Senin, 02 Desember 2013

SINAR ITU MENGHILANG

@@@
Semarang adalah kota yang sedari dulu menjadi mimpiku. Mimpi tentang keceriaan, mimpi tentang sebuah karya, mimpi tentang keindahan, mimpi tentang kerinduan, dan mimpi tentang cinta yang bertahun-tahun aku jalani dengannya. Kemilau di tahun yang banyak meminta aku untuk terus menulis itu, dia datang dengan segudang senyuman manisnya dihadapanku. Wajahnya terlihat amat sangat segar. Tidak biasanya ia memberikan aku kecupan indah di keningku seperti ini. “ Selamat ulang tahun, peri kecilku Syania….” Bisiknya di telingaku, dengan sebuah kotak kecil berwarna ungu muda. “ Dhani…??? Kamu ingat hari ini…? Terima kasih banyak yah sudah memberikan aku kado special ini. Boleh aku buka isinya…??” Aku meraih sebuah kotak kecil yang masih berada di tangannya tersebut. 11 Juni,, Hari ini sebuah majalah memintaku untuk menajdi pembicara dalam acara lounching buku ke limaku dengan judul “ Malaikat Khayangan”. Buku ini berisi tentang kisah inspiratif seorang Ibu dengan anak semata wayangnya yang menderita kelumpuhan semenjak lahir. Hanya dalam waktu lima minggu aku berhasil menyelesaikan tulisanku ini. Banyak nilai yang bisa kita ambil dari buku ini. Karena aku mengambilnya berdasarkan pengalamanku bertemu dengan seorang Ibu di sebuah tempat ketika aku masih menjalankan penelitian tentang kesehatan untuk studyku. Banyak hal juga yang aku jadikan pelajaran dari beberapa cerita Ibu tersebut. Kembali ke cerita awal. Hobi menulisku berawal ketika aku ikut Ayah yang bekerja sebagai seorang sekretaris di sebuah Perusahaan kecil di Jakarta. Ketika itu, usiaku masih bekisar 7 tahun. Aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 2. Dan dari sinilah aku mulai mengembangkan menulisku dengan prestasi pertamaku menjadi Juara 1 Lomba Menulis Puisi Religi Kategori Junior. Aku anak pertama dari dua bersaudara. Adikku laki-laki dengan jarak usia 6 tahun lebih muda dariku. Saat ini, aku masih terdaftar sebagai Mahasiswi di sebuah Universitas di Semarang. Dengan memilih jurusan Sastra dan Seni, aku bisa mengembangkan bakat menulisku dengan sempurna. @@@ Dhani… Hampir tiga tahun ini, aku menjalankan sebuah kisah klasik dengannya. Dia sosok yang sampai saat ini masih membuat hidupku jauh lebih berarti setelah kecelakaan itu merenggut keindahan kedua mataku. Saat itu aku hanya berfikir, semuanaya akan lenyap dalam sekejap saja. Semua mimpiku tentang keindahan akan hilang. Harapanku untuk menerbitkan buku ketujuhku hancur. Pendidikanku untuk menempuh Sarjana Sastra akan punah seiring dengan keadaanku yang cacat. Dan mimpiki untuk menjadi penulis terkenal akan cacat seirama dengan kondisi fisikku. Tapi dhani memberikanku banyak suntikan semangat hidup. Masih banyak di luar sana yang jauh kurang beruntung dibandingkan aku. Lalu mengapa aku harus pesimis dengan keadaanku. “ Hidup kamu itu indah. Masih banyak orang di luar sana yang membutuhkan segalanya dibandingkan dengan kamu,jadi buat apa kamu menyesali semua yang sudah terjadi. Karena apapun yang terjadi, aku akan tetap bersama kamu syania..” “ Makasih sayang…” aku tersenyum Akibat kecelakaan di bulan Januari kemarin, aku harus kehilangan penglihatanku. Dan itu