SEMARANG, 02 Desember 2012
@@@
Namaku Salman. Aku dilahirkan sebagai
anak pertama dari dua bersaudara. Aku
terlahir dari sebuah keluarga miskin yang serba kekurangan. Aku mempunyai
seorang adik perempuan yang usianya terpaut lima tahun di bawahku. Untuk makan saja, kami sering kali
kekurangan. Ibu harus mencari tambahan pekerjaan selain buruh cuci hanya demi
kami anak-anaknya. Namun kegigihannya dalam mendidik aku dan adikku, sangat aku
acungi jempol. Ibu merelakan tubuhnya lemah hanya karena ingin melihat
anak-anaknya menjadi orang yang sukses. Sedangkan ayah, beliau sudah lama
meninggal ketika usiaku masih bekisar 3 tahun.
Ketika itu, usiaku masih sangat
terbilang sangat kecil. Aku masih belum tahu apa-apa. Aku masih seorang anak
laki-laki polos dengan raut wajah sangat unik. Ketika waktunya kami makan, ibu sering
memindahkan sedikit makanan ke piringku. Ia lebih memilih tidak makan
dibandingkan harus melihat anak-anaknya kelaparan.
Ketika itu ibu berkata padaku:
“ Makanlah salman, anakku sayang..Ibu
tidak lapar. Ibu sudah makan tadi di dapur. Makanlah makanan itu. Semoga
menjadi berkah untukmu..”
“ Kapan ibu makan..? dari tadi ibu
bekerja terus mencuci baju-baju pak Darman.”
Kebohongan
ibu yang pertama. Pertama
kalinya aku melihat kebohongan ibu yang membuat aku terisak pilu. Dihadapannya,
aku makan sedikit demi sedikit makanan yang telah ibu berikan padaku. Meskipun
batinku menjerit melihat kelelahan ibu yang sedari tadi mengerjakan pekerjaan
yang seharusnya tidak ia kerjakan. Sedangkan disisi lain, ibu hanya memandangi
aku dengan pandangan sangat gembira. Gembira melihat anaknya bisa dengan
lahapnya memakan makanan ynag layak. Karena selama ini, kami sangat kesulitan
untuk makan yang bisa dibilang layak. Setiap harinya, kami hanya memakan sisa makanan
yang diberikan oleh Pak Darwan, seorang yang sangat dermawan menurut kami. Atau
bahkan, seringkali kami tidak makan sama sekali jika ibu tidak mendapat
pekerjaan. Dan kami terpaksa berpuasa selama satu hari penuh untuk menutupi
kebutuhan kami. Namun itu bukanlah hal yang sangat aneh bagiku. Namun satu hal
yang senantiasa Ibu katakana padaku
“ Makanlah apa yang ada di depan kita.
Anggap saja itu adalah makanan terindah dan terlezat yang pernah kita makan
seumur hidup. Karena makan itu untuk hidup. Bukan hidup untuk makan.”
Itulah hal yang selalu aku ingat setiap
kali Ibu melihat anak-anaknya makan. Ibu sangat tegar dalam menghadapi
kehidupan keras ini. Meskipun aku bukan seorang yang dewasa, namun aku bisa
memahami bagaimana kata yang Ibu ucapkan banyak memberikan inspiratif bagiku.
Sepiring nasi putih dengan lauk tahu dan sambal terasi aku lahap dengan cepat.
Aku sudah terbiasa memakan makanan ala kadarnya. Yang terpenting perutku terisi
dengan sesuap nasi.
@@@
Sepulang sekolah, aku sedikit membantu
meringankan beban ibu di sawah. Biarpun tubuhku masih terlalu kecil untuk
mengerjakan segala pekerjaan orang dewasa, namun aku tak memperdulikan
semuanya. Aku melihat tetes demi tetes peluh dari keningnya. Aku lihat keringat
membasahi tubuhnya yang tersengat panasnya matahari siang itu. Banyak sebagian
dari waktu itu dipenuhi dengan beberapa orang yang bekerja keras menanam padi
mengikuti waktu. Ada pula anak-anak seusiaku yang bermain layang-layang di
persawahan. Ingin aku mengikuti mereka yang dengan sangat senangnya menikmati
masa kanak-kanak mereka. Namun peluh Ibu menyadarkanku untuk tidak menuruti
keinginannku bermain bersama teman-temanku. Dan aku lebih memilih membersihkan
sisa-sisa padi yang sudah kering.
