@@@
Hawa dingin itu masih saja
menerjang kehangatanku di malam sepi. Kakiku bergetar seribu kali lebih kencang
dari biasanya. Jantungku berdetak seribu kali lebih kencang dari biasanya. Dan
pandanganku mulai sedikit kabur.
Shalat malam dua rakaat telah
kami lakukan secara berjamaah di sebuah masjid yang katanya menyimpan banyak
misteri di dalamnya. Aku tak menghiraukan apa kata-kata itu menjadi bahan
kenyataan untuk sebagian masyarakatnya, atau hanya ilustrasi biasa saja sebagai
bahan kesadaran untuk kami yang ada di dalamnya. Kami hanya melakukan apa yang
menjadi kewajiban kami sebagai seorang muslim dan sebagai anggota suatu
Himpunan yang ketika itu sedang mengadakan sebuah acara Pelatihan Kader Baru di
tempat tersebut.
Tak terlihat tanda-tanda
bagaimana “dia” akan datang lagi padaku melalui celah-celah ibu jari kakiku,
serat-serat kulit kepalaku, atau ujung kuku jari-jari tanganku. Semuanya
berlangsung baik-baik saja. Tak ada yang membuatku merasa aneh atau bagaimana.
Semuanya terlihat bahagia dan sedikit orang yang masih terlihat melawan rasa
kantuknya. Beberapa orang laki-laki lebih memilih untuk melanjutkan dzikirnya
di dalam masjid, sedangkan perempuannya kembali ke penginapan karena besok pagi
masih banyak segudang acara yang akan dilakukan lagi.
Putri. Salah seorang dari
peserta Pelatihan yang sedari tadi terlihat sendiri dan melamun di pojok
ruangan itu terlihat sangat pucat sekali. Ketika itu ia memang dalam keadaan
tidak suci atau udzur. Badannya sedikit gemuk dan wajahnya putih bersih. Ia
berkeinginan untuk keluar agar tidak mengganggu kami yang sedang shalat dan
mengaji. Akan tetapi, ketia ia hendak masuk kembali ke dalam masjid, tiba-tiba
tubuhnya lemas dan terjatuh sampai kepalanya terbentur keras di lantai. Semua
sempat histeris melihat keadaan Putri yang tampaknya sangat lemah.
Keanehan tidak sampai di sini
saja. Tak lama kemudian, satu dari peserta yang lainnya secara mendadak jatuh
terkapai di lantai dan tak sadarkan diri. Yeni, ia baru saja semester 1 yang
semangat perjuangannya masih sangat terlihat diantara peserta lainnya. Wajahnya
menjadi pucat dan sekujur tubuhnya menjadi kaku. Aku dengan sergap
mendampinginya di sudut ruangan terpisah dari Putri.
Suasana malam semakin mencekam.
Terdengar suara seseorang yang menjerit dengan tak sadarkan diri. Putri
beteriak kencang dan seluruh tubuhnya seakan dikendalikan oleh makhluk lain
yang masuk dalam jiwanya. Matanya melotot ke semua arah tanpa terkecuali.
Pandanganny menjadi kosong dan suram. Kaki dan tangannya sengaja kami pegang
agar tidak terjadi hal-hal yang diinginkan.
Kami mewaspadai sesuatu
terjadi lebih parah diantara Yeni dan Putri. Namun dari semua anak laki-laki
yang membantu mereka, tak ada satupun yang mampu menyegarkan suasana dan
menghentikan keegoisan malam pada diri jiwa mereka. Semuanya membisu. Tak ada
yang mampu mengubah keadaan pada sang malam dengan durjana seakan gentingnya
suara teriakan merekapun membahana luas diantara keheningan di malam buta.
Aku mencoma membaikkan
jiwa-jiwa itu dari kekerasan yang menjelma dalam tubuh Yeni yang ketika itu
sangat kuat dan hawa dingin merasuk dalam sendi tulangku. Tak pernah terlintas
sedikitpun ketakutan ataupun kecemasan akan sendi-sendi tulangku yang bisa saja
merasuk padaku. Yang aku tahu, aku harus mampu dan bisa sedikit demi sedikit
menenangkan Yeni. Namun apa daya, tubuhku serasa lunak akan teriakan dan
jeritan yang ia lakukan di telingaku. Aku tak mampu menahan amarahku untuk
menghantam malam. Aku tak bisa mengubah duniaku menjadi terang se terang bulan
malam itu.