sebuah bencana besar buatku. Aku harus mencari cara untuk dapat menulis meskipun tanpa penglihatan yang sempurna. Aku masih beruntung, karena Ayah dan Ibuku memberiku sebuah alat semacam computer yang dengan cara mengoperasionalkan apa yang kita ucapkan. Dengan sendirinya alat tersebut akan menulis apa saja yang kita ucapkan. ALLAH maha Tahu bagaiman hambanya melebihi apapun. Dan ini sudah banyak membantuku menyelesaikan semua tulisan-tulisanku. “ Kamu tak pantas mendapatkan semua penderitaan dan kegelapan ini, anakku sayang. Kamu wajib senang dan bahagia seperti adikmu atau bahkan orang lain. Seandainya saja bisa, Ayah mau menggantikan semua kessakitan kamu ini. Ayah rela Nak. Dengan inilah Ayah berharap, kamu tidak pesimis dan menyerah pada keadaan. Ayah dan Ibu tetap mendukung kamu” Tak jarang banyak orang yang memandangku sebelah mata. Mereka beranggapan bahwa orang buta tidak akan pernah bisa menghasilkan sebuah karya. Mereka beranggapan, bahwa orang buta sepertiku tidak mungkin bisa melanjutkan sekolah dengan sempurna. Tapi aku berkeyakinan akan merubah presektif mereka. Aku membuktikannya. Walau keadaan yang memaksaku seperti ini, aku masih bisa meluncurkan buku ceritaku dengan judul “ Kertas Kosong “. Aku menginspirasi kehidupanku dalam sebuah tulisan kecil yang aku tulis dua bulan setelah kejadian tragis itu. Aku tahu betul, ALLAH tidak mungkin memberikan cobaan kepada hambanya melebihi kemampuan hambanya sendiri. 16 Januari, pukul 16.45 WIB… Dhani menjengukku di Rumah Sakit tak jauh dari kediamanku. Ditangannya ia selipkan karangan bungan mawar merah dengan wanginya yang khas. Aku masih terbaring lemas kala itu. Kedua bola mataku masih tertutup kain putih dengan sedikit perban yang mengganjal. Aku bisa merasakan dhani datang dengan mawar merah kerana baunya yang semerbak. Ingin sekali aku memeluknya erat dan mengatakan… “ Aku tak ingin kamu pergi jauh dari sisiku, sayang… Temani aku sekejap saja dikegelapan ini…!!!” Bisikku dalam hati Perlahan dhani mendekatiku. Ia menarik tangan kananku dan kemudian menciumnya dengan sangat lembut. Aku tahu bagaimana perasaannya ketika itu. Aku takut dengan kejadian ini, lalu pergi meninggalkan aku sendiri. “ Dhani… aku masih gelap. Semuanya gelap. Aku mohon jangan tinggalkan aku sendiri.. aku takut.. aku takut…” Aku merengek dihadapannya. “ Syania..(memelukku). Aku masih ingat janjiku dua tahun yang lalu. Waktu ulang tahun kamu, di sekolah. Kamu masih ingat kan…? Apapun yang terjadi, aku akan tetap bersamamu. Kecuali maut menjemputku.” Bisiknya perlahan Aku ingin menangis sekeras mungkin dan teriak dihadapannya kala itu. Aku ingin berlari dan mengatakan pada dunia, bahwa aku bahagia memilikinya. Aku ingin mengejar hujan lalu berkata pada mereka, bahwa aku wanita paling beruntung di dunia ini. Dan aku ingin terbang dengan kedua sayap merpati putih itu, lalu membisikan kata-kata padanya bahwa aku mencintainya. Hujan deras membasahi keheningan dan kegelapanku kala itu. Aku mendapati suara mamah yang setia menemaniku di atas kasur ini. Dan papah yang duduk santai dengan al-qur’an merah yang setiap kali ia lantunkan di dekatku. Rasanya damai dan sejuknya hati ini, setiap kali papah melantunkan beberapa