Selasa, 17 Desember 2013

3 MALAM, 3 AURA


@@@

Hawa dingin itu masih saja menerjang kehangatanku di malam sepi. Kakiku bergetar seribu kali lebih kencang dari biasanya. Jantungku berdetak seribu kali lebih kencang dari biasanya. Dan pandanganku mulai sedikit kabur. 
Shalat malam dua rakaat telah kami lakukan secara berjamaah di sebuah masjid yang katanya menyimpan banyak misteri di dalamnya. Aku tak menghiraukan apa kata-kata itu menjadi bahan kenyataan untuk sebagian masyarakatnya, atau hanya ilustrasi biasa saja sebagai bahan kesadaran untuk kami yang ada di dalamnya. Kami hanya melakukan apa yang menjadi kewajiban kami sebagai seorang muslim dan sebagai anggota suatu Himpunan yang ketika itu sedang mengadakan sebuah acara Pelatihan Kader Baru di tempat tersebut.
Tak terlihat tanda-tanda bagaimana “dia” akan datang lagi padaku melalui celah-celah ibu jari kakiku, serat-serat kulit kepalaku, atau ujung kuku jari-jari tanganku. Semuanya berlangsung baik-baik saja. Tak ada yang membuatku merasa aneh atau bagaimana. Semuanya terlihat bahagia dan sedikit orang yang masih terlihat melawan rasa kantuknya. Beberapa orang laki-laki lebih memilih untuk melanjutkan dzikirnya di dalam masjid, sedangkan perempuannya kembali ke penginapan karena besok pagi masih banyak segudang acara yang akan dilakukan lagi.
Putri. Salah seorang dari peserta Pelatihan yang sedari tadi terlihat sendiri dan melamun di pojok ruangan itu terlihat sangat pucat sekali. Ketika itu ia memang dalam keadaan tidak suci atau udzur. Badannya sedikit gemuk dan wajahnya putih bersih. Ia berkeinginan untuk keluar agar tidak mengganggu kami yang sedang shalat dan mengaji. Akan tetapi, ketia ia hendak masuk kembali ke dalam masjid, tiba-tiba tubuhnya lemas dan terjatuh sampai kepalanya terbentur keras di lantai. Semua sempat histeris melihat keadaan Putri yang tampaknya sangat lemah.
Keanehan tidak sampai di sini saja. Tak lama kemudian, satu dari peserta yang lainnya secara mendadak jatuh terkapai di lantai dan tak sadarkan diri. Yeni, ia baru saja semester 1 yang semangat perjuangannya masih sangat terlihat diantara peserta lainnya. Wajahnya menjadi pucat dan sekujur tubuhnya menjadi kaku. Aku dengan sergap mendampinginya di sudut ruangan terpisah dari Putri.
Suasana malam semakin mencekam. Terdengar suara seseorang yang menjerit dengan tak sadarkan diri. Putri beteriak kencang dan seluruh tubuhnya seakan dikendalikan oleh makhluk lain yang masuk dalam jiwanya. Matanya melotot ke semua arah tanpa terkecuali. Pandanganny menjadi kosong dan suram. Kaki dan tangannya sengaja kami pegang agar tidak terjadi hal-hal yang diinginkan.
Kami mewaspadai sesuatu terjadi lebih parah diantara Yeni dan Putri. Namun dari semua anak laki-laki yang membantu mereka, tak ada satupun yang mampu menyegarkan suasana dan menghentikan keegoisan malam pada diri jiwa mereka. Semuanya membisu. Tak ada yang mampu mengubah keadaan pada sang malam dengan durjana seakan gentingnya suara teriakan merekapun membahana luas diantara keheningan di malam buta.
Aku mencoma membaikkan jiwa-jiwa itu dari kekerasan yang menjelma dalam tubuh Yeni yang ketika itu sangat kuat dan hawa dingin merasuk dalam sendi tulangku. Tak pernah terlintas sedikitpun ketakutan ataupun kecemasan akan sendi-sendi tulangku yang bisa saja merasuk padaku. Yang aku tahu, aku harus mampu dan bisa sedikit demi sedikit menenangkan Yeni. Namun apa daya, tubuhku serasa lunak akan teriakan dan jeritan yang ia lakukan di telingaku. Aku tak mampu menahan amarahku untuk menghantam malam. Aku tak bisa mengubah duniaku menjadi terang se terang bulan malam itu.