“A aarghhh….” Hanya itu yang
mampu keluar dari kerua bibirku yang semain membeku dalam ketabuan malam.
Tubuhku menggiggil. Jiwaku
lemah tak berdaya. Hawa panas mulai merasuk melalui pori-pori kulitku. Lalu
merasuk melalui sendi-sendi kultulangku sampai akhirnya menyebar ke seluruh
aliran darahku yang mulai memanas. Aku ingin menahan matahri yang panas itu,
namun aku tak sanggup. Aku ingin melawan hawa dingin yang mulai merasuk dalam
sukmaku, namun aku tak bisa. Dan aku ingin sekali memberontak sosok di
hadapanku dengan sangat kerasnya, namun aku tak berdaya. Aku tak mampu melawan
hawaku sendiri. Aku tak sanggup melawanya sendiri. Tubuhku terasa lemah dan
lelah.
“ Rina.. rina.. rina bangun.
Kamu pasti sanggup melawannya. Dan kamu mampu menahan semuanya. Ayo.. kamu
pasti bisa.. kamu pasti kuat… jangan sampai kalah dari dia Rina…”. Aku merasa
seseorang membisikkan sesuatu di telingaku.
Aku hanya bisa mengenang
peristiwa 8 tahun lalu. Ketika situasi dan kondisi seperti sekarang ini
menghantuiku. Ketika tubuhku dikuasi oleh kehadiran sosok yang sampai membuat
jiwaku lemah. Semua orang seakan menjauhiku, semua seakan berubah menjadi 1800.
Seakan semua keadaan berbalik mencercaku dengan segala carcian kejam. Rasanya
ingin sekali aku cepat-cepat berpaling dari kenyataan itu. Aku ingin menghilang
dan menghindar dari situasi yang mencekam itu.
Dan kini, peristiwa 8 tahun
lalu sekan hadir kembali dalam tubuhku. Peristiwa yang membuat tubhku tak
berdaya. Menjadi lemas, lelah, dan tak terkontrol sama sekali. Peristiwa yang
meludahi mimpiku selama bertahun-tahun. Peristiwa yang sampai saat ini masih
menggantung jelas di ingatanku. Entah apa yang menjadikan aku seorang budak
kerdil yang hanya bisa terkapar lemah tak berdaya. Dikuasai hawa panas yang
memberikanku aura hitam. Sampai saat ini, aku sama sekali tak mengerti dengan
keadaan yang terus menyiksaku ini. Mengapa aku yang menjadi pelariannya?
Mengapa harus aku yang menjadi persinggahannya? Mengapa harus aku juga yang
menjadi tempat berbulan madunya? Aku ingin segera bangkit dari keterpurukan
ini.
@@@
Denting
jam mulai membangunkanku dari tidur panjang, setelah semalaman tubuh dan jiwaku
terkuasai oleh aura hitam itu. Aku beralih pandangan kea rah seseorang di
dekatku. Hanya ada beberapa orang di sampingku. Hanya ada dia dan dia yang
masih setia sekaligus mau mendampingiku sampai aku kembali seperti sedia kala.
Aku ingin sekali menggerakkan kedua kakiku, namun rasanya sebuah beton besar
menghimpit dan menerkam kedua kakiku dengan sangat kuatnya. Aku coba menggerakkan
tanganku, namun rasanya sama seperti ketika aku terkepung ribuan manusia di
tengah-tengah padang tandus. Sakit sekali rasanya. Ingin aku beteriak sekencang
mungkin untuk mengatakan bahwa tubuhku sama sekali tidak bisa digerakkan. Hanya
bibir dan air mata ini yang mampu bicara. Dan mampu memahami kesakitanku kala
itu.
Dengan
langkah yang terpogoh-pogoh, aku mencoba menguatkan tubuhku hingga sampai
saatnya aku bisa berjalan walau tidak tegap dan masih dalam keadaan sempoyongan.
Aku benci diriku sendiri. Aku benci “dia” yang tidak melihat dan membaca
situasi. Kenapa “dia” datang kembali menggauiliku dengan rasa sakit yang
mendalam? Kenapa juga “dia” menerkamku dengan sabitannya yang tajam? Aku tak
tahu mengapa. Rasanya ingin sekali aku membunuhnya atau bahkan membuangnya ke
neraka.