kalam al-qur’an itu. Aku seakan hidup dalam kedamaian bersama orang-orang yang sangat aku cintai. Air mataku tak bisa menetes.. Namun aku ingin mengmpulkan air mata ini untuk kemudian aku buang jauh-jauh dari hidupku. Aku tak ingin ada penyesalan yang terlalu jauh menimpaku. @@@ 30 Januari, 08.46 Jika saja hari ini bukan hari untuk menguji kemampuanku selama satu semester (UAS), aku juga lebih memilih istirahat di kos dan menenangkan fikiranku. Karena aku merasakan mataku sangat perih dan sangat-sangat sakit. Terlagi kepalaku yang sedari tadi tidak bisa bersahabat denganku. Aku harus mengerjakan semua soal-soal yang ada dihadapanku,namun kepalaku serasa mau pecah saja. Aku ingin meneriakan semua keluh kesahku pada waktu. Aku ingin tidur pulas, agar fikiranku menjadi tenang. Fikiranku kacau. Aku tidak bisa mencerna beberapa soal yang ada dihadapanku. Rasanya aku ingin mati. Kepalaku benar-benar tidak bisa dikompromi. Perutku menjadi mulas dan mual. Aku lihat sekelilingku berubah menjadi buram. Kegelapan ini menjadi semakin gelap dan gelap saja. “ Kamu sakit syan…???” Widya membangunkan lamunanku “ Nggak, Cuma saja kepalaku sedikit pusing. Mungkin efek dari obat yang tadi pagi aku minum. Insyaallah aku masih bisa melanjutkan mengisi soal-soal ini” Suara berisik di sekelilingku sedikit mengobati rasa nyeri pada bagian pelipis mataku. Dan obrolan Gina dengan Widya masih bisa menenangkan kegundahanku tentang rasa sakit ini. Semoga saja aku masih bisa meneruskan semua soal-soal ini dengan sebaik mungkin. “ Kalo kamu masih sakit, minta ijin aja sama Dosen, biar kamu bisa pulang terus istirahat Syan.. “ Lanjut Gina “ Nggak ko. Makasih yah udah perhatian” Aku menjawab dengan suara lirih Tepat pukul 14.22 Dhani menungguku di depan kelas dengan sebuah sapaan lembut yang biasa ia santunkan padaku. Meskipun aku belum dan tidak bisa melihat langsung bagaimana senyumannya, namun aku masih bisa merasakan bagaimana senyumannya mengembang di hadapanku. Sepertinya ia memakai baju berwarna biru muda dengan minyak wangi yang aku beli dua minggu lalu. Wanginya sangat membuat aku rindu akan masa-masa itu. Masa-masa dimana aku dan dhani pergi merantau di keheningan malam yang tanpa seorangpun menemukannya. Aku menyapanya dengan sangat haru. “ Dhani…” “ Hari ini aku ada rapat dengan anggota. Jadi, aku nggak bisa nganterin kamu pulang,sayang. Nggak apa-apa kan…? Nanti biar aku minta Geri buat jemput kamu. Gimana….??” “ Yah, nanti mamah aja yang jemput aku. Kamu pergi rapat saja yah..” Aku merasakan dhani pergi menjauh dan semakin menjauh dari dekatku. Ia harus menghadiri rapat anggota di UKM. Dia dipercaya untuk menjadi ketua dalam sebuah organisasi. @@@ Ini sebuah beban berat untuk mereka yang kadang masih merasakan kurang atau bahkan tidak bersyukur atas apa yang sudah Tuhan berikan. Meskipun Tuhan telah mengambil penglihatanku, namun Tuhan masih menyayangiku dengan memberikanku kedua pasang kaki yang sehat dan kuat. Sehingga aku masih bisa menjalankan hidupku secara sempurna, meskipun tidak sesempurna mereka. Setiap hari, aku harus mengarahkan tongkat panjang ini untuk mengantarkanku kemanapun aku minta. Bahkan, untuk pulang ke rumah saja kadang aku