“ Kamu mau main salman..?” Tanya Ibu
saat itu
“ Nggak bu.. aku mau bantu ibu saja ”
Jawabku polos
Aku mengalihkan keinginannku
dihadapannya. Aku tak ingin membuang waktuku terbuang dengan sia-sia. Lebih
baik aku membantu ibu dan menyelesaikan pekerjaannya. Setelah selesai menyelesaikan
pekerjaannya di sawah, ibu mengajakku pergi ke sungai dekat dengan persawahan.
Di sana, aku lihat ibu dengan susah payah mencari ikan-ikan kecil untuk dibawa
ke rumah. Aku lihat semangat ibu yang sangat menggelora mencari kelalaian
beberapa ekor ikan. Berharap hari ini banyak ikan yang bisa ia dapatkan.
Senyumnya mengembang ketika seekor ikan besar terjebak dalam jarring yang ibu
pasang di sudut bebatuan dengan arus air yang sangat deras. Ia melawan peluhnya
hanya demi seekor ikan.
“ Ibu dapat ikan besar salaman..”
Senyumnya ketika itu membiaskan keriangan hari
“ Ia bu..” Aku tersenyum
Setelah mendapatkan beberapa ekor ikan
dengan berbagai ukuran juga, kamipun pulang dengan sangat lega. Karena hari ini
ada sedikit rezeki yang tak terhingga. Walau hanya ikan pinggiran sungai kecil.
Sesampainya di drumah, ibupun membersihkan sisa-sisa lumpur yang masih menempel
pada ikan-ikan itu untuk kemudian ia masaak menjadi makanan yang sangat lezat.
Sedangkan aku bermain dengan Nina adik perempuanaku yang masih sangat kecil.
Bau sedap sop ikan dari dalam rumah sudah sangat terasa sampai di perkebunan
belakang rumah.
Ketika saatnya masakan ibu sudah siap
tersaji rapi di atas meja, lalu aku mengambil satu ekor ikan dengan sopnya yang
sangat menggugah selera, aku santap ikan itu dengan lahapnya. Lalu ibu duduk di
samping aku dan Nina sembari memperhatikan apa yang sedang aku lakukan. Aku
sangat menikmati masakan ibu yang satu ini. Dengan seekor ikan ini, ibu
sanantiasa berharap bisa menjadikan kami anak-anaknya seorang yang pintar dan
tumbuh sehat seperti anak-anak lain,walaupun kami bukan orang yang berada. Aku
memperhatikan ibu yang sedari tadi memakan nasi dengan sop tanpa ikan yang ia
masak sendiri. Dengan sergap aku mengambil sebuah sendok yang aku isi dengan
seekor ikan dan aku berikan ke dalam piring ibu. Namun dengan segera ibu
berkata
“ Makan saja ikan itu salman, kamu tahu
kalau ibu tidak suka makan ikan. Ini buat kamu dan Nina saja. Biar bisa jadi
anak yanag pintar dan kalau sudah besar nanti bisa jadi guru.” Ibu menolaknya
Untuk
kedua kalinya ibu berbohong padakau.
Kebohongan yang menurutku sangatlah
getting. Setahuku, ketika Ayah masih ada ibu senang sekali makan ikan. Terlagi
ikan yang didapatnya dari sungai dekat sawah. Lalu mengapa Ibu mengatakan demikian
padaku..?. aku tatap wajah ibu dengan
penuh haru. Banyak pertanyaan dalam benakku tentang pernyataan ibu padaku.
Lalu aku melanjutkan sisa makanannku
yang sedikit berantakan di atas meja. Ibu tidak memakan masakan yang sudah ia
buat sendiri. Itu kebohongan Ibu kedua yang aku temui.
@@@
Menjelang dewasa, kehidupan kami tidak
ada berubahnya sama sekali. Kami masih tetap menjadi orang yang selalu
menggantungkan hidup dari sampah dan persawahan orang di kampong. Kehidupan
kami masih saja menjadi bahan omongan dan ledekan teman-temanku. Saat ini, aku
duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Dalam keadaan yang sulit seperti ini,
aku selalu mendapatkan prestasi yang luar biasa. Aku senantiasa menjadi juara
kelas. Dan demi menutupi kebutuhan hidup kami serta demi membiayayi sekolah aku
dan Nina, ibu melakukan segala cara untuk pendidikan anak-anaknya. Setiap pagi
ibu selalu menjajahkan kue-kuenya ke kantin sekolah dan ke warung-warung kecil dekat dengan rumah.
