Senin, 06 Januari 2014

KETIKA AWAN TERSENYUM

KETIKA AWAN TERSENYUM


            Awan itu mengingatkanku akan senyuman manisnya. Angin di senjaku seakan mengukir sejarah panjang yang sampai saat ini masih aku simpan dalam nuraniku erat. Bagaimana aku mampu memenangkan gelombang pasang di atasku. Dimana aku mampu menahan rasa getir dalam pandanganku. Dan bagaaimana aku mampu menghapus kegelisahan panjang yang selama berhari-hari membelengguku. Aku pandangi sebuah kilauan kekuning-kuningan di atas lemari panjang. Tertera sebuah kenangan indah ketika aku sendiri tak mampu melawan rasa kegundahanku. Aku menang dalam berkelana. Dan aku menang dalam berkompetisi hati.
            Suaraku serak dan tak bisa terpecahkan ketika Beliau memintaku untuk mundur dari kompetisi ini. Kakiku entah mendadak gemetar hebat. Napasku tak sengaja terhenti dan hatiku serasa tersayat pisau belatih. Aku menyadari bagaimana kemampuanku sesungguhnya yang tiada berharga sedikitpun dibandingkan dengan mereka. Aku siapa? Manusia bodoh dan kolotan. Tak mungkin aku bisa mengalahkan mereka yang pintar dan berasal dari keluarga berada.
            “ Nisa tidak usah ikut lomba cerdas cermat saja yah. Bapak tidak yakin dengan kemampuan kamu. Gina lebih bisa dari kamu. Untuk cerdas cermat ini Bapak serahkan kepada mereka saja yang pintar.”
            Hentakannya mendadak luluh. Aku diam tak bersuara sedikitpun. Ketika itu aku yang masih menginjak naik ke kelas 6 Sekolah Dasar, hanya bisa menangis dan menangis. Apa aku ini memang benar-benar bodoh? Apa karena aku ini hanya anak seorang petani sedangkan mereka teman-temanku seorang yang kaya? Apa karena aku ini tak bisa mendapatkan peringkat pertama di kelas? Atau mungkin…
            Bu Latifah sengaja memanggilku dengan sapaan hangatnya. Aku tak mempunyai firasat apapun untuk kali ini. Mungkin saja, Beliau ingin mengatakan hal yang sama seperti Pak Budi. Yah, mungkin saja kalimat itu yang akan dikatakannya. Aku mulai su’udzon dengan perasaanku senidiri. Tak dapat dipungkiri, bahwa aku merasa takut dan kecewa. 
            Nomor 7. Aku masih ingat betul bagaimana nomor itu menjadi kesukaanku. Aku mendapat giliran untuk maju dan melantunkan ayt-ayat al-quran dihadapan semua orang termasuk Bapak yang terlihat duduk santai diantara beberapa orang temannya. Aku lihat wajah itu tersenyum padaku. Yah, wajah Bapak yang membuat aku semangat mengikuti perlombaan Tilawatil Qur;an ini. Namun, secara mendadak air mataku jatuh dan tak mampu aku bendung ketika aku tak mendapati Pak Yono untuk memeberikan motivasi sebagai wali kelasku ketika itu.
            @@@
            Juara satu. Aku sendiri gemetar mendengar kalimat itu. Kalimat yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Bapak memelukku dengan erat, dan mengusap kepalaku dengan hangatnya. Bukan hanya Bapak saja, namun Bu Latifahpun ikut serta memelukku dan memberikan ucapan selamat padaku. Sebuah kebanggan tersendiri untukku. Entah bagaimana penampilanku ketika itu, mungkin sangat buruk atau bahkan sangat memalukan. Namun aku sadar, betapa sebuah karunia menghampiriku ketika segalanya menjauh. Ketika dunia menganggapku tak ada. Ketika dunia meremehkan kemampuanku.
            Sebagai seorang yang masih dalam proses pencarian, aku hanya terdiam dan mengamati beberapa orang di dekatku. Mereka tersenyum manis. Ada sebuah kebanggaan tersendiri dalam guratan senyuman manis itu.
            “ Juara satu. Selamat yah.. Ibu banggga sama kamu, Nisa. Dan bukan hanya Ibu saja yang bangga sama kamu. Tapi semua orang di sini juga pasti bangga dengan prestasi yang kamu capai hari ini. Semoga semua ini bisa menjadi pelajaran buat kamu yah.. “ Bu Latifah tersenyum
            Lamunanku terguncang denga kehadiran Bapak di sampingku. Beliau duduk dan memandangku dengan penuh harap. Harapan akan sebuah mimpi yang indah. Harapan akan sebuah imajinasi yang selama ini aku dambakan. Dan harapan besar yang sering sekali aku ukir di altar kesejukan. Bapak membelai kerudungku yang sesekali tersambit angin sore. Setelah pukul 17.00, Bapak memang sudah tidak ada kerjaan lagi.
            Aku sesegera mungkin menghapus air mataku. Aku tak ingin kalau sampai air mataku ini terlampau cepat dengan pandangan Bapak dis enja sore ini. Aku tak ingin air mataku terlampau jauh dengan hatinya. Lalu hujanpun mengakhiri perbincangan kami yang hangat sehangat kopi yang sengaja aku buatkan untuk Beliau disisiku. Wangi kopi ini sama seperti wangi semangat Bapak untuk mewujudkan mimpiku menjadi seorang pendidik.
            Sebuah peristiwa dimasalalu membuat aku mempunyai sebuah keinginan kuat untuk ini. Aku tak ingin ada sebuah ketidakadilan yang ku rasakan terjadi lagi diluar sana. Semua peserta didik berhak mendapatkan perlakuan yang sama. Bukan karena ia pintar, kaya, atau yang lainnya. Semua membutuhkan hak yang sama. Dan itu tugas seorang pendidik memberikan semua itu. Memberikan sebuah perlakuan yang sama kepada semua siswanya.
            “ Terkadang apa yang kita pikirkan dan kita anggap benar itu belum tentu baik dan benar bagi orang lain. Begitu pula apa yang dianggap baik dan benar menurut orang lain, belum tentu baik dan benar untuk kita. Oleh karena itu, pikirkan secara matang terlebih dahulu sebelum melakukan sesuatu. Semua itu ada aturannya. “
            Aku masih ingat betul bagaimana kata-kata itu sering sekali keluar dari bibir laki-laki berusia 50 tahun itu. Aku segera memposisikan diri sebagai sebuah imajinasi yang setiap malam menari diingatanku. Aku tak ingin kecemburuan malam mematikanku karena aku terlampau sering berselingkuh dengan bayanganku sendiri.
            “ Semua akan terjadi diluar kendali kita sebagai manusia biasa. Allah yang tahu segalanya, alangkah lebih baiknya jika semua yang terjadi dulu menjadi pelajaran untuk kita menjalankan semua proses kehidupan ini. Jadikan semua itu motivasi bagi kita bahwa apapun yang terjadi, Allah senantiasa bersama kita. “
            Kalimat Bapak menghangatkanku kembali dengan bijaknya. Semua itu butuh proses, katanya. Semua hanya akan kembali kepada yang Hak. Dan aku telah menggoreskan sebuah kalimat bijak yang menggodaku untuk terus melangkah.