melakukannya sendiri. Aku tidak ingin menjadii beban berat orang-orang disekelilingu. Aku ingin hidup normal layaknya orang-orang normal seperti sebelum aku kehilangan semuanya. Pernah pada suatu ketika, ada seseorang dengan sengaja menunjukan jalan dan tempat salah padaku. Sehingga aku terlantar ke sebuah tempat yang tidak pernah aku datangi sebelumnya. Namun masih saja ada orang baik yang mau mengantarkanku kembali ke tempat kos. Bukan satu atau dua kalinya aku bertemu dengan orang-oarang yang tidak punya perasaan. Posisiku sebagai sekertaris di Organisasi, memaksaku untuk senantiasa aktif dalam segala kegiatan kampus. Walaupun pada awalnya, banyak yang tidak menyetujui atas tugas yang aku pegang ini karena kecacatan fisikku. Mereka banyak yang beranggapan orang buta sepertiku tidak mungkin bisa bekerja sebaik dan sesempurna mungkin. Namun keahlianku dalam menulis, menjadikan aku semakin dipercaya oleh mereka. Dan ini adalah anugerah indah yang aku banggakan dari apa yang aku punya. “ Kenapa tidak sebaiknya kita mencari orang yang lebih bisa kita andalkan sebagai sekertaris..? kan masih banyak yang lebih sempurna.” Ucapan itu aku dengar ketika MUBES, atau Musyawarah besar. “ Yang jauh lebih sempurna memang banyak, tapi yang benar-benar ahli dalam dunia tulis menulis kan belum tentu ada. Mereka hanya menulis yang mereka tahu tanpa memperhatikan apa yang ada. Dan syania orang yang tepat untuk mengemban tugas ini sebagai sekertaris.” Salah seorang temanku menanggapinya dengan santai Memang sulit berada dalam kondisi dan siuasi seperti ini. Aku seakan berada diantara dua pihak yang menyertakan aku sebagai permasalahannya. Entahlah, apa sebenarnya yang aku lakukan ini hanyalah sebuah pengabdian kecilku sebagai manusia. Untuk selebihnya, aku hanya berserah diri kepada yang Haq. @@@ Aku tersadar dari tidur panjangku selama dua minggu. Entah apa yang terjadi padaku ketika itu. Yang aku rasakan hanya kepala dan kedua matakau terasa sakit dan pusing. Aku mendapati selimut hijau menutupi setengah badanku. Aku masih merasakan kepalaku sakit dan seakan mau pecah saja. Tubuhku masih melemas dan keringat dingin membasahi hari minggu kedua dibulan Juli. Ada yang mereka sembunyikan dariku. Meski mata ini tidak bisa menatap jelas raut wajah mereka, namun sedikit aku bisa merasakan ada sesoatu yang saat ini mengganjal difikiran mamah dan papah. “ Mah.. Pah.. ada sesuatu yang disembunykan dari aku..? apa ini tentang mataku..? “ Ku mencoba membalas keresahan mereka. “ Nggak ada apa-apa ko sayang, tadi Dimas minta beli ice krim, terus Papah nggak mau nemenin dia. Ya udah Dimas marah deh.. “ Jawab mamah dengan sedikit senyum berlumur tangis “Oh gitu, tapi ko mamah malah nagis ?” “Siapa yang nangis? Mamah tadi ketawa nyampe nangis. Kan kamu tau sendiri kalo lagi ketawa, mamah pasti nangis.” Jawab mamah lagi dengan semburat kebohongannya. Aku diam dan pura-pura diam. Anggap saja aku mengiyakan jawaban panjang mamah dihadapanku. Dan aku harus emncari tahu apa yang sebenarnya terjadi denganku. Rasanya aneh dan rancu. Aku masih penasaran obrolan antara Papah, Mamah, dan Dokter yang menanganiku kemarin malam. Aku harus mencari tahu semuanya. Walau aku sendiri tak tahu