Tiupan angin memporak porandakan rambut
kemerahan yang semenit lalu disisir rapi. Tatapannya kosong dan bibirnya begitu
rapat terkunci. Danisa, seorang anak pembantu tengah menyendiri di bawah atap
halte bus. Di tengah-tengah udara yang dingin menggigit kulit hitamnya. Sore
yang penuh pikiran kelabuku di benak Danisa.
“
Kakak sedang apa? Kenapa kakak begitu sedih?” tiba-tiba seorang anak aneh
mendekati Danisa.
Dengan
rambut pirangnya dikepang dua, gaun cokelat panjang dan dia membawa seekor
kucing kecil
“
Kau siapa? Kau tak seperti orang dari daerah sini?”
“
Kakak kenapa? Ceritakan padaku, kita tak saling mengenal, jadi aku tidak akan
berbuat yang tidak-tidak, seperti membocorkan cerita kakak, misalnya”
Danisa
tersenyum. Anak itu menatap Danisa dengan mata berbinar-binar. Sementara kucing
kecil di kakinya berputar-putar. Mengelilingi pereglangan kakinya.
“
Aku ini orang tak punya. Dan aku tak pernah berteman. Aku ingin berbaur dengan
teman-teman, tapi mereka orang-orang berada yanag memiliki segalanya. Aku tidak
percaya diri mendekati mereka” jelas Danisa
“
Jadi hanya itu kak?”
“
Ya, kau tau? Ini Jakarta. Dan tak banyak orang yang sepertiku. Dan beberapa
minggu ini hanya kau yang mau berbicara padaku. Mungkin teman-teman memang
benar, tak mau melihatku lagi”
“
Itu tidak benar. Merka tidak menjauhi kakak. Justru kakak yang menjauhi meraka.
“
Kau jangan sok tahu. Jika memang seperti ini keadaannya, pasti aku lebih baik
dari ini.
Tiba-tiba,
anak kecil itu mengeluarkan lukisan yang dilipat kecil di dalam saku
gaunnya. Lukisan pelangi kecil dengan
langit yang sangat terang.
“
Kakak lihat ini?”
“
Itu pelangi. Pasti ibumu yang menggambarkan ini untukumu. Kau tak mungkin
menggambar seindah itu.”
“
Kakak lihat warna-warni yang ada di pelangi ini? Merah? Jingga? Kuning? Dan
seterusnya”
“
Lalu harus diapakan lukisan ini?” jawab Danisa ketus
“
Warna merah itu berbeda. Tetapi ketika mereka menjadi satu, indah sekali kan?
Bayangkan pelangi hanya memiliki satu warna?”
Danisa
pun tersenyum. Terus menangkap pancaran mata anak aneh itu.
“
Mungkin kakak memang berbeda dengan yang lain. Tapi ketika kalian menjadi satu,
bukankah lebih indah dari satu?”
Danisa
hanya tenang dan kagum melihat anak kecil itu.
“
Mungkin kakak memang berada di bawah mereka. Seperti warna ungu dari pelangi,
dan teman-teman kakak merah, jingga, kuning, dan hijau? Tapi tanpa satu warna,
ini bukan pelangi. Semua warna harus berbeda, dan harus ada. Itu pelangi”
Danisa
merasa ada yang menyentuh perasaannya. Anak itu menyadarkan, bahwa berbeda itu
sangat penting.
“
Kau hebat. Aku paham maksudmu!” danisa tersenyum
“
Berdirilah kak, temui teman-teman kakak. Mereka ada di taman dekat halte ini”
anak itu berjalan meninggalkan Danisa
“
Terima kasih”
Anak
itu menoleh dan mengerlingkan sebelah matanya. Danisa membuka mata.
“
Tadi hanya mimpi? Mengapa begitu nyata”
Danisa
menemukan dirinya di bawah halte, dengan langit yang gelap, udara yang mulai
menghangat. Jam dinding halte menunjukan pukul 7 malam. Ia tertidur. Danisa
berdiri dan berjalan perlahan menuju taman kota.
“
Danisa, kami merindukanmu. Kemarilah. Tak biasanya kau mau menghampiri kami.
Kita bisa bermain mala mini” seru Fitri, anak saudagar tinggi yang manis.
Danisa
hanya tersenyum dan mengikuti Fitri. Rasa percaya dirinya tumbuh begitu cepat.
Ia memikirkan gadis kecil aneh di dalam mimpinya. Ia bingung, kenapa mimpi itu
seolah menjadi kenyataan?
Kini,
ia seperti pelangi yang indah, pelangi yang dikatakan oleh si gadis kecil aneh.
Di tengah pemaianan, Danisa menangkap sesosok gadis kecil aneh itu bersama
dengan seorang laki-laki seumuran dengannya. Ia melihat mereka jauh di ujung
jalan. Di sebuah bangku pinggir jalan. Danisapun tersenyum
“
Mungkin, gadis itu memang nyata. Dan kini, ia mungkin sedang menumbuhkan
semangat pemuda lain” kata Danisa dalam hati.