Siangnya ibu pergi ke sawah untuk mengerjakan pekerjaan yang telah diminta oleh
Pak Darman. Sedangkan malam harinya, ibu senantiasa menggarap kue-kuenya sampai
larut malam. Sungguh lelahnya pekerjaan ibu demi kehidupan anak-anaknya itu.
Namun ibu tidak pernah mengeluh dengan
keadaan seperti ini. Ia selalu mensyukuri segalanya dengan hati ikhlas dan
lapang. Setiap hari ninalah yang menggantikan pekerjaan ibu di rumah. Mencuci
baju, membereskan rumah, dan memasak. Sedangkan aku membantunya di sawah Pak
Dawman. Namun aku merasa iba setiap kali melihta Nina,adikku. Seusianya sudah
dibebani dengan segala pekerjaan yang tidak seharusnya ia kerjakan.
Suatu malam, ketika itu tepat pukul
21.00 dengan suara angin yang menyelimuti keheningan malam. Setelah
menyelesaikan tugas-tugas di sekolha,akupun membantu ibu membuat beberapa kue yang
ibu buat dengan berbagai jenis. Aku lihat wajah ibu yang sangat kelelahan.
Matanya merah, wajahnya kusam, dan sepertinya ibu memang benar-benar kelelahan
setelah seharian menjajahkan kue keliling kampong. Aku melihat kesibukan ibu
malam itu yang masih bertumpu ada sebuah lilin kecil di sela=sela malam. Dengan
gigihnya ibu terus menempelkan plastic-plastik yang sudah berisi kue ke kobaran
api dari lilin kecil tersebut. Aku sendiri sudah tidak sanggup untuk
melanjutkan pekerjaan itu sampai larut malam begini. Sedangkan ibu, dengan
gigihnya menerjang kantuknya pada malam.
“ Tidurlah Bu..sudah malam. Pasti ibu
sangat lelah dan badan ibu kecapean setelah seharian ini terus dan terus
menjajakan kue keliling kampong. Biar nanti salman saja yang menyelesaikannya..”
Namun, mendengan perkataanku barusan,
Ibu hanya melemparkan senyuman manis ke arahku. Ia hanya menatapku dengan
tatapan hambar dan mendekatiku
“ Tidurlah salman, temani Ninak di
kamar dia pasti juga kelelahan. Besok kamu harus bangun pagi dan berangkat ke
sekolah. Tidurlah..Ibu tidak mengantuk..”
Ibu
berbbohong lagi padaku. Aku
bisa membaca dari sorot matanya yang penuh dengan kantuk. Matanya sudah tidak
bisa dibiarkan lagi untuk menemani cahaya dari lilin kecil itu. Namun demi
pekerjaan yang harus ia selesaiakn besok, Ibu justru berbohong padaku.
@@@
Hari pertama Ujian. Dengan sangat susah
aku mempersiapkan segalanya demi sebuah tujuan yang harus aku dapatkan demi
Ibu. Aku semangat mengikuti hari pertamaku ini dengan sangat gembira. Ibu
sengaja tidak pergi ke sawah dan meminta izin utuk pergi ke sekolah menemaniku
mengikuti ujian hari pertamaku itu. Dengan wajah yang ceria, ibu terus
memberikanku dukunagn dan semangat padaku walau hanya melalui celah kendela
ruangan yang aku tempati untuk melaksanakan ujian.
Aku lihat wajah ibu yang penuh dengan
kebanggaan. Ibu banyak mempersiapkan segala sesuatunya untukku. Bekal makanan,
minuman, dan beberapa kue yang sengaja ibu buat sendiri khusus untukku. Dengan
sangat sabarnya, ibu menunggu sampai ujian hari pertaaku selesai di sebuah
bangku panjang depan kelas. Kekhawatiran menyellimuti hatinya.
Bel berbunyi. Dan menandakan ujian hari
pertamaku selesai dengan baik. Aku berlari menghampiri ibuku tercinta dengan
sangat gembira. Dan ibupun menyambut hangat kedatanagnku dengan sangat
antusias. Lalu aku lihat beberapa makanan kecil di dekat ibu.
Terik matahari sungguh sangat menyita
waktunya. Sehingga keringat terus saja menetes dan membasahi bajunya yang
terlihat sangat rapih dari biasanya. Namun demi menyaksikan aku bergelut dengan
beberapa soal ujian, ibu menghempas terik matahari dengan senyuman hangatnya.
Peluhnya sangat terlihat ketika serat-serat bibirnya mongering dengan
sendirinya. Lalu aku menyodorkan sebotol air mineral yang sangat jernih. Yang
jernihnya tidak bisa mengalahkan betapa jernihnya kasih sayangnya kepadaku.
