Senin, 02 Desember 2013

Esay Ku " Ideologi Pengarang Dalam Novel Saman Karya Ayu Utami"


Kritik sastra merupakan hasil usaha pembaca dalam mencari dan menentukan nilai hakiki karya sastra melalui pemahaman dan penafsiran sistematik yang dinyatakan dalam bentuk tertulis (Harjana dalam Asriningsari dan Nazla, 2013: 2). Untuk memberikan penilaian terhadap karya sastra, maka pembaca harus benar-benar memahami, menggauili, menjiwai dan mendalami karya sastra tersebut melalui pengalamannya. Adapun yang dimaksud dengan mendalami dan menjiwai adalah dengan merelakan untuk mau memahami tentang karya sastra tersebut. Dalam kritik sastra, suatu karya sastra diuraikan unsur-unsurnya, diselidiki, diperiksa satu persatu, kemudian ditentukan berdasarkan teori-teori penilaian karya sastra.

Salah satu teori sastra yang akan digunakan dalam menganalisis novel Saman karya Ayu Utami adalah dengan menggunakan sosiologi sastra. Menurut Wellek konsep sosiologi sastra melibatkan sosiologi pengarang, sosiologi karya, dan sisiologi pembaca. Sosiologi pengarang meliputi sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan intuisi pengarang. Pandangan-pandangan wellek dan warren tentang sosiologi karya mencakup pendekatan-pendekatan yang dapat diterapkan di dalam penelitian. Sosiologi pembaca yang terakhir adalah permasalahan pembaca dan dampak sosial karya satra. Sejauh mana satra ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan, dan perkembangan sosial. Novel Saman merupkan salah satu novel karya Ayu Utami yang diterbitkan pertama pada tahun 1998. Novel saman merupakan novel yang ditulis oleh Ayu Utami berdasarkan pengalamannya ketika ia masih menjadi wartawan dan aktifis pada tahun 1990. Ada banyak hal yang ingin ia ungkapkan dalam novelnya berdasarkan kesetaraan genre dan persoalan seks.

Novel Saman merupakan penggambaran kehidupan masyarakat saat novel tersebut diciptakan, yaitu pada masa Orde Baru sekitar tahun 1990’an. Novel Saman merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat Pada masa Orde Baru muncul berbagai konflik salah satunya adalah konflik sengketa tanah di Sei Kumbang, Medan. Peristiwa itu membawakan persoalan berat bagi masyarakat, yaitu akan diubahnya kebun karet menjadi kebun kelapa sawit.

“ Wis melihat wajah-wajah itu, dan ia teringat bahwa kebun karet yang mereka perbaiki bersama-sama pelan-pelan telah menjadi satu-satunya kenyataan bagi petani. Ia juga teringat pertemuannya dengan Upi sudah enam tahun lalu yang menyeretnya hingga begitu terlibat di perkebunan. Namun, kini sanggupkah mereka mempertahankan pohon-pohon itu dari kekuatan yang begitu besar? Haruskan kita bertahan? dan mengundang terror lebih lama? Bukankah yang kita inginkan adalah sebuah desa yang makmur? Tidakkah sebaiknya kita setuju mengubah pohon karet dengan sawit, asalkan perjanjiannya tidak merugikan? Kelapa sawit juga sudah bisa dipanen pada umur lima tahun.. “ (halaman :95)

Novel Saman berani mengungkapkan hal-hal yang dianggap tidak wajar dan aneh yang dialami oleh kaum hawa pada masa itu. Dalam Saman, seks bukanlah bumbu cerita tetapi menjadi bagian dalam cerita itu sendiri. Dengan gamblangnya, para tokoh berbicara tentang seksualitas begitu terbuka, mereka berani menunjukkan hasratnya. Seperti dalam kutipan di bawah ini. “ Vagnisme. Aku pernah mendengar seorang perempuan yang tidak bisa berhubungan seks. Vaginanya selalu menutup setiap kali ada penis di ambangnya baru permisi. Dia trauma pada seksualitasnya hingga ke bawah sadar. Dia di satu ekstrim dan dia di ekstrim lain” (halaman: 126)

