Selasa, 23 September 2014

Jangan Perkosa Aku Lagi, Maya... :(


Tak terlihat tanda-tanda bagaimana “dia” akan datang lagi padaku melalui celah-celah ibu jari kaki, serat-serat kulit kepala, atau ujung kuku jari-jari tanganku. Semuanya berlangsung baik-baik saja. Tak ada yang membuatku merasa aneh atau bagaimana. Semuanya terlihat bahagia dan sedikit orang yang masih terlihat melawan rasa kantuknya. Beberapa anak laki-laki lebih memilih untuk melanjutkan dzikirnya di dalam masjid, sedangkan perempuannya kembali ke penginapan karena besok pagi masih banyak segudang acara yang akan dilakukan lagi.

Suasana malam semakin mencekam. Terdengar suara seseorang yang menjerit dengan tak sadarkan diri. Tina beteriak kencang dan seluruh tubuhnya seakan dikendalikan oleh makhluk lain yang masuk dalam jiwanya. Matanya melotot ke semua arah tanpa terkecuali. Pandangannya menjadi kosong dan suram. Kaki dan tangannya sengaja kami pegang agar tidak terjadi hal-hal yang diinginkan.

Kami mewaspadai sesuatu terjadi lebih parah diantara Yeni dan Tina. Namun dari semua anak laki-laki yang membantu mereka, tak ada satupun yang mampu menyegarkan suasana dan menghentikan keegoisan malam pada diri jiwa mereka. Semuanya membisu. Tak ada yang mampu mengubah keadaan pada sang malam dengan durjana seakan gentingnya suara teriakan merekapun membahana luas diantara keheningan di malam buta.

Aku mencoba membaikkan jiwa-jiwa itu dari kekerasan yang menjelma dalam tubuh Yeni. Ketika itu tubuhnya sangat kuat dan hawa dingin merasuk dalam sendi tulangku. Tak pernah terlintas sedikitpun ketakutan ataupun kecemasan akan sendi-sendi tulangku yang bisa saja merasuk padaku. Yang aku tahu, aku harus mampu dan bisa sedikit demi sedikit menenangkan Yeni. Namun apa daya, tubuhku serasa lunak akan teriakan dan jeritan yang ia lakukan di telingaku. Aku tak mampu menahan amarahku untuk menghantam malam. Aku tak bisa mengubah duniaku menjadi terang se terang bulan malam itu.

“A aarghhh….” Hanya itu yang mampu keluar dari kedua bibirku yang semakin membeku dalam ketabuan malam.

Tubuhku menggiggil. Jiwaku lemah tak berdaya. Hawa panas mulai merasuk melalui pori-pori kulitku. Lalu merasuk melalui sendi-sendi kulit tulangku sampai akhirnya menyebar ke seluruh aliran darahku yang mulai memanas. Aku ingin menahan matahari yang panas itu, namun aku tak sanggup. Aku ingin melawan hawa dingin yang mulai merasuk dalam sukmaku, namun aku tak bisa. Dan aku ingin sekali memberontak sosok di hadapanku dengan sangat kerasnya, namun aku tak berdaya. Aku tak mampu melawan hawaku sendiri. Aku tak sanggup melawanya sendiri. Tubuhku terasa lemah dan lelah.

“ Rina.. rina.. rina bangun. Kamu pasti sanggup melawannya. Dan kamu mampu menahan semuanya. Ayo.. kamu pasti bisa.. kamu pasti kuat… jangan sampai kalah dari dia Rina…”. Aku merasa seseorang membisikkan sesuatu di telingaku.

Aku hanya bisa mengenang peristiwa 8 tahun lalu. Ketika situasi dan kondisi seperti sekarang ini menghantuiku. Ketika tubuhku dikuasi oleh kehadiran sosok yang sampai membuat jiwaku lemah. Semua orang seakan menjauhiku, semua seakan berubah menjadi 1800. Seakan semua keadaan berbalik mencercaku dengan segala carcian kejam. Rasanya ingin sekali aku cepat-cepat berpaling dari kenyataan itu. Aku ingin menghilang dan menghindar dari situasi yang mencekam itu.