“
Kamu istirahat dulu aja yah.. biar badan kamu lebih enak” Vika membisikan
sesuatu di telinga kananku
“
Aku kenapa lagi? Badanku ko sakit semua? Rasanya nggak bisa digerakin gini yah?
Aku kenapa Vik? Aku kenapa? “ Rasa ingin tahuku mulai menggelora
Diantara
mereka hanya tertunduk. Tak ada yang memberikan jawaban pasti sesuai dengan
yang aku inginkan. Mereka seakan ingin menyembunyikan semuanya padaku. Aku
hanya bisa merasakan sakit yang luar biasa. Aku hanya bisa berkata dan beteriak
dalam nuraniku sendiri. Rasanya dunia seakan menjauhiku sedemikian rupa. Aku
seakan dalam cengkeraman manusia-manusia kejam yang hanya bisa berkata dan
berucap di luar, namun mereka tak bisa merasakan apa yang aku rasakan.
Di
tengah-tengah kerumunan terik siang, aku mencoba melupakan apa yang aku rasakan
semalam. Karena kau tak bisa membaca pikiranku sendiri. Aku ingin melupakan
semua yang terjadi sehingga tubuhku menjadi kaku dan perutku kram.
“
Rina tadi malam kenapa? Kamu sadar nggak? “ Mas
Ery mencoba menggali sesuatu dalam diriku
“
Aku nggak ngerti Mas, kenapa aku bisa kaya gini. Yang pasti, tiba-tiba hawa
tubuhku jadi merinding dan rasanya nggak ada tenaga sama sekali. Aku masih bisa
tahu siapa kalian dan gimana situasi waktu ini, tapi aku nggak bisa ngomong.
Aku pengen ngomong rasanya berat banget. Kaya ada yang mengekang gitu,Mas..”
Aku mencoba menjelaskan bagaiman keadaan dan perasaanku kala itu.
“
Ough, terus kamu ngerasa nggak waktu tangan, kaki, sama badan kamu di siksa
kaya narapidana gitu? Hampir semua yang megangin kamu itu cowo,Rin.. “
“
Haaa??? Masa sih Mas? Berarti aku hebat donk bisa ngalahin cowo banyak gitu?
(tertawa) “ Aku mulai mengalihkan pembicarannku
“
Wakh kamu Rin, bisa aja deh. Lagi ngomongin serius ko malah ngajak becanda
gitu. Gimana Rin? Bagi cerita donk.. (hehehe)”
Aku
tak ingin menceritakan kembali apa yang sudah terjadi semalam. Rasanya jijik
sekali jika aku masih membahas semuanya. Aku benci pada diriku sneidir. Kenapa
aku tidak bisa melawan “dia” masuk dalam tubuh dan bersatu dengan jiwaku. Kalau
boleh memilih, rasanya aku ingin mati daripada harus melawan aura itu lagi
dalam diriku.
Awalnya
hawa dingin itu menyerempetku, llau diikuti dengan hawa panas yang sangat
dahsyat menerkam sela-sela rambut dan kulitku. Suasana belum mulai memanas,
namun tubuhku seakan kaku namun lemas. Aku tak berdaya untuk melawan hawa panas
itu untuk tidak masuk dalam diriku. Seketika aku merasa lemas dan pandanganku
kabur entah bagaimana. Setelah itu, aku tak tahu apa dan bagaimana semuanya
bisa menjadi seperti itu. Aku tak tahu mengapa sekujur tubuhku menjai lebam dan
kaku. Leherku seakan tercekik makhluk yang sangat kuat. Aku masih berada
diantara sadar dan tidak sadar. Sadar akan kekuatan super yang tiba-tiba msuk
ke tubhku, sadar akan gerakan-gerakan yang tidak aku mengerti maksudnya. Dan
sadar akan situasi yang membuatku merasa sakit.namun aku sendiri tidak bisa
membaca semuanya. Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku tak bisa melakukan apa-apa
untuk mencegah semuanya.
Ya
Robb.. bagaimana mungkin semuanya terjadi padaku? Mengapa harus aku yang
mengalami ini semua? Terkadang ingin sekali aku memberontak pada kenyataan
pahit ini. Namun aku sendiri tak bisa melakukannya.
