KETIKA
AWAN TERSENYUM
Awan itu mengingatkanku akan
senyuman manisnya. Angin di senjaku seakan mengukir sejarah panjang yang sampai
saat ini masih aku simpan dalam nuraniku erat. Bagaimana aku mampu memenangkan
gelombang pasang di atasku. Dimana aku mampu menahan rasa getir dalam
pandanganku. Dan bagaaimana aku mampu menghapus kegelisahan panjang yang selama
berhari-hari membelengguku. Aku pandangi sebuah kilauan kekuning-kuningan di
atas lemari panjang. Tertera sebuah kenangan indah ketika aku sendiri tak mampu
melawan rasa kegundahanku. Aku menang dalam berkelana. Dan aku menang dalam
berkompetisi hati.
Suaraku serak dan tak bisa
terpecahkan ketika Beliau memintaku untuk mundur dari kompetisi ini. Kakiku
entah mendadak gemetar hebat. Napasku tak sengaja terhenti dan hatiku serasa
tersayat pisau belatih. Aku menyadari bagaimana kemampuanku sesungguhnya yang
tiada berharga sedikitpun dibandingkan dengan mereka. Aku siapa? Manusia bodoh
dan kolotan. Tak mungkin aku bisa mengalahkan mereka yang pintar dan berasal
dari keluarga berada.
“ Nisa tidak usah ikut lomba cerdas
cermat saja yah. Bapak tidak yakin dengan kemampuan kamu. Gina lebih bisa dari
kamu. Untuk cerdas cermat ini Bapak serahkan kepada mereka saja yang pintar.”
Hentakannya mendadak luluh. Aku diam
tak bersuara sedikitpun. Ketika itu aku yang masih menginjak naik ke kelas 6
Sekolah Dasar, hanya bisa menangis dan menangis. Apa aku ini memang benar-benar
bodoh? Apa karena aku ini hanya anak seorang petani sedangkan mereka
teman-temanku seorang yang kaya? Apa karena aku ini tak bisa mendapatkan
peringkat pertama di kelas? Atau mungkin…
Bu Latifah sengaja memanggilku
dengan sapaan hangatnya. Aku tak mempunyai firasat apapun untuk kali ini.
Mungkin saja, Beliau ingin mengatakan hal yang sama seperti Pak Budi. Yah,
mungkin saja kalimat itu yang akan dikatakannya. Aku mulai su’udzon dengan
perasaanku senidiri. Tak dapat dipungkiri, bahwa aku merasa takut dan
kecewa.
Nomor 7. Aku masih ingat betul
bagaimana nomor itu menjadi kesukaanku. Aku mendapat giliran untuk maju dan
melantunkan ayt-ayat al-quran dihadapan semua orang termasuk Bapak yang
terlihat duduk santai diantara beberapa orang temannya. Aku lihat wajah itu
tersenyum padaku. Yah, wajah Bapak yang membuat aku semangat mengikuti
perlombaan Tilawatil Qur;an ini. Namun, secara mendadak air mataku jatuh dan
tak mampu aku bendung ketika aku tak mendapati Pak Yono untuk memeberikan
motivasi sebagai wali kelasku ketika itu.
@@@
Juara
satu. Aku sendiri gemetar mendengar kalimat itu. Kalimat yang tak pernah aku
bayangkan sebelumnya. Bapak memelukku dengan erat, dan mengusap kepalaku dengan
hangatnya. Bukan hanya Bapak saja, namun Bu Latifahpun ikut serta memelukku dan
memberikan ucapan selamat padaku. Sebuah kebanggan tersendiri untukku. Entah bagaimana
penampilanku ketika itu, mungkin sangat buruk atau bahkan sangat memalukan.
Namun aku sadar, betapa sebuah karunia menghampiriku ketika segalanya menjauh.
Ketika dunia menganggapku tak ada. Ketika dunia meremehkan kemampuanku.
Sebagai seorang yang masih dalam
proses pencarian, aku hanya terdiam dan mengamati beberapa orang di dekatku.
Mereka tersenyum manis. Ada sebuah kebanggaan tersendiri dalam guratan senyuman
manis itu.
“ Juara satu. Selamat yah.. Ibu
banggga sama kamu, Nisa. Dan bukan hanya Ibu saja yang bangga sama kamu. Tapi
semua orang di sini juga pasti bangga dengan prestasi yang kamu capai hari ini.
Semoga semua ini bisa menjadi pelajaran buat kamu yah.. “ Bu Latifah tersenyum
Lamunanku terguncang denga kehadiran
Bapak di sampingku. Beliau duduk dan memandangku dengan penuh harap. Harapan
akan sebuah mimpi yang indah. Harapan akan sebuah imajinasi yang selama ini aku
dambakan. Dan harapan besar yang sering sekali aku ukir di altar kesejukan.
Bapak membelai kerudungku yang sesekali tersambit angin sore. Setelah pukul
17.00, Bapak memang sudah tidak ada kerjaan lagi.
Aku sesegera mungkin menghapus air
mataku. Aku tak ingin kalau sampai air mataku ini terlampau cepat dengan
pandangan Bapak dis enja sore ini. Aku tak ingin air mataku terlampau jauh
dengan hatinya. Lalu hujanpun mengakhiri perbincangan kami yang hangat sehangat
kopi yang sengaja aku buatkan untuk Beliau disisiku. Wangi kopi ini sama
seperti wangi semangat Bapak untuk mewujudkan mimpiku menjadi seorang pendidik.
Sebuah peristiwa dimasalalu membuat
aku mempunyai sebuah keinginan kuat untuk ini. Aku tak ingin ada sebuah
ketidakadilan yang ku rasakan terjadi lagi diluar sana. Semua peserta didik
berhak mendapatkan perlakuan yang sama. Bukan karena ia pintar, kaya, atau yang
lainnya. Semua membutuhkan hak yang sama. Dan itu tugas seorang pendidik
memberikan semua itu. Memberikan sebuah perlakuan yang sama kepada semua
siswanya.
“ Terkadang apa yang kita pikirkan
dan kita anggap benar itu belum tentu baik dan benar bagi orang lain. Begitu
pula apa yang dianggap baik dan benar menurut orang lain, belum tentu baik dan
benar untuk kita. Oleh karena itu, pikirkan secara matang terlebih dahulu
sebelum melakukan sesuatu. Semua itu ada aturannya. “
Aku masih ingat betul bagaimana
kata-kata itu sering sekali keluar dari bibir laki-laki berusia 50 tahun itu.
Aku segera memposisikan diri sebagai sebuah imajinasi yang setiap malam menari
diingatanku. Aku tak ingin kecemburuan malam mematikanku karena aku terlampau
sering berselingkuh dengan bayanganku sendiri.
“ Semua akan terjadi diluar kendali
kita sebagai manusia biasa. Allah yang tahu segalanya, alangkah lebih baiknya
jika semua yang terjadi dulu menjadi pelajaran untuk kita menjalankan semua
proses kehidupan ini. Jadikan semua itu motivasi bagi kita bahwa apapun yang
terjadi, Allah senantiasa bersama kita. “
Kalimat Bapak menghangatkanku
kembali dengan bijaknya. Semua itu butuh proses, katanya. Semua hanya akan
kembali kepada yang Hak. Dan aku telah menggoreskan sebuah kalimat bijak yang menggodaku
untuk terus melangkah.