Selasa, 23 September 2014

PELANGI. Karya Siswi SMA N 2 Ungaran ( Pngesty Tysna)

Tiupan angin memporak porandakan rambut kemerahan yang semenit lalu disisir rapi. Tatapannya kosong dan bibirnya begitu rapat terkunci. Danisa, seorang anak pembantu tengah menyendiri di bawah atap halte bus. Di tengah-tengah udara yang dingin menggigit kulit hitamnya. Sore yang penuh pikiran kelabuku di benak Danisa.
            “ Kakak sedang apa? Kenapa kakak begitu sedih?” tiba-tiba seorang anak aneh mendekati Danisa.
            Dengan rambut pirangnya dikepang dua, gaun cokelat panjang dan dia membawa seekor kucing kecil
            “ Kau siapa? Kau tak seperti orang dari daerah sini?”
            “ Kakak kenapa? Ceritakan padaku, kita tak saling mengenal, jadi aku tidak akan berbuat yang tidak-tidak, seperti membocorkan cerita kakak, misalnya”

            Danisa tersenyum. Anak itu menatap Danisa dengan mata berbinar-binar. Sementara kucing kecil di kakinya berputar-putar. Mengelilingi pereglangan kakinya.
            “ Aku ini orang tak punya. Dan aku tak pernah berteman. Aku ingin berbaur dengan teman-teman, tapi mereka orang-orang berada yanag memiliki segalanya. Aku tidak percaya diri mendekati mereka” jelas Danisa
            “ Jadi hanya itu kak?”
            “ Ya, kau tau? Ini Jakarta. Dan tak banyak orang yang sepertiku. Dan beberapa minggu ini hanya kau yang mau berbicara padaku. Mungkin teman-teman memang benar, tak mau melihatku lagi”
            “ Itu tidak benar. Merka tidak menjauhi kakak. Justru kakak yang menjauhi meraka.
            “ Kau jangan sok tahu. Jika memang seperti ini keadaannya, pasti aku lebih baik dari ini.

            Tiba-tiba, anak kecil itu mengeluarkan lukisan yang dilipat kecil di dalam saku gaunnya.  Lukisan pelangi kecil dengan langit yang sangat terang.
            “ Kakak lihat ini?”
            “ Itu pelangi. Pasti ibumu yang menggambarkan ini untukumu. Kau tak mungkin menggambar seindah itu.”
            “ Kakak lihat warna-warni yang ada di pelangi ini? Merah? Jingga? Kuning? Dan seterusnya”
            “ Lalu harus diapakan lukisan ini?” jawab Danisa ketus
            “ Warna merah itu berbeda. Tetapi ketika mereka menjadi satu, indah sekali kan? Bayangkan pelangi hanya memiliki satu warna?”

            Danisa pun tersenyum. Terus menangkap pancaran mata anak aneh itu.
            “ Mungkin kakak memang berbeda dengan yang lain. Tapi ketika kalian menjadi satu, bukankah lebih indah dari satu?”
            Danisa hanya tenang dan kagum melihat anak kecil itu.
            “ Mungkin kakak memang berada di bawah mereka. Seperti warna ungu dari pelangi, dan teman-teman kakak merah, jingga, kuning, dan hijau? Tapi tanpa satu warna, ini bukan pelangi. Semua warna harus berbeda, dan harus ada. Itu pelangi”
            Danisa merasa ada yang menyentuh perasaannya. Anak itu menyadarkan, bahwa berbeda itu sangat penting.
            “ Kau hebat. Aku paham maksudmu!” danisa tersenyum
            “ Berdirilah kak, temui teman-teman kakak. Mereka ada di taman dekat halte ini” anak itu berjalan meninggalkan Danisa
            “ Terima kasih”

            Anak itu menoleh dan mengerlingkan sebelah matanya. Danisa membuka mata.
            “ Tadi hanya mimpi? Mengapa begitu nyata”
            Danisa menemukan dirinya di bawah halte, dengan langit yang gelap, udara yang mulai menghangat. Jam dinding halte menunjukan pukul 7 malam. Ia tertidur. Danisa berdiri dan berjalan perlahan menuju taman kota.
            “ Danisa, kami merindukanmu. Kemarilah. Tak biasanya kau mau menghampiri kami. Kita bisa bermain mala mini” seru Fitri, anak saudagar tinggi yang manis.
            Danisa hanya tersenyum dan mengikuti Fitri. Rasa percaya dirinya tumbuh begitu cepat. Ia memikirkan gadis kecil aneh di dalam mimpinya. Ia bingung, kenapa mimpi itu seolah menjadi kenyataan?

            Kini, ia seperti pelangi yang indah, pelangi yang dikatakan oleh si gadis kecil aneh. Di tengah pemaianan, Danisa menangkap sesosok gadis kecil aneh itu bersama dengan seorang laki-laki seumuran dengannya. Ia melihat mereka jauh di ujung jalan. Di sebuah bangku pinggir jalan. Danisapun tersenyum
            “ Mungkin, gadis itu memang nyata. Dan kini, ia mungkin sedang menumbuhkan semangat pemuda lain” kata Danisa dalam hati.