@@@
Malam kedua setelah pelatihan ini berlalu. Aku masih sangat
percaya diri untuk melakukan aktifitas shalat malam di masjid itu. Rasanya
sejuk dan sunyi. Malam ini seakan menjadi malam terindah untukku. Selama aku
mengenal sosoknya yang mnyebalkan dan sangat egois, namun malam itu prasangka
burukku hilang lenyap. Aku terlalu fanatic menilainya sangat buruk. Aku terlalu
egois menilainya sangat jelek. Sampai aku sendiri tidak membaca sisi baik yang
ada padanya. Aku terlalu egois mengambil dan menilainya. Kalau pada akhirnya
penilaianku salah besar.
Aku
dengan tegarnya membolak-balikkan mukena yang telah aku pakai. Ketika itu
tubuhku masih sangat segar dibandingkan dengan malam kemarin. Rasanya sulit
untuk aku gambarkan situasi pada mala mini. Jauh berbeda dengan malam
sebelumnya.
“
Mba.. dadaku sesak. Nafasku susah banget. Mba pegang dadaku deh.. “ Gina
tiba-tiba datang padaku dan memintaku untuk memegangi dadanya.
Detakkannya
semakin kencang. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang akan menuju ke hatinya. Aku
sudah bisa merasakan bagaimana kejadiannya nanti. Aku sudah bisa merasakan apa
yang menjadi kendala Gina ketika ia memintaku memegangi dadanya. Getarannya sangat
kencang. Dan pada akhirnya..
“
Gina… gina.. gina bangun gin… jangan kosongin pikiran kamu… istighfar Gin.. “
Aku masih sadar dan kuat untuk membuka mata batinnya. Ia sangat lemah
dibandingkan denganku
Suasana
menjadi mencekam ketika dari samping tembok terdengar Yeni terjatuh dan semua
orang beteriak kencang. Yah, kejadian yang sama terulang lagi. Kali ini Gina
yang mengawali semuanya. Kemudian disusul Yeni yang keadaannya memang sudha
lemah.
Aku
berusaha menahan diriku untuk tidak masuk dalam jeratannya. Aku berusaha untuk
keluar dari lingkaran aura hitam di sekitarku dan Gina.
“
Rina.. Nduk.. pulang aja ke penginapan yah. Biar Mba Nina yang nganterin kamu
ke sana. Jangan di sini Nduk… “ Mas Refan dengan nada lembutnya memintaku untuk
segera meninggalkan tempat dan memisahkan diri dari Gina.
“
Ia nduk.. Rina.. ayo keuar dan balik ke penginapan aja. Jangan di sini.. ini
buat kebaikan kamu juga, Nduk.. “ Mas Eri menambahi
“
Ia Mas.. nanti aku keluar. Tapi mau benerin kerudung dulu yah.. “. Entah ada
hawa apa yang membuat aku ingin tetap di tempat ini. Bersama Gina dan Yeni
Suasana
malam semakin kelam. Aku masih ingat ketika itu waktu menunjukan pukul 00.11
WIB. Aku berusaha keluar dari tempat itu. Mba Nina menggandengku dengan sangat
hati-hati. Aku tahu bagaimana perasaan Mba Nina saat itu. Mungkin ia sangat
khawatir sesuatu terjadi lagi padaku. Dan ditemani Fitri, aku bersama-sama
pulang ke penginapan. Namun, sampainya di tengah-tengah pintu, hawa tubuhku
menjadi tidak terkonrol. Hawa dingin itu masuk lagi mencengkram tubuhku. Diselingi
dengan hawa panas yang langsung menabrak ubun-ubun sampai ujung jari kakiku. Pandanganku
mulai kabur, dan aku tidak bisa lagi untuk melawan kedatangannya malam itu.
Aku
masih bisa merasakan bagaiman tangan dan kakiku terikat oleh sinar-sinar panas
yang membelengguku. Aku masih ingat bagaiman bisikan-bisikan masuk ke telingaku
dengan sangat panasnya. Aku masih ingat bagaimana satu demi satu orang di
sekitarku membisikkan sesuatu. Dan aku masih ingat bagaimana tubuhku
diumpamakan seekor kambing yang akan dijadikan qurban. Aku sakit, aku
kepanasan, aku lemas, dan aku sangat ketakutan. Aku ingat semua itu. Tapi aku
tak tahu siapa yang melakukan smeua itu, dan aku tak bsa mencegah semuanya. Aku
tak bisa berkata apa—apa untuk mengatakan bahwa kau kesakitan. Aku kecapean,
dan aku kepanasa.
