Rasanya, baru dua tahun yang lalu
aku mengenalnya di lorong jalan itu. Sendiri, sendiri, dan sendiri. Rasanya,
baru dua tahun yang lalu aku menemaninya mencari keabadian di batas senjanya
bersama sang kekasih. Rasanya, baru dua tahun yang lalu juga aku menghapus
bayangnya dari pandanganku. Dan sekarang, dia harus pergi bersama
mimpi-mimpinya yang konyol. Mengelilingi
dunia dibatas kesenjangan.
Sangat konyol memang. Aku tak tahu
batasnya sampai dimana. Entah sampai darahnya menjadi biru, entah rambutnya
yang hitam lebat itu berubah menjadi putih, atau juga tubuhnya yang kekar itu
berubah menjadi rentan. Batas itu tak ada. Itu hal yang paling aku tidak suka
dari setiap kalimat yang keluar dari dua bibirnya. Dia sangat keras. Keras
kepala dan keras hatinya. Tapi bukan berarti aku tak menyukainya.
Bukan aku tak mampu memahami
hatinya. Bukan pula memahami kebisuannya. Namun, kesenjangan diantara kami
dialah yang menjadikan semuanya berubah. Akan berapa lama lagikah semuanya
berubah menjadi indah, tak ada yang tahu. Kami hanya memiliki keunikan satu
sama lainnya.
Tuhanku telah memberi satu keuinikan
yang tak bisa dibaca secara logika. Pernah suatu ketika, aku menjadi semakin
bingung dibuatnya. Kenapa manusia memiliki kesenjangan? Kenapa manusia memiliki
batas yang tak mungkin bisa dilihat olehnya? Kenapa pula manusia memiliki
sebuah insting yang terkadang itu tak rasional? Aku bisu, dan aku terdiam.
Biarlah, biar saja kesunyian ini menyelimuti batinku dan setelah itu menerobos
aliran darahku yang mulai membeku olehnya.
Berbalik lagi tentang kesenjangan.
Aku sendrii tak tahu apa itu
kesenjangan. Yang aku tahu hanyalah ketidakadilan. Mungkin saja itu satu
makna, atau ada makna lain dibalik semua itu. Yang jelas, aku merasakan batas
diantara aku dan manusia-manusia yang semalam menegurku dengan kata-kata kasar.
Yah, biar sajalah makna kesenjangan itu membaur dengan kerasnya malam. Biar
sajalah makna kesenjangan itu membiru dan bercampur aduk dengan makna kata ketidakadilan.
Aku putuskan, ini akan berakhir jika
saja manusia-manusia itu menemukanku dalam keadaan telanjang. Telanjang hati
dan telanjang mata. Bukan yang dengan si A.. atau si B. Bukan juga dengan C..
atau D. Cukup keadaan yang menemukannya.