“A aarghhh….” Hanya itu yang mampu keluar dari kerua bibirku yang semain membeku dalam ketabuan malam.
Tubuhku menggiggil. Jiwaku lemah tak berdaya. Hawa panas mulai merasuk melalui pori-pori kulitku. Lalu merasuk melalui sendi-sendi kultulangku sampai akhirnya menyebar ke seluruh aliran darahku yang mulai memanas. Aku ingin menahan matahri yang panas itu, namun aku tak sanggup. Aku ingin melawan hawa dingin yang mulai merasuk dalam sukmaku, namun aku tak bisa. Dan aku ingin sekali memberontak sosok di hadapanku dengan sangat kerasnya, namun aku tak berdaya. Aku tak mampu melawan hawaku sendiri. Aku tak sanggup melawanya sendiri. Tubuhku terasa lemah dan lelah.
“ Rina.. rina.. rina bangun. Kamu pasti sanggup melawannya. Dan kamu mampu menahan semuanya. Ayo.. kamu pasti bisa.. kamu pasti kuat… jangan sampai kalah dari dia Rina…”. Aku merasa seseorang membisikkan sesuatu di telingaku.
Aku hanya bisa mengenang peristiwa 8 tahun lalu. Ketika situasi dan kondisi seperti sekarang ini menghantuiku. Ketika tubuhku dikuasi oleh kehadiran sosok yang sampai membuat jiwaku lemah. Semua orang seakan menjauhiku, semua seakan berubah menjadi 1800. Seakan semua keadaan berbalik mencercaku dengan segala carcian kejam. Rasanya ingin sekali aku cepat-cepat berpaling dari kenyataan itu. Aku ingin menghilang dan menghindar dari situasi yang mencekam itu.
Dan kini, peristiwa 8 tahun lalu sekan hadir kembali dalam tubuhku. Peristiwa yang membuat tubhku tak berdaya. Menjadi lemas, lelah, dan tak terkontrol sama sekali. Peristiwa yang meludahi mimpiku selama bertahun-tahun. Peristiwa yang sampai saat ini masih menggantung jelas di ingatanku. Entah apa yang menjadikan aku seorang budak kerdil yang hanya bisa terkapar lemah tak berdaya. Dikuasai hawa panas yang memberikanku aura hitam. Sampai saat ini, aku sama sekali tak mengerti dengan keadaan yang terus menyiksaku ini. Mengapa aku yang menjadi pelariannya? Mengapa harus aku yang menjadi persinggahannya? Mengapa harus aku juga yang menjadi tempat berbulan madunya? Aku ingin segera bangkit dari keterpurukan ini.

@@@
            Denting jam mulai membangunkanku dari tidur panjang, setelah semalaman tubuh dan jiwaku terkuasai oleh aura hitam itu. Aku beralih pandangan kea rah seseorang di dekatku. Hanya ada beberapa orang di sampingku. Hanya ada dia dan dia yang masih setia sekaligus mau mendampingiku sampai aku kembali seperti sedia kala. Aku ingin sekali menggerakkan kedua kakiku, namun rasanya sebuah beton besar menghimpit dan menerkam kedua kakiku dengan sangat kuatnya. Aku coba menggerakkan tanganku, namun rasanya sama seperti ketika aku terkepung ribuan manusia di tengah-tengah padang tandus. Sakit sekali rasanya. Ingin aku beteriak sekencang mungkin untuk mengatakan bahwa tubuhku sama sekali tidak bisa digerakkan. Hanya bibir dan air mata ini yang mampu bicara. Dan mampu memahami kesakitanku kala itu.
            Dengan langkah yang terpogoh-pogoh, aku mencoba menguatkan tubuhku hingga sampai saatnya aku bisa berjalan walau tidak tegap dan masih dalam keadaan sempoyongan. Aku benci diriku sendiri. Aku benci “dia” yang tidak melihat dan membaca situasi. Kenapa “dia” datang kembali menggauiliku dengan rasa sakit yang mendalam? Kenapa juga “dia” menerkamku dengan sabitannya yang tajam? Aku tak tahu mengapa. Rasanya ingin sekali aku membunuhnya atau bahkan membuangnya ke neraka.