harus dengan cara apa. “ Ya udah Mah, kepala ku sakit banget, aku istirahat aja deh. Nanti kalo Dhani dating, bangunin aku yah.. “ pesanku dengan sedikit senyuman Mamah dan papah mengiyakan keinginanku. Ini bukan hal baru, aku harus pura-pura tertidur dengan rasa penasaranku. Aku harus mengetahui semuanya. Aku rasakan kehadiran seseorang diantara kami. Mungkin itu dokter yang merawat dan menanganiku. Yah, sebisa mungkin aku harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi denganku. “ Dokter, sebenarnya apa yang terjadi dengan Syania? “ Suara mamah memulai pembicaraan di tengah-tengah hujan “ Ia Dokter, katakana yang sebenarnya pada kami. .” Suara Papah melanjutkan “ Dengan berat hati, harus saya katakana bahwa Syania menderita penyakit retinoblastoma, atau penyakit kanker mata. Kanker mata (retinoblastoma) adalah kanker yang terjadi pada daerah di belakang mata yang peka terhadap cahaya (pada retina). Kanker yang menyerang bola mata, atau yang disebut Retinoblastoma(RB). Jenis ini adalah tumor ganas retina dan merupakan tumor primer bola mata terbanyak pada anak. Hampir 40 persen kasus RB didiagnosis pada anak berumur kurang dari 5 tahun. Prevalensi penyakit ini diperkirakan satu per 15 ribu hingga satu per 34 ribu kelahiran hidup.” Dokter menjelaskan secara terperinci. Entah penyakit apa itu, yang pasti penyakit yang aku derita ini termasuk penyakit yang mematikan. “ Ya Allah… cobaan apa lagi ini..??? aku tak mungkin sanggup menanggung beban ini sendirian. ..” Aku lanjutkan tangisku secara terisak-isak dengan perban yang masih menutupi kedua bola mataku. Biarkan hanya hujan sajalah yang mendengarkan tangis dan kebencianku pada keadaan. @@@ 17 September, 16.22 Aku masih menutupi tubuhku dengan selimut panjang milik Papah. Rasanya aku ingin terus bersama Papah dalam keadaan seperti ini. Rasanya aku ingin sekali memeluk Papah dalam keadaan seperti ini. Tapi tak mungkin. Ia harus memenuhi panggilan atasannya di Jakarta. Dan harus menyelesaikan tugas-tugasnya yang sudah terbengkalai selama aku sakit dan berada di tempat ini. Hanya ada Mamah, Tante Dian, Dimas, Mas Fachri, dan Nina sahabat kecilku anak Tante Dian. Dimas yang sedang asyik bermain PS dengan Mas Fachri, Mamah dan Tante Dian yang sedang berbincang-bincang di kursi ruang perawatan, dan Nina yang sedang bercerita padaku tentang Kenzo, kekasihnya. Aku setia mendengarkan cerita sahabat terbaikku itu, dan siap memberikan masukan ataupun pendapat kepadanya. Namun aku merasa sepi. Ada yang kurang di hari ini. Dhani, sampai detik ini juga, aku tak pernah mendengar kabar dari Dhani. Setiap hari ada saja sahabatku di kampus yang datang menengok. Gina, Widya, Handis, Kiki, dan sahabatku lainnya. Namun tidak aku temukan sosok ataupun suara Dhani didepanku. Kemana dia? Apa dia sakit? Apa dia sibuk dengan organisasinya? Apa dia bermasalah dengan kuliahnya? Apa dia sedang membutuhkan aku, tapi aku tak ada disampingnya? Atau mungkin, dia meninggalkan aku karena keadaanku seperti ini terus? Oh tidak, aku tak bisa membayangkan bagaimana jadinya. Jika sampai dia benar-benar peri meninggalkan aku. “ Dhani kemana Syan? Kamu masih sama dia kan?” Tanya Nina tiba-tiba “Dhani mungkin lagi