Perempuan dalam novel Saman adalah cerminan perempuan Indonesia pada tahun 1900-an, yang masih mengalami ketidakadilan dan penindasan yaitu kurangnya perlindungan hukum untuk menangani kekerasan seksual, ataupun norma masyarakat yang membatasi penggunaan hak seksual perempuan. Tokoh Shakuntala dan teman-temannya tidak mempunyai batasan dalam memililiki peran mereka. Di kota asing ini, setiap kali matahari telah tenggelam ayah menyuruh orang untuk memasung aku pada ranjang. Sebab aku ini keturunan peri. Tapi, tanpa dia tahu, pada malam hari aku belajar menikmati rasa sakit. Pada pagi hari aku belajar menghayati tubuhku menggeliat ketika rantaiku dilepas. Pada siang hari aku belajar di sekolah. Matematika, ilmu alam dan social, juga Pancasila atau prakarya. (halaman: 121)

Pada novel Saman, bukan hanya membahas masalah hukum dan keadilan sosial saja yang dikritik, namun problematika kebudayaan timur pun dibahas. Terutama masalah keperawanan dan seksualitas. Novel Saman tidak hanya menuntut keadilan sosial dan peningkatan status perempuan Indonesia, tetapi juga hak seksual mereka yang tertindas pada masa tahun 1990.

Pandangan dan sikap pengarang terhadap lingkungannya adalah solutif. Hal ini dapat dilihat dari tokoh problematika. Melalui problematika tokoh Saman inilah akan terlihat pandangan pengarang untuk mengatasi problematika yang sedang dihadapinya. Seperti pada kutipan novel Saman karyaAyu Utami

Sesungguhnya persoalan itulah yang ingin dibicarakan Wisanggeni. Dengan hati-hati ia ungkapkan keinginannya. Ia berharap ditugaskan di Perabumulih. Kenapa, tanya yang senior. Saya lulusan institut pertanian, jawabnya. Saya kira banyak yang bisa saya kerjakan di daerah perkebunan. Tetapi, kalau begitu Anda cocok ditugaskan di Siberut, pulau kecil di mana Gereja Katolik punya akar cukup besar di antara penduduk pedalaman yang nomaden, yang mayoritas hidup dari mengumpul panen alam tanpa bertani. Wis mencoba bertahan. (halaman : 42) Sesuai dengan konsep sosiologi sastra yang pertama yaitu sosiologi pengarang, Terang sekali pengarang menggambarkan kondisi lingkungan masyarakat Sie Kumbah pada masa Orde Baru. Kondisi yang mengakibatkan persengketaan antara para petani di perkebunan kelapa sawit. Dan konsep yang kedua yaitu sosiologi karya, melalui karya sastra inilah tersirat bahwa penindasan dan pelecehan seksualitas pada perempuan benar-benar terjadi pada tahun 1990 di Sei Kumbang dan Prabumulih. Dan perlindungan hukum pada perempuan masih sangat minim untuk diperhatikan oleh Pemerintah.

Pada konsep ketiga yaitu sosiologi pembaca, dari isi cerita karya sastra dapat memberi gambaran pada pembaca bahwa terdapat banyak problematika-problematika dalam novel yang kemudian diberiakn solusi oleh pengarang sendiri melalui beberapa tokoh, salah satunya pada tokoh Saman.

Ideology pengarang pada novel Saman terjadi pada akhir cerita Saman yang menulis surat untuk ayahnya. Ia menyatakan bahwa ia menyesal karena tidak bisa memberi ayah keturunan karena dirinya menjadi seorang pastor. Ia bercerita tentang rumah asap yang dibangunnya dengan modal awal dari ayahnya, memohon restu kepada ayahnya untuk tetap tinggal di Perabumulih, dan ia memohon maaf karena dirinya memutuskan untuk keluar dari kepastoran. Karena Saman dan beberapa temannya ingin mendirikan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengurusi perkebunan guna membantu orang Lubukrantau yang tidak lagi mempunyai tanah dan tidak mempunyai pekerjaan. Itulah pandangan pengarang terhadap keadaan dan situasi yang dialami oleh tokoh Saman.

DAFTAR PUSTAKA

Asriningsari, Ambarini dan Nazla Maharani Umaya. Jendela Kritik Sastra Indonesia. Semarang: IKIP PGRI SEMARANG PRESS.
Utami, Ayu. 1998. Saman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
http://yudicermee.blogspot.com/2010/10/pengertian-sosiologi-sastra.html