            “ Kamu istirahat dulu aja yah.. biar badan kamu lebih enak” Vika membisikan sesuatu di telinga kananku
            “ Aku kenapa lagi? Badanku ko sakit semua? Rasanya nggak bisa digerakin gini yah? Aku kenapa Vik? Aku kenapa? “ Rasa ingin tahuku mulai menggelora
            Diantara mereka hanya tertunduk. Tak ada yang memberikan jawaban pasti sesuai dengan yang aku inginkan. Mereka seakan ingin menyembunyikan semuanya padaku. Aku hanya bisa merasakan sakit yang luar biasa. Aku hanya bisa berkata dan beteriak dalam nuraniku sendiri. Rasanya dunia seakan menjauhiku sedemikian rupa. Aku seakan dalam cengkeraman manusia-manusia kejam yang hanya bisa berkata dan berucap di luar, namun mereka tak bisa merasakan apa yang aku rasakan.
            Di tengah-tengah kerumunan terik siang, aku mencoba melupakan apa yang aku rasakan semalam. Karena kau tak bisa membaca pikiranku sendiri. Aku ingin melupakan semua yang terjadi sehingga tubuhku menjadi kaku dan perutku kram.
            “ Rina tadi malam kenapa? Kamu sadar nggak? “    Mas Ery mencoba menggali sesuatu dalam diriku
            “ Aku nggak ngerti Mas, kenapa aku bisa kaya gini. Yang pasti, tiba-tiba hawa tubuhku jadi merinding dan rasanya nggak ada tenaga sama sekali. Aku masih bisa tahu siapa kalian dan gimana situasi waktu ini, tapi aku nggak bisa ngomong. Aku pengen ngomong rasanya berat banget. Kaya ada yang mengekang gitu,Mas..” Aku mencoba menjelaskan bagaiman keadaan dan perasaanku kala itu.
            “ Ough, terus kamu ngerasa nggak waktu tangan, kaki, sama badan kamu di siksa kaya narapidana gitu? Hampir semua yang megangin kamu itu cowo,Rin.. “
            “ Haaa??? Masa sih Mas? Berarti aku hebat donk bisa ngalahin cowo banyak gitu? (tertawa) “ Aku mulai mengalihkan pembicarannku
            “ Wakh kamu Rin, bisa aja deh. Lagi ngomongin serius ko malah ngajak becanda gitu. Gimana Rin? Bagi cerita donk.. (hehehe)”
            Aku tak ingin menceritakan kembali apa yang sudah terjadi semalam. Rasanya jijik sekali jika aku masih membahas semuanya. Aku benci pada diriku sneidir. Kenapa aku tidak bisa melawan “dia” masuk dalam tubuh dan bersatu dengan jiwaku. Kalau boleh memilih, rasanya aku ingin mati daripada harus melawan aura itu lagi dalam diriku.
            Awalnya hawa dingin itu menyerempetku, llau diikuti dengan hawa panas yang sangat dahsyat menerkam sela-sela rambut dan kulitku. Suasana belum mulai memanas, namun tubuhku seakan kaku namun lemas. Aku tak berdaya untuk melawan hawa panas itu untuk tidak masuk dalam diriku. Seketika aku merasa lemas dan pandanganku kabur entah bagaimana. Setelah itu, aku tak tahu apa dan bagaimana semuanya bisa menjadi seperti itu. Aku tak tahu mengapa sekujur tubuhku menjai lebam dan kaku. Leherku seakan tercekik makhluk yang sangat kuat. Aku masih berada diantara sadar dan tidak sadar. Sadar akan kekuatan super yang tiba-tiba msuk ke tubhku, sadar akan gerakan-gerakan yang tidak aku mengerti maksudnya. Dan sadar akan situasi yang membuatku merasa sakit.namun aku sendiri tidak bisa membaca semuanya. Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku tak bisa melakukan apa-apa untuk mencegah semuanya.
            Ya Robb.. bagaimana mungkin semuanya terjadi padaku? Mengapa harus aku yang mengalami ini semua? Terkadang ingin sekali aku memberontak pada kenyataan pahit ini. Namun aku sendiri tak bisa melakukannya.