“ Salman bawa air untuk ibu. Ibu pasti
sangat haus, bukan..? dari tadi salman lihat ibu duduk sendiri di sini dan
keringat ibu sudah banyak yang menetes. Baju ibu juga terlihat basah..”
Aku duduk di samping ibu dan sedikit
memakan kue yang sengaja ibu bawa dari ruamh untukku.
“ Minumlah nak, ibu tidak haus. Kamu
yang mengerjakan soal-soal ujin itu dengan sangat susah. Pasti kamu yang lebih
membutuhkan air minum tersebut..”
Untuk
yang kesekian kalinya ibu berbohong.
Ibu melanjutkan peluhnya di tengah terik matahari yang sangat jahat menempelkan
sinarnya pada baju ibu yang sedikit menerawang. Kemudian aku meminum air yang
sudah ibu sediakan untukku. Aku perhatikan wajah ibu yang penuh dengan rasa dahaga
yang tinggi. Namun ibu masih saja menolak meminum air yang sudah ia siapkan
sendiri untukku, dan justru meminta aku untuk meminumnya.
@@@
Semenjak kepergian ayah beberapa tahun
yang lalu, aku sering memergoki Ibu melamun di kamarnya. Dan semenjak kepergian
ayah pula ibu merangkap menjadi seorang Ibu sekaligus Ayah untuk kami
anak-anaknya. Kehidupan kamipun semakin terpuruk. Beribu masalah selalu datang
menghamipiri kami sekeluarga. Aku sering melihat ibu menangis sembari memandang
foto almarhum ayah di kamar. Semakin hari, kehidupan kamipun semakin tidak terurus.
Namun demi melanjutkan pendidikanku dan nina, ibu melakukan banyak cara untuk
menutupi kebutuhan hidup setiap harinya. Ibu masih melakukan pekerjaan yang
dulu di sawah Pak Darma.
Sebuah cerita unik yang pernah Ibu
ceritakan padaku. Sebelum menikah dengan ayah, Pak Darman pernah mengajak ibu
untuk menikah. Namun karena Ibu sangat mencintai Ayah, akhirnya niat baik Pak
Darman ibu toak tanpa ada sesuatu apapun. Dan semenjak kepergian ayah, ia pun pernah
sesekali mengajaak ibu untuk menjadi pendamping hidupnya.
Pak Darman adalah orang teraya di
kampong kami. Ia salah seorang pemilik sawah-sawah yang digarap oleh beberapa
orang di kampong kami termasuk Ibu. Terkadang ibu sering merasa tidak enak
dengan Pak Darman. Namun demi menutupi kebutuhan hidup kami, ibupun menutup
rapat-rapa rasa itu. Bukan hanya itu
saja. Pak Darman juga sangat baik padaku dan Nina. Kami sering diberinya
makanan-makanan kecil tanpa memberitahu ibu.
Sering aku menghayati. Ibuku memang
masih terbilanag muda dan cantik. Wajar jika banyak laki-laki yang menyukainya
termasuk Pak Darman dan Pak Rusydi, ayah salah seorang temanku di sekolah.
Seringkali ibu juga mendapat beberapa omongan dari beberapa warga disekitar.
Tentang hidup kami setelah ayah tidak ada, tentang status ibu yang sudah lama
menjadi janda, dan tentang kenapa sampai detik ini ibu belum juga mencari
pengganti ayah.
Perah suaatu ketika, aku tak sengaja
mendengarkan perbincangan ibu dengan Ibu Tini, tetangga kami yang sangat baik
dan peduli terhadap kami. Aku mendengar tentang pembicaraan mereka di suatu
sore
“ Lasmi..sudah hampir 10 tahun kamu
menjadi janda. Tidak enak juga dilihat sama tetangga. Apa lagi Pak Darma
kelihtaannya menyukai kamu dan menginginkan kamu menjadi isrtrinya. Kenapa kamu
tidak menikah lagi saja..? biar kehidupan kalian tercukupi. Salman dan Nna juga
bisa punya ayah lagi..”
Namun ibu dengan tegasnya menjawab:
“ Aku tidak butuh cinta. Yang aku
butuhkan kebahagiaan anak-anakku saja..”
Dan
itulah kebohongan ibu untuk kesekian kalinya.
Ibu memang orang yang sangat keras kepala. Padahal aku tahu bagaimana hati ibu.