sibuk sama organisasinya. Dia kan jadi ketua di organisasi, jadi mungkin sibuk dan nggak ada waktu buat aku.” “ Oh gitu, yaudah mudah-mudahan langgeng yah..” “ Syania.. ada Dhani nih dating nengok kamu sayang..” Suara mamah membangunkan lamunanku tentang dhani “ Dhani, mah? “ aku terkejut “ Ini aku syania.. Dhani. Maaf yah aku baru bisa jenguk kamu. Bagaimana keadaanmu sekarang? Sudah mendingan? “ dhani memulai pembicaraan Aku merasakn sepi dan sunyi. Hanya ada aku dan Dhani di ruangan ini. Dan biarkan sore ini menjamahku dengan tawa yang tidak bisa aku rasakan sepenuhnya. Aku mencoba menyadarkan diriku sendiri pada kenyataan. Bahwa saat ini, dan detik ini Dhani berada di dekatku. “ Dhani..? aku nggak percaya kamu di sini. Ia, keadaanku sudah sedikit membaik ko. Kamu gimana? Sehat? “ “ Ia, aku sehat ko. “ kata-katany sedikit sekali Tak biasanya aku mendengar suara Dhani begitu tegang dan singkat seperti itu. Apa yang terjadi dengannya? Ada yang berubah pada dirinya. Tidak seperti Dhani yang aku kenal dulu. Tidak seperti Dhani yang seaktif dulu. Ada apa gerangan? “ Dhani, kamu sehat? Nggak biasanya kamu jadi diem gini.” “ Nggak ada apa-apa. Nggak terasa yah, hubungan kita sudah hampir 4 tahun. Ada banyak cerita yang sudah kita tulis bersama-sama. Dan sulit aku katakana semuanya. Tapi, keadaanku tak bisa memungkiri. Aku tak bisa membantah sebuah komitmen yang sudah aku buat sendiri kepada mereka.” “ Maksud kamu apa? Kenapa secara mendadak kamu biicara seperti itu?” Suara dhani mulai serak. Sepertinya dia menangis. Tapi aku tak dapat membacanya secara jelas. Apa yang sebenarnya ia maksudkan? “ Aku harus meninggalkan semua ini Syai, aku nggak bisa melanjutkan semua ini dengan beban berat menumpu di pundakku. Aku nggak bisa. Ada banyak hal yang tidak bisa aku katakana, tapi harus dimengerti. Aku harap kamu bisa ngerti” Tak bisa melanjutkan ini semua? Apa maksud kalimat dia seperti itu? Apa ia meminta putus? Apa ia menginginkan semuanya berakhir tanpa kejelasan yang pasti? Aku menunggu kalimat selanjutnya. “ Aku harus mengatakan dan melakukan semua ini. Walaupun dengan berat hati. Aku nggak bisa melanjutkan habungan kita.. “ Yah.. 17.00 di ruangan inilah dia mengatakan kata itu. Semuanya tak bisa dipungkiri lagi. Pada akhirnya ia menyerah pada keadaan. Pada akhirnya ia menyerah untuk tak bersamaku lagi. Dia pergi dan entah kapan kembali. Yang pasti, aku tak bisa memaksakan egoku untuk mempertahankan dia lagi. Itu keputusannya. Aku hanya bisa merangkul mamah dan meluapkan semua kebencianku pada awan. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Selain air mataku yang mengalir deras seperti hujan di luar sana. Aku tak bisa mengungkapkan kebodohanku mendengar pernyataan Dhani. 4 tahun aku mempertahankan hubungan ini, namun pada akhirnya hilang juga sinar mentari itu. Hilang jugalah semirat jingga di sore kelabu. Dan aku harus menjalankan semuanya tanpa cintanya lagi. Tanpa kasihnya lagi. Dan tanpa ceritanya lagi memenuhi hariku. Sekarang hanya aku dan penyakit ini sajalah yang mendengarkannya. Mendengar keluh kesahku dan tangisku. -selesai…. #KISAH INI DIAMBIL DARI KEHIDUPAN NYATA GADIS ALUMNI SMA TANJUNG DAN DIEDIT ULANG ULEH PENGARANG. :)