Dan kini, peristiwa 8 tahun lalu sekan hadir kembali dalam tubuhku. Peristiwa yang membuat tubuhku tak berdaya. Menjadi lemas, lelah, dan tak terkontrol sama sekali. Peristiwa yang meludahi mimpiku selama bertahun-tahun. Peristiwa yang sampai saat ini masih menggantung jelas di ingatanku. Entah apa yang menjadikan aku seorang budak kerdil yang hanya bisa terkapar lemah tak berdaya. Dikuasai hawa panas yang memberikanku aura hitam. Sampai saat ini, aku sama sekali tak mengerti dengan keadaan yang terus menyiksaku ini. Mengapa aku yang menjadi pelariannya? Mengapa harus aku yang menjadi persinggahannya? Mengapa harus aku juga yang menjadi tempat berbulan madunya? Aku ingin segera bangkit dari keterpurukan ini.

“ Jangan perkosa aku lagi, Maya… cukup masa silam saja kau menyiksaku dengan semua ini. Tapi aku mohon… jangan kali ini.. “ Aku menangis dalam diam

@@@

Denting jam mulai membangunkanku dari tidur panjang, setelah semalaman tubuh dan jiwaku terkuasai oleh aura hitam itu. Aku beralih pandangan ke arah seseorang di dekatku. Hanya ada beberapa orang di sampingku. Hanya ada dia dan dia yang masih setia sekaligus mau mendampingiku sampai aku kembali seperti sedia kala. Aku ingin sekali menggerakkan kedua kakiku, namun rasanya sebuah beton besar menghimpit dan menerkam kedua kakiku dengan sangat kuatnya. Aku coba menggerakkan tanganku, namun rasanya sama seperti ketika aku terkepung ribuan manusia di tengah-tengah padang tandus. Sakit sekali rasanya. Ingin aku beteriak sekencang mungkin untuk mengatakan bahwa tubuhku sama sekali tidak bisa digerakkan. Hanya bibir dan air mata ini yang mampu bicara. Dan mampu memahami kesakitanku kala itu.

Dengan langkah yang terpogoh-pogoh, aku mencoba menguatkan tubuhku hingga sampai saatnya aku bisa berjalan walau tidak tegap dan masih dalam keadaan sempoyongan. Aku benci diriku sendiri. Aku benci “dia” yang tidak melihat dan membaca situasi. Kenapa “dia” datang kembali menggauiliku dengan rasa sakit yang mendalam? Kenapa juga “dia” menerkamku dengan sabitannya yang tajam? Aku tak tahu mengapa. Rasanya ingin sekali aku membunuhnya atau bahkan membuangnya ke neraka.

Semua berjalan dengan sangat baik. Rasa sakitku mulai menghilang. Dan daya pikirku tentang hawa dingin itu sedikit demi sedikit menghilang dari tubuhku. Aku merasakan kehangatan dan kenyamanan dalam sukmaku. Aku merasa bebas untuk bergerak. Tak ada lagi dua atau tiga aura yang menghantam jiwaku. Dan aku bisa merasakan kebebasan lagi seperti kemarin-kemarin.

Menjelang pukul 23.00 wib aku dan beberapa temanku kembali ke kos setelah beberapa hari ini sibuk dengan persiapan pelantikan. Tubuhku sudah mulai membaik, walau banyak luka lebam di bagian kaki, tangan, dan beberapa bagian lainnya.

Sebuah perjalanan hati dan jiwa yang dipenuhi dengan liku-liku dan kerikil tajam. Hingga membuat tubuhku seakan tak berdaya. Tak punyai kekuatan supra untuk melawan semuanya. Namun malam ini, semuanya sudah ditakdirkan untuk kembali seperti semula.

Terima kasih sejarah yang telah mengajarkan aku tentang makna bersyukur…