Senin, 02 Desember 2013

ARTIKEL KU " PERSAMAAN GENDER SEBAGAI KONSTRUKSI BUDAYA DAN SEBAGAI KARAKTERISTIK BIOLOGIS"

PERSAMAAN GENDER SEBAGAI KONSTRUKSI BUDAYA DAN SEBAGAI KARAKTERISTIK BIOLOGIS. Oleh: Nurul Umi Makhmudah Khaynuriel.ilahm@ymail.com Abstrak Permasalahan dalam penelitian ini adalah 1) bagaimanakah makna jenis kelamin biologis, tetapi sudah berganti menjadi makna yang baru sama sekali, yakni jenis kelamin social? 2) bagaimanakah seseorang bisa menjadi masculine atau feminine tergantung peran sosial yang dimainkannya? 3) dan bagaimanakah pandangan mereka kaum fenimis yang mengatakan bahwa seharusnya tidak ada alasan biologis untuk mengharuskan perempuan menjadi lembut dan laki-laki harus tegas? Simpulan yang diperoleh dari permasalahan tersebut adalah : 1) Istilah “Gender” yang diartikan sebagai klasifikasi jenis kelamin yang dikonstruk secara sosial, bukanlah makna original dari istilah ini. Gender pada awalnya digunakan untuk merujuk kepada pembagian jenis kelamin. 2) istilah ”gender” sebagai konstruk sosial sarat dengan nilai, ideologi, ambisi dan kepentingan kelompok tertentu. Konsep gender yang dibentuk secara sosial dimaksudkan untuk tidak melihat perempuan sebagai kebalikan dari laki-laki yang lebih cocok untuk melahirkan anak, mengasuh, dan merawat. Maka kategori biologis male dan female ditentukan secara sosial dari peran yang diambil dari setiap manusia. 3) Setiap feminis memiliki pandangan pribadi sendiri tentang gender. Kebanyakan kaum feminis memaknai gender sebagai hasil penjabaran sosial tentang jenis kelamin biologis. Mereka menolak pandangan bahwa gender dibangun berdasarkan jenis kelamin biologis, bahkan pandangan ini dianggap melebih-lebihkan perbedaan biologis dan membawa perbedaan tersebut ke dalam domain yang tidak relevan. Kata kunci : Persamaan Gender, Pandangan kaum feminis A. PENDAHULUAN Dari beragam uraian tentang definisi istilah ”gender” di atas, dapat disimpulkan bahwa pemaknaan ”gender” sebagai konstruk sosial sarat dengan nilai, ideologi, ambisi dan kepentingan kelompok tertentu. Konsep gender yang dibentuk secara sosial dimaksudkan untuk tidak melihat perempuan sebagai kebalikan dari laki-laki yang lebih cocok untuk melahirkan anak, mengasuh, dan merawat. Maka kategori biologis male dan female ditentukan secara sosial dari peran yang diambil dari setiap manusia. Namun dalam isu LGBT, gender dihubungkaitkan dengan orientasi seksual yang bersifat temporal dan kondisional. LGBT tidak lagi dikaitkan dengan masalah jenis kelamin (sex) yang bersifat alami dan permanen. Konsep gender disosialisasikan kepada masyarakat melalui program Pengarusutamaan Gender (PUG). Pengarusutamaan gender merupakan bentuk pemaksaan konsep gender dan ideologi jenis kelamin yang masih bersifat kontroversial kedalam semua lini kehidupan. Sementara budaya lokal dan penafsiran keagamaan (untuk tidak mengatakan agama) sebagai dua faktor penghambat program PUG. Padahal gender sendiri adalah budaya yang sifatnya transnasional dan dipaksakan untuk dikonsumsi bangsa Indonesia. Wacana kesetaraan gender dan isu diskriminasi terhadap perempuan kerap dihembuskan seiring mempromosikan perempuan untuk berperan di ranah publik. Padahal semestinya berperan di mana pun, boleh jadi merupakan konstruksi sosial sebuah masyarakat sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya. Menentukan peran adalah pilihan hidup yang tidak seharusnya dicampuri oleh pihak mana pun. Gender sebagai pemaknaan sosial yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan tidak seharusnya menghilangkan keberagaman kultur dalam masyarakat dengan membentuk satu sistem sosial baru yang harus diikuti oleh semua perempuan lintas bangsa. Berdasarkan rincian da uraian latar belakang tersebut, makan dapat disimpulakn permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pandangan dan penafsiran agama mengenai istilah yang menyatakan bahwa gender adalah budaya yang bersifat transisionall? 