Jumat, 13 Juni 2014

,KERTAS KOSONG

               Seandainya saja matahari tak sepanas kemarin. Seandainya saja bulan tak seredup malam kemarin. Seandainya saja malam tak jauh lebih cepat dibandingkan siang. Seandainya saja bunga tak jauh lebih indah dari daunnya. Dan seandainya saja aku tak lahir sebagai gadis dengan keterbatasan fisik. Mungkin duniaku akan jauh lebih indah seperti apa yang aku bayangkan dan aku khayalkan sebelumnya.
            Aku masih ingat betul bagaimana hantaman keras itu mengenai kepalaku, dan seketika duniaku menjadi gelap tanpa arah. Aku masih ingat betul bagaimana suara keras itu mendadak mengenai kepalaku. Dan seketika kedua kakiku tak dapat aku gerakkan sama sekali. Disitulah aku mulai merasa tiada keabadian diantara kesunyianku yang panjang. Aku mulai menyendiri dengan kebimbanganku. Aku lelah, dan aku resah.
            Kesendirianku mulai terbaca dengan kehadiran sosok perempuan di seberang hati ini. Aku terbiasa dengan suara dentingan jam yang setiap saat mengingatkanku untuk segera bercumbu dengan segala macam obat-obatan. Dari yang berbentuk bulat panjang, sampai yang memiliki bentuk segitiga sekalipun. Dari yang berwarna putih, sampai yang berwarna ungu. Semua terhidang dihadapanku setiap dua jam sekali. Ibu tak pernah lelah mengingatkanku. Terlagi Ayah yang setia menungguku di tempat tidur ini.
            Malam ini, aku tak bisa menarik selimut panjang itu lagi. Dingin, itu pasti. Menggigil, bahkan itu sudah menjadi santapan malamku. Tapi ada yang lebih membuat aku harus bisa bertahan dengan segala kedinginan ini. Gigi, yah dialah alasanku bertahan dengan semua ini. Delapan tahun lalu aku merasakan kebahagiaan yang teramat dalam karena aku memiliki putri kecil yang cantik, imut, dan lucu. Dia anugerah terindah yang pernah aku miliki setelah Mas Vino, suamiku. Namun beberapa tahun setelah kelahirannya ke dunia ini, sebuah tanda tanya besar merenggut kebahagiaanku bersama Mas Vino. Panasnya tinggi, badannya terus menggiggil kedinginan, wajah cantiknya berubah menjadi pucat pasi, dan kedua bola matanya entah tak terbaca dengan kata. Aku hanya berdoa dan berdoa kepada yang punya hidup saja. Semoga tidak ada cela diantara malam yang sunyi ini.
            Air matanya mulai membasahi pipi merahnya dihadapanku. Namun aku tak hentinya menatap bola mata indah itu, agar aku tak masuk dalam kelelapanku sendiri. Dan cerita itu pun berlanjut,
            Anakku, putri keclku, malaikat indahku, gigiku saat ini terbaring lemah di atas kasur dengan selang infus menempel di pergelangan tanga kirinya. Ia terlihat kelelahan. Mungkin karena sehari ini ia harus berkutik dengan segala macam obat-obatan. Ada satu hal yang membuat tubuhku serasa tak berdayu. Kedua kakiku serasa tak berpijak pada bumi. Dan nafasku seketka berhenti. Gigiku akan kehilangan pendengaran, penglihatan, dan alat ucapnya. Tuhan, apa dosaku di masalalu? sehingga sebegitu beratnya ujian hidup yang menimpaku dan gigi. Rasanya aku ingin mati saja, dan mengakhiri semuanya. Tapi aku harus bisa bertahan demi putri kecilku. Sabar dan ikhlas, itu yang selalu Mas Vino katakan padaku. Semua itu akan ada hikmah.
            Hari-hariku hanya ditemani air mata dan kesenyapan. Tak ada yang mampu aku lakukan selain menangisi kenyataan hidup anakku. Dia masih terlalu kecil untuk menerima semua dosa dan kesalahannku dimasalalu. Aku mencoba untuk tegar dan senantiasa memberikan gigi arahan-arahan kecil agar kelak ketika ia dewasa nanti, ia bisa menerima kenyataan yang sebenarnya, meskipun mungkin tidak seikhlas dan semudah yang aku bayangkan. Usianya kala itu baru menginjak 5 tahun. Dan aku mencoba mengenalkan dia dengan dunianya. Belajar, bermain, merasa, menatap, mendengar, mengulang, berkata, mencintai, dan segalanya aku berikan padanya. Aku tahu itu sulit.
            Tapi aku mengusik sebuah bayangan tentang kenyataan hidup dan arti sebuah keikhlasan yang tiada tara. Perjalanan hidup putri kecilku amsih panjang. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Suatu saat nanti, putri kecilku akan menjadi juara diantara semua juara. Putri kecilku akan menjadi putri diantara putri lainnya. Dan putri kecilku akan menjadi putri terbaik diantara kesempurnaan lainnya di dunia ini. Aku hanya selalu mengingatkan keheningan ini. Bahwa kunci semua ini hanya terletak pada hati. Yah, hanya ada pada hati.
            Aku mulai mengusap butiran dingin ini. Tak ada guna aku menangisi segala yang terjadi padaku. Diantara manisnya gula, masih ada yang jauh lebih manis. Diantara putihnya kertas, masih ada kertas yang jauh lebih putih. Cerita kesunyian salah seorang petugas kebersihan di Rumah Sakit tempat aku menyegarkan kesakitanku itu semakin menyadarkan aku tentang banyak hal. Di dalam luasnya kehidupan di dunia ini, masih tersimpan sesuatu yang memiliki makna indah untuk kita pelajari. Dan aku tahu satu hal, segala sesuatu yang menimpa hidup kita, kekurangan kita, dan kecacatan kita pasti ada satu kunci yang membuat kita mampu bertahan di dalamnya. Hati, yah.. dengan itulah kita mampu mengobati segala kesenyapan itu. Ikhlas dan sabar itu ibarat kertas kosong yang tak ada satupun goresan yang melukainya. Semuanya masih sangat bersih.
            Aku rangkul tubuhnya dengan hangat. Aku ingin merasakan betapa sedih dan pedihnya luka yang ia rasakan selama bertahun-tahun dengan keadaan seperti itu. Aku ingin merasakan arti sabar dan ikhlas di atas kertas kosong itu. Cukup dengan dua kata itu saja, aku berharap tidak ada lagi kata “mengeluh” untuk perjalanan ini.
            Biarlah. Meski langkah ini tak sesempurna dulu, meski duniaku seakan berbalik 1800, Meski langkahku tak selincah dulu lagi, tapi aku yakin dengan dua kunci itu. Dua kunci yang telah merasuk dalam ingataku. Cerita perempuan itu membuatku tersadar. Dan tangisan perempuan berseragam putih itu membuatku lebih tegar. Inilah hidupku, inilah jalanku, mski tanpa kedua kaki.