Ingin
rasanya aku berucap istghfar sebanyak mungkin. Ingin rasanya aku bertakbir
sebanyak mungkin. Tapi mulutku tak bisa berkata dan berucap seperti apa yang
ingin aku katakan. Aku terlalu bodoh untuk melakukan semua itu. Aku terlalu
lemah untuk berucap seperti apa yang aku inginkan. Aku tak bisa. Aku tak
sanggup.
“
Aaaargghh…. “
Perlahan
aku buka kelopak mataku. Aku pandangi segala sesuatu di sekelilingku. Aneh,
aneh rasanya. Aku lihat dua orang tertidur pulas di dekatku. Apa aku kembali
seperti malam sebelumnya? Sempat ada pertanyaan seperti itu melayang di
ingatanku. Aku pandangi tiap sudu ruangan yang bisa aku pandangi. Masih tempat
yang sama. Tapi dimana mereka? Dimana mereka yang sepertinya membantuku melawan
hawa panas itu?
“
Dek Rina… kerudungnya dipakai dulu yah.. “ Sedikit aku mendengar bisikan itu
dari samping. Suara Mas Hendrawan. Ya, Mas Hendrawan yang menyuruhku memakai
kerudung.
Memakai
kerudung? Maksudnya aku tidak memakai kerudung? Apa ketika aku melawan semuanya
kerudungku terbuka? Astaghfirullah…. Kenapa semua ini terjadi lagi apdaku? Aku malu,
aku takut, aku.. aku..
Dengan
sergap aku kenakan kerudungku sebelum kesadaranku hilang lagi. Namun rasanya
ada sesuatu yang mengganjal di bagian perutu. Rasanya sakittt sekali, kram, tak
bisa untuk mengangkat tubuhku. Aku tak bis abangun dari pembaringanku. Rasanya ada
sesuatu yang memaksaku untuk tetap berada di tempat itu. Oh.. ya Robb.. ada apa
lagi ini? Kenapa perutku sakit sekali. Aku tak bisa merasakan apa-apa kecuali
kram. Tubuhku pun serasa lemas sekali. Kakiku sangat sungkan untuk berpijak. Dan
rasanya tak bisa untuk berjalan seperti biasanya. Aku takut sesuatu terjadi
lagi padaku.
Mas
Ery datang meraih tubuhku yang sudah tidak bertenaga. Ia, kalau tidak salah
lihat, ia memang Mas Ery. Kalaupun sadar, aku tidak mau sampai ditatihnya. Aku sangat
malu. Mas Ery dan Mas Doni mencoba membantuku berdiri dan menahan rasa sakit di
perutku. Namun, aku sama sekali tak bisa untuk menggerakan kakiku ini. Rasanya sakit
sekali.
“
Masih bisa jalan nggak Nduk..?” Mas Ery mencoba membantuku menghilangkan rasa
sakit ini.
“
Nggak bisa Mas, rasanya perutku kaku banget.. kram.. nggak bisa buat ditekuk. Apalagi
kakiku. Kaki sebelah kanan susah digerakan. “ Aku mencoba memahamkan keadaannku
pada Mas Ery
Aku
setengah sadar dengan situasi ini. Tubuhku sudah tidak ada tenaga lagi. Rasanya
seperti habis perang dengan 1.000 pasukan bersenjata. Sangat lemas dan lemah. Jika
untuk mengangkat tubuhku menuju tempat penginapan, rasanya aku sudah tidak
sanggup lagi. Aku tidah kuat menahan rasa sakit ini lagi.
@@@
Aku
melupakan segala kejadian yang membuat tubuhku menadi lemah ini dnegan becerita
dan bercanda ria dengan mereka. Sekadar bercerita konyol saja, mungkin akan
sedikit melupakanku akan kejadian dua malam yang lalu. Ada Mas Heri, Mas Doni,
Mas Ery, Mas Nino, Mas David, dan Mas Leo yang menghiburku dengan cerita-cerita
konyol malam kemarin. Tantang Gina yang berubah menjadi sangat konyol dan lucu.