2. Bagaimanakah kesetearaan gender di Indonesia termasuk salah satu isu diskriminasi terhada perempuan? 3. Bagaimanakah seharusnya pemaknaan status social yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan yang menghilangkan kultur keberagaman dalam masyarakat? Dengan demikian gender sebagai hasil konstruksi sosial yang berdasarkan pada relativisme seharusnya membiarkan berbeda setiap budaya yang dikonstruk oleh masyarakat, selama tidak menimbulkan kerugian mendasar dari salah satu jenis kelamin. Gender: dari Jenis Kelamin Biologis ke Sosial. Gender diartikan sebagai klasifikasi jenis kelamin yang dikonstruk secara sosial, bukanlah makna original dari istilah ini. Gender pada awalnya digunakan untuk merujuk kepada pembagian jenis kelamin kata benda dalam grammatika bahasa Inggris. Kemudian pada tahun 1955, seorang seksolog Jhon Money, memperkenalkan istilah sex untuk merujuk kepada klasifikasi biologis laki-laki atau perempuan. Dan memperkenalkan istilah gender untuk merujuk kepada perbedaan perilaku berdasarkan jenis kelamin. B. METODE PENELITIAN Metode penelitian ini menggunaka metode lualitatif-deskriptif. Draf Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender tidak lepas dari ideologi gender yang transnasional. RUU ini tidak berhubungan langsung dengan peningkatan hajat hidup kaum wanita di Indonesia. Instrument yang digunakan dalam penelitian ini berupa : dokumen, wawancara, referensi permasalahan dalam dunia hukum, dan analisis datanya menggunakan analisis data interaktif. C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Istilah “Gender” yang diartikan sebagai klasifikasi jenis kelamin yang dikonstruk secara sosial, bukanlah makna original dari istilah ini. Gender pada awalnya digunakan untuk merujuk kepada pembagian jenis kelamin kata benda dalam grammatika bahasa Inggris. Kemudian pada tahun 1955, seorang seksolog Jhon Money, memperkenalkan istilah sex untuk merujuk kepada klasifikasi biologis laki-laki atau perempuan, dan memperkenalkan istilah gender untuk merujuk kepada perbedaan perilaku berdasarkan jenis kelamin. Dengan usulan beliau, istilah “gender” mengalami perubahan makna dari jenis kelamin (sex) kepada peran sosial (social role) dan akhirnya menjadi identitas gender. Sebelum munculnya usulan ini, jarang sekali kata “gender” digunakan melainkan sebagai kategori gramatikal. Namun, pemaknaan kata gender yang diberikan oleh Jhon Money tidak menyebarluas sehingga tahun 1970-an, yaitu ketika teori feminis menguraikan perbedaan antara jenis kelamin biologis dan konstruk sosial gender. (Demography, vol. 31, No. 4) Dipengaruhi gerakan perempuan, pada tahun 1970-an kaum feminis Amerika menyesuaikan kata “gender” dan menukar maknanya. Para ilmuwan sosial feminis menggunakan “gender” untuk menolak gagasan bahwa perbedaan jenis kelamindalam perilaku, temperamendan intelektual dipandang sebagai alami atau kodrat. (Joanne Meyerowitz, 2008: 1354-5). Ringkasnya, bahwa pemaknaan ulang kata gender bukan tanpa tujuan dan tidak bebas nilai, tetapi ia juga membawa misi dan agenda tertentu. Maka tujuan di balik pemaknaan ulang istilah ‘gender’ di antaranya untuk: 1) meruntuhkan asumsi bahwa karakteristik laki-laki dan perempuan lebih ditentukan secara biologis. 2) konsep gender diarahkan untuk menyamai, menyaingi bahkan merebut peran laki-laki di ranah publik maupun domestik. Sebab selama ini perempuan cenderung dikategorikan sebagai simbol yang lemah dan tergantung. 