mengobati segala kesenyapan itu. Ikhlas dan sabar itu
ibarat kertas kosong yang tak ada satupun goresan yang melukainya. Semuanya
masih sangat bersih.
Aku rangkul tubuhnya dengan hangat.
Aku ingin merasakan betapa sedih dan pedihnya luka yang ia rasakan selama
bertahun-tahun dengan keadaan seperti itu. Aku ingin merasakan arti sabar dan
ikhlas di atas kertas kosong itu. Cukup dengan dua kata itu saja, aku berharap
tidak ada lagi kata “mengeluh” untuk perjalanan ini.
Biarlah. Meski langkah ini tak
sesempurna dulu, meski duniaku seakan berbalik 1800, Meski langkahku
tak selincah dulu lagi, tapi aku yakin dengan dua kunci itu. Dua kunci yang telah
merasuk dalam ingataku. Cerita perempuan itu membuatku tersadar. Dan tangisan
perempuan berseragam putih itu membuatku lebih tegar. Inilah hidupku, inilah
jalanku, mski tanpa kedua kaki.