@@@

          Malam kedua setelah pelatihan ini berlalu. Aku masih sangat percaya diri untuk melakukan aktifitas shalat malam di masjid itu. Rasanya sejuk dan sunyi. Malam ini seakan menjadi malam terindah untukku. Selama aku mengenal sosoknya yang mnyebalkan dan sangat egois, namun malam itu prasangka burukku hilang lenyap. Aku terlalu fanatic menilainya sangat buruk. Aku terlalu egois menilainya sangat jelek. Sampai aku sendiri tidak membaca sisi baik yang ada padanya. Aku terlalu egois mengambil dan menilainya. Kalau pada akhirnya penilaianku salah besar.
            Aku dengan tegarnya membolak-balikkan mukena yang telah aku pakai. Ketika itu tubuhku masih sangat segar dibandingkan dengan malam kemarin. Rasanya sulit untuk aku gambarkan situasi pada mala mini. Jauh berbeda dengan malam sebelumnya.
            “ Mba.. dadaku sesak. Nafasku susah banget. Mba pegang dadaku deh.. “ Gina tiba-tiba datang padaku dan memintaku untuk memegangi dadanya.
            Detakkannya semakin kencang. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang akan menuju ke hatinya. Aku sudah bisa merasakan bagaimana kejadiannya nanti. Aku sudah bisa merasakan apa yang menjadi kendala Gina ketika ia memintaku memegangi dadanya. Getarannya sangat kencang. Dan pada akhirnya..
            “ Gina… gina.. gina bangun gin… jangan kosongin pikiran kamu… istighfar Gin.. “ Aku masih sadar dan kuat untuk membuka mata batinnya. Ia sangat lemah dibandingkan denganku
            Suasana menjadi mencekam ketika dari samping tembok terdengar Yeni terjatuh dan semua orang beteriak kencang. Yah, kejadian yang sama terulang lagi. Kali ini Gina yang mengawali semuanya. Kemudian disusul Yeni yang keadaannya memang sudha lemah.
            Aku berusaha menahan diriku untuk tidak masuk dalam jeratannya. Aku berusaha untuk keluar dari lingkaran aura hitam di sekitarku dan Gina.
            “ Rina.. Nduk.. pulang aja ke penginapan yah. Biar Mba Nina yang nganterin kamu ke sana. Jangan di sini Nduk… “ Mas Refan dengan nada lembutnya memintaku untuk segera meninggalkan tempat dan memisahkan diri dari Gina.
            “ Ia nduk.. Rina.. ayo keuar dan balik ke penginapan aja. Jangan di sini.. ini buat kebaikan kamu juga, Nduk.. “ Mas Eri menambahi
            “ Ia Mas.. nanti aku keluar. Tapi mau benerin kerudung dulu yah.. “. Entah ada hawa apa yang membuat aku ingin tetap di tempat ini. Bersama Gina dan Yeni
            Suasana malam semakin kelam. Aku masih ingat ketika itu waktu menunjukan pukul 00.11 WIB. Aku berusaha keluar dari tempat itu. Mba Nina menggandengku dengan sangat hati-hati. Aku tahu bagaimana perasaan Mba Nina saat itu. Mungkin ia sangat khawatir sesuatu terjadi lagi padaku. Dan ditemani Fitri, aku bersama-sama pulang ke penginapan. Namun, sampainya di tengah-tengah pintu, hawa tubuhku menjadi tidak terkonrol. Hawa dingin itu masuk lagi mencengkram tubuhku. Diselingi dengan hawa panas yang langsung menabrak ubun-ubun sampai ujung jari kakiku. Pandanganku mulai kabur, dan aku tidak bisa lagi untuk melawan kedatangannya malam itu.
            Aku masih bisa merasakan bagaiman tangan dan kakiku terikat oleh sinar-sinar panas yang membelengguku. Aku masih ingat bagaiman bisikan-bisikan masuk ke telingaku dengan sangat panasnya. Aku masih ingat bagaimana satu demi satu orang di sekitarku membisikkan sesuatu. Dan aku masih ingat bagaimana tubuhku diumpamakan seekor kambing yang akan dijadikan qurban. Aku sakit, aku kepanasan, aku lemas, dan aku sangat ketakutan. Aku ingat semua itu. Tapi aku tak tahu siapa yang melakukan smeua itu, dan aku tak bsa mencegah semuanya. Aku tak bisa berkata apa—apa untuk mengatakan bahwa kau kesakitan. Aku kecapean, dan aku kepanasa.