Aku hanya menjadi pendengar setia saja malam itu. Semuanya bercerita seakan
menghadapi orang berkebutuhan khusus. Pukul 18.23 WIB kami masih asyik dengan
cerita-cerita itu. Sampai aku lupa untuk mengisi perutku yang belum terisi dari
kemarin. Rasanya tidak enak untuk memasukan sesuatu ke perut. Mual dan sedikit
ada rasa pahit di lidahku.
Mas
Ery mengajaku untuk sekadar jalan-jalan dan ngobrol-ngobrol agar pikiranku
tidka kosong lagi. Sepertinya ia sudah mampu membaca apa yang akan terjadi lagi
padaku malam ini. Aku sendiri sudah bisa membaca situasi yang akan terjadi malm
nanti. Namun aku tak bisa mengatakan ini sembarangan. Aku tahu bagaimana
kekhawatiran mereka.
“
Perutnya masih kram Nduk..? apa udah minum obat?” Mas Ery mencoba memberikan
arahan agar pikiranku tidak kosong
“
Udah mas, tapi perut kram malah dikasihnya obat promagh. Apa nggak lucu yah?
(hahahha) “
“
Ya nggak masalah. Daripada Masbullogh? Ada-ada aja setan bilang masbulogh.
(hahaha) “
Kami
tertawa dan mencoba melupakan semuanya dengan candaannya yang kas. Semua ini belum berakhir, pikirku. Masih ada
banyak cerita yang belum terungkap malam itu.
Aku masih belum merasakan hawa itu masuk
dan datang kagi menghampiriku. Namun firasatku sudah bisa ditebak. Ada sesuatu
yang akan terjadi lagi di tempat ini.
Pukul
20.12 wib, aku datang ke tempat
pelatihan berlangsung. Aku lihat ada dua orang laki-laki yang sangat asing
bagiku. Tubuhnya besar dan berkaca mata. Entah siiapa mereka dan apa tujuan
mereka datang ke tempat ini.
“
Nduk.. Rina.. sini masuk dulu. Ada yang mau Mas Haris bicarakan” Mas Haris
menghampiriku dan memintaku masuk bergabung dengan sua laki—laki tu
“
Ada apa Mas..? ko Cuma aku yang dipanggil?”
“
Nggak ada aa-apa. Masuk dulu aja yah.. nanti juga tahu ko Nduk.. “
Dengan
langkah hati-hati, akuterpaksa menghampiri dua laki-laki itu. Pandanganku asing.
Siapa meraka? Aku tak tahu. Aku duduk berderet dengan Mba Sinta sebelah kanan. Sepertinya
ini akan menjadi puncak permasalahan yang hampir 2 hari ini menggelora hebat di
tempat ini. Dan aku lebih-lebih bersyukur jika memang ini yang terakhir. Aku berharap,
setelah ini semuanya tidak akan pernah terjadi lagi daalam hidupku.
Mas
Angga. Ya dia Mas Angga. Entah siapa itu Mas Angga, yang pasti dia akn
menyembuhkanku dan melawan hawa panas dalam diriku untuk selamanya. Dan Mas Angga
juga yang akan menghilangkan rasa sakit di perutku karena kram yang luar biasa.
Semua
berjalan dengan sangat baik. Rasa sakitku mulai menghilang. Dan daya pikirku
tentang hawa dingin itu sedikit demi sedikit menghilang dari tubuhku. Aku merasakan
kehangatan dan kenyamanan dalam sukmaku. Aku merasa bebas untuk bergerak. Tak ad
alagi dua atau tiga aura yang menghantam jiwaku. Dan aku bisa merasakan
kebebasan lagi seperti kemarin-kemarin.
Menjelang
pukul 23.00 wib kami kembali ke kos dengan selamat.
Sebuah
perjalanan hati dan jiwa yang dipenuhi dengan liku-iku dan kerikil tajam. Hingga
membuat tubuhku seakan tak berdaya. Tak punyai kekuatan supra untuk melawan
semuanya. Namun mala mini, semuanya sudah ditakdirkan untuk kembali seperti semula.
Terima
kasih sejarah yang telah mengajarkan aku tentang makna bersyukur…
Semarang,
18 Desember 2013