Senin, 15 September 2014

Dibatas Kesenjangan

            Rasanya, baru dua tahun yang lalu aku mengenalnya di lorong jalan itu. Sendiri, sendiri, dan sendiri. Rasanya, baru dua tahun yang lalu aku menemaninya mencari keabadian di batas senjanya bersama sang kekasih. Rasanya, baru dua tahun yang lalu juga aku menghapus bayangnya dari pandanganku. Dan sekarang, dia harus pergi bersama mimpi-mimpinya yang konyol. Mengelilingi dunia dibatas kesenjangan.
            Sangat konyol memang. Aku tak tahu batasnya sampai dimana. Entah sampai darahnya menjadi biru, entah rambutnya yang hitam lebat itu berubah menjadi putih, atau juga tubuhnya yang kekar itu berubah menjadi rentan. Batas itu tak ada. Itu hal yang paling aku tidak suka dari setiap kalimat yang keluar dari dua bibirnya. Dia sangat keras. Keras kepala dan keras hatinya. Tapi bukan berarti aku tak menyukainya.
            Bukan aku tak mampu memahami hatinya. Bukan pula memahami kebisuannya. Namun, kesenjangan diantara kami dialah yang menjadikan semuanya berubah. Akan berapa lama lagikah semuanya berubah menjadi indah, tak ada yang tahu. Kami hanya memiliki keunikan satu sama lainnya.
            Tuhanku telah memberi satu keuinikan yang tak bisa dibaca secara logika. Pernah suatu ketika, aku menjadi semakin bingung dibuatnya. Kenapa manusia memiliki kesenjangan? Kenapa manusia memiliki batas yang tak mungkin bisa dilihat olehnya? Kenapa pula manusia memiliki sebuah insting yang terkadang itu tak rasional? Aku bisu, dan aku terdiam. Biarlah, biar saja kesunyian ini menyelimuti batinku dan setelah itu menerobos aliran darahku yang mulai membeku olehnya.
            Berbalik lagi tentang kesenjangan. Aku sendrii tak tahu apa itu kesenjangan. Yang aku tahu hanyalah ketidakadilan. Mungkin saja itu satu makna, atau ada makna lain dibalik semua itu. Yang jelas, aku merasakan batas diantara aku dan manusia-manusia yang semalam menegurku dengan kata-kata kasar. Yah, biar sajalah makna kesenjangan itu membaur dengan kerasnya malam. Biar sajalah makna kesenjangan itu membiru dan bercampur aduk dengan makna kata ketidakadilan.
            Aku putuskan, ini akan berakhir jika saja manusia-manusia itu menemukanku dalam keadaan telanjang. Telanjang hati dan telanjang mata. Bukan yang dengan si A.. atau si B. Bukan juga dengan C.. atau D. Cukup keadaan yang menemukannya.