            Ingin rasanya aku berucap istghfar sebanyak mungkin. Ingin rasanya aku bertakbir sebanyak mungkin. Tapi mulutku tak bisa berkata dan berucap seperti apa yang ingin aku katakan. Aku terlalu bodoh untuk melakukan semua itu. Aku terlalu lemah untuk berucap seperti apa yang aku inginkan. Aku tak bisa. Aku tak sanggup.
            “ Aaaargghh…. “
            Perlahan aku buka kelopak mataku. Aku pandangi segala sesuatu di sekelilingku. Aneh, aneh rasanya. Aku lihat dua orang tertidur pulas di dekatku. Apa aku kembali seperti malam sebelumnya? Sempat ada pertanyaan seperti itu melayang di ingatanku. Aku pandangi tiap sudu ruangan yang bisa aku pandangi. Masih tempat yang sama. Tapi dimana mereka? Dimana mereka yang sepertinya membantuku melawan hawa panas itu?
            “ Dek Rina… kerudungnya dipakai dulu yah.. “ Sedikit aku mendengar bisikan itu dari samping. Suara Mas Hendrawan. Ya, Mas Hendrawan yang menyuruhku memakai kerudung.
            Memakai kerudung? Maksudnya aku tidak memakai kerudung? Apa ketika aku melawan semuanya kerudungku terbuka? Astaghfirullah…. Kenapa semua ini terjadi lagi apdaku? Aku malu, aku takut, aku.. aku..
            Dengan sergap aku kenakan kerudungku sebelum kesadaranku hilang lagi. Namun rasanya ada sesuatu yang mengganjal di bagian perutu. Rasanya sakittt sekali, kram, tak bisa untuk mengangkat tubuhku. Aku tak bis abangun dari pembaringanku. Rasanya ada sesuatu yang memaksaku untuk tetap berada di tempat itu. Oh.. ya Robb.. ada apa lagi ini? Kenapa perutku sakit sekali. Aku tak bisa merasakan apa-apa kecuali kram. Tubuhku pun serasa lemas sekali. Kakiku sangat sungkan untuk berpijak. Dan rasanya tak bisa untuk berjalan seperti biasanya. Aku takut sesuatu terjadi lagi padaku.
            Mas Ery datang meraih tubuhku yang sudah tidak bertenaga. Ia, kalau tidak salah lihat, ia memang Mas Ery. Kalaupun sadar, aku tidak mau sampai ditatihnya. Aku sangat malu. Mas Ery dan Mas Doni mencoba membantuku berdiri dan menahan rasa sakit di perutku. Namun, aku sama sekali tak bisa untuk menggerakan kakiku ini. Rasanya sakit sekali.
            “ Masih bisa jalan nggak Nduk..?” Mas Ery mencoba membantuku menghilangkan rasa sakit ini.
            “ Nggak bisa Mas, rasanya perutku kaku banget.. kram.. nggak bisa buat ditekuk. Apalagi kakiku. Kaki sebelah kanan susah digerakan. “ Aku mencoba memahamkan keadaannku pada Mas Ery
            Aku setengah sadar dengan situasi ini. Tubuhku sudah tidak ada tenaga lagi. Rasanya seperti habis perang dengan 1.000 pasukan bersenjata. Sangat lemas dan lemah. Jika untuk mengangkat tubuhku menuju tempat penginapan, rasanya aku sudah tidak sanggup lagi. Aku tidah kuat menahan rasa sakit ini lagi.