3) konsep gender yang dibentuk secara sosial dimaksudkan untuk tidak melihat perempuan sebagai kebalikan dari laki-laki yang lebih cocok untuk melahirkan anak, mengasuh, dan merawat. D. SIMPULAN DAN SARAN 1. Simpulan Dari beberapa uraian-uraian di atas, maka dapat disimpulkan : a) Pelabelan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah keputusan sosial. Kita dapat menggunakan pengetahuan ilmiah untuk membantu kita membuat keputusan, tapi hanya keyakinan kita tentang gender “tidak dengan ilmu” yang dapat mendefinisikan jenis kelamin kita. b) Kebanyakan kaum feminis memaknai gender sebagai hasil penjabaran sosial tentang jenis kelamin biologis. Mereka menolak pandangan bahwa gender dibangun berdasarkan jenis kelamin biologis, bahkan pandangan ini dianggap melebih-lebihkan perbedaan biologis dan membawa perbedaan tersebut ke dalam domain yang tidak relevan. c) Konsep gender yang dibentuk secara sosial dimaksudkan untuk tidak melihat perempuan sebagai kebalikan dari laki-laki yang lebih cocok untuk melahirkan anak, mengasuh, dan merawat. d) Gender sebagai hasil konstruksi sosial yang berdasarkan pada relativisme seharusnya membiarkan berbeda setiap budaya yang dikonstruk oleh masyarakat, selama tidak menimbulkan kerugian mendasar dari salah satu jenis kelamin. Gender: dari Jenis Kelamin Biologis ke Sosial. 2. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka perlu adanya kejelasan dari pemerintah mengenai Undang-undang mengenai kesetaraan gender di masyarakat yang masih perlu dinetralisasikan permasalahannya. Draf Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender tidak lepas dari ideologi gender yang transnasional. RUU ini tidak berhubungan langsung dengan peningkatan hajat hidup kaum wanita di Indonesia Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam draft RUU KKG belum ada indikasi untuk memperjuangkan hajat hidup kaum wanita yang berkenaan dengan kodrat jenis kelamin biologisnya. Seperti memperjuangkan cuti kerja bergaji minimal setahun, mengharuskan pemerintah pusat dan daerah membangun fasilitas menyusui di mall, terminal, tempat kerja dan fasilitas publik lainnya. (nursing room for breast feeding mothers), memperjuangkan masa kerja yang lebih fleksibel bagi ibu-ibu yang berkarier, memperjuangkan subsidi bulanan bagi ibu kurang mampu yang mempunyai bayi hingga usia lima tahun, memperjuangkan tersedianya persalinan yang mudah, aman, sehat dan murah, serta memperjuangkan subsidi bagi ibu yang ditinggal mati suaminya, minimal selama masa iddah. Uraian di atas semoga dapat membuka pikiran komisi VIII DPR RI yang sedang membahas RUU KKG untuk tidak terkesima dengan ideologi transnasional seperti paham kesetaraan gender dan feminisme. Cukuplah peristiwa yang mencoreng komisi VIII DPR RI saat berkunjung di Australia tidak memperburuk citra komisi ini dengan tetap membahas apalagi mengesahkan RUU yang menyesatkan ini. Sebab masih banyak permasalahan bangsa yang membutuhkan penanganan yang lebih serius. Sementara korban ketidakadilan, pemiskinan dan pembodohan tidak saja kaum perempuan. Karena orang dizalimi, menjadi miskin dan bodoh bukan semata-mata karena keperempuanannya. Dan memang kejahatan tidak berjenis kelamin. Pelakunya adalah nafsu keserakahan yang bisa menghinggapi siapa saja. Ia bisa menimpa orang-orang semacam “The Iron Lady” Margaret Thatcher, Miranda Goeltom, Angelina Sondakh, Sherny Konjongiang, Maria Pauline, Nunung Nurbaiti, atau sejenis George Bush, Muhammad Nazaruddin, Sjamsul Nursalim, eddy tansil, dan lain-lain. Akankah UU dan kegiatan pembangunan di Indonesia tetap mengikut konsep seksisme dan ideologi jenis kelamin?!.