           
@@@

            Aku melupakan segala kejadian yang membuat tubuhku menadi lemah ini dnegan becerita dan bercanda ria dengan mereka. Sekadar bercerita konyol saja, mungkin akan sedikit melupakanku akan kejadian dua malam yang lalu. Ada Mas Heri, Mas Doni, Mas Ery, Mas Nino, Mas David, dan Mas Leo yang menghiburku dengan cerita-cerita konyol malam kemarin. Tantang Gina yang berubah menjadi sangat konyol dan lucu. Aku hanya menjadi pendengar setia saja malam itu. Semuanya bercerita seakan menghadapi orang berkebutuhan khusus. Pukul 18.23 WIB kami masih asyik dengan cerita-cerita itu. Sampai aku lupa untuk mengisi perutku yang belum terisi dari kemarin. Rasanya tidak enak untuk memasukan sesuatu ke perut. Mual dan sedikit ada rasa pahit di lidahku.
            Mas Ery mengajaku untuk sekadar jalan-jalan dan ngobrol-ngobrol agar pikiranku tidka kosong lagi. Sepertinya ia sudah mampu membaca apa yang akan terjadi lagi padaku malam ini. Aku sendiri sudah bisa membaca situasi yang akan terjadi malm nanti. Namun aku tak bisa mengatakan ini sembarangan. Aku tahu bagaimana kekhawatiran mereka.
            “ Perutnya masih kram Nduk..? apa udah minum obat?” Mas Ery mencoba memberikan arahan agar pikiranku tidak kosong
            “ Udah mas, tapi perut kram malah dikasihnya obat promagh. Apa nggak lucu yah? (hahahha) “
            “ Ya nggak masalah. Daripada Masbullogh? Ada-ada aja setan bilang masbulogh. (hahaha) “
            Kami tertawa dan mencoba melupakan semuanya dengan candaannya yang kas.  Semua ini belum berakhir, pikirku. Masih ada banyak cerita yang belum terungkap malam itu.
Aku masih belum merasakan hawa itu masuk dan datang kagi menghampiriku. Namun firasatku sudah bisa ditebak. Ada sesuatu yang akan terjadi lagi di tempat ini.
            Pukul 20.12    wib, aku datang ke tempat pelatihan berlangsung. Aku lihat ada dua orang laki-laki yang sangat asing bagiku. Tubuhnya besar dan berkaca mata. Entah siiapa mereka dan apa tujuan mereka datang ke tempat ini.
            “ Nduk.. Rina.. sini masuk dulu. Ada yang mau Mas Haris bicarakan” Mas Haris menghampiriku dan memintaku masuk bergabung dengan sua laki—laki tu
            “ Ada apa Mas..? ko Cuma aku yang dipanggil?”
            “ Nggak ada aa-apa. Masuk dulu aja yah.. nanti juga tahu ko Nduk.. “
            Dengan langkah hati-hati, akuterpaksa menghampiri dua laki-laki itu. Pandanganku asing. Siapa meraka? Aku tak tahu. Aku duduk berderet dengan Mba Sinta sebelah kanan. Sepertinya ini akan menjadi puncak permasalahan yang hampir 2 hari ini menggelora hebat di tempat ini. Dan aku lebih-lebih bersyukur jika memang ini yang terakhir. Aku berharap, setelah ini semuanya tidak akan pernah terjadi lagi daalam hidupku.
            Mas Angga. Ya dia Mas Angga. Entah siapa itu Mas Angga, yang pasti dia akn menyembuhkanku dan melawan hawa panas dalam diriku untuk selamanya. Dan Mas Angga juga yang akan menghilangkan rasa sakit di perutku karena kram yang luar biasa.
            Semua berjalan dengan sangat baik. Rasa sakitku mulai menghilang. Dan daya pikirku tentang hawa dingin itu sedikit demi sedikit menghilang dari tubuhku. Aku merasakan kehangatan dan kenyamanan dalam sukmaku. Aku merasa bebas untuk bergerak. Tak ad alagi dua atau tiga aura yang menghantam jiwaku. Dan aku bisa merasakan kebebasan lagi seperti kemarin-kemarin.
            Menjelang pukul 23.00 wib kami kembali ke kos dengan selamat.
            Sebuah perjalanan hati dan jiwa yang dipenuhi dengan liku-iku dan kerikil tajam. Hingga membuat tubuhku seakan tak berdaya. Tak punyai kekuatan supra untuk melawan semuanya. Namun mala mini, semuanya sudah ditakdirkan untuk kembali seperti semula.
            Terima kasih sejarah yang telah mengajarkan aku tentang makna bersyukur…

            Semarang, 18 Desember 2013