Ibu sangat kesepian setelah kepergian ayah. Ibu sangat membutuhkan seoang
pendamping untuk mengimbangi kehidupannya bersama kami anak-anaknya. Namun demi
cintanya pada ayah, ibu terpaksa mengubur rasa kesepiannya itu dengan melihat
kebahagiaan anak-anaknya tersebut.
Demi cintanya pada ayah dan demi kami
anak-anaknya, ibu terpaksa berbohong lagi tentang perasaannya. Meskipun aku
tahu sebenarnay ibu juga membutuhkan sosok laki-laki di sampingnya. Ibuku
sangat keras kepala. Ibuku yang sangat mengindahkan kesetiaannya pada sang
suami.
@@@
Semuanya berlalu begitu cepatnya. Setelah aku dan adikku nina lulus sekolah,
aku mendapat kesempatan bekerja di sebuah Perusahaan besar di kota. Sedangkan
nina, ia bekerja di sebuah Bank swasta dan masih tinggal bersama ibu di rumah
yang sedikit sudah mengalami perubahan. Kini rumah itu tidak lagi sebuah rumah
gubug dan kusut. Rumah itu sudah berhasil kami sulap menjadi rumah yang indah
dan sedikit megah dibandingkan rumah yang dulu.
Dua bulan sekali aku pulang ke kampong
halaman dan melepaskan kerinduanku pada ibu dan adikku. Melihat anak-anaknya
sudah bisa menjadi orang besar semua, tak menyulutkan semangat ibu dalam
menjalani kehidupan ini. Ia masih tetap pergi ke pasar menjajakna dagangannya.
Ibu masih terampil membuat aneka roti dan kue sebagai kegiatannya di rumah.
Sesekali ibu memanggil dua orang tetangga untu membantu menyelesaikan
pekerjaannya. Atau sesekali nina bersama teman-temannya berkunjung dan ikut
serta membantu ibu membuat aneka kue.
Aku sangat bangga dengan sosok ibu yang
masih mempunyai semangat tinggi. Diusianya yang sekarang, ibu masih saja
melakukann pekerjaan yang seharusnya tidak ia lakukan lagi. Aku dan nina sering
seklai menasehati dan menyuruh ibu untuk tidak bekerja dan memintanya untuk
istirahat saja di rumah. Namun ibu sangat keras kepala. Ia masih saja melakukan
pekerjaannya. Setiap pagi pergi ke pasar dan menjajkan kue-kuenya ke pelanggan
yang sudah setia menunggunya.
Namun itulah ibu. Ibuku yang sangat
keras. Aku dan nina sring juga
memintanya untuk ikut pergi ke kota nersamaku dan menikmati hari-harinya
bersamaku. Namun ibu tidak mau dan lebih memilih tinggal di kampong. Setiap hari,
aku selalu menyempatkan diri untuk menceritakan semua yang aku lakukan pada
ibu. Aku meminta pendapatnya,nasehatnya, dan aku rindu belaian tangannya. Aku
tidak pernah malu mengatakan pada semua sahaabat-sahabatku di kantor. Bahwa aku
anak paling maja. Meskipun aku laki-laki, namun ketika aku dihadapkan pada ibu,
aku akan berubah menjadi sosok anak bayi yang baru terlahir ke dunia ini dengan
dekapan hangat seorang ibu.
“ Aku baru tahu. Sosok salman yang
tegas dan peberani kalau sudah ngobrol sama ibunya di telfon pasti kaya anak
kacil. Manja sekali..”
Ucap salah seorang teman di kantorku.
Aku hanya membalasnya dengan senyuman hangat. Aku menyadari. Bahwa aku tidak
akan menjadi seperti sekarang ini tanpa Ibu. Tanpa Ibuku tercinta. Dan Geo
seorang temnanku bercerita tentang kehidupannya yang sampai saat ini belum
pernah melihat dan tahu bagaimana ibunya, bagaimana sosok ibunya, dan seperti
apa cantinya ibunya tersebut. Geo ditinggal pergi ibunya sewaktu ia dilahirkan,
ibunya meninggal ketika melahirkannya. Sangat miris sekali. Aku patut bersyukur
masih bisa merasakan cinta dan kasih sayang seorang Ibu.
Setiap bulannya, aku senantiasa
mengirimkan sebagian rezekiku untuk ibu dan adikku nina di kampong. Biarpun
tidak seberapa, dan tidak sebanding dengan kasih sayangnya, namun aku bisa
memberikan sebuah tanda yang tak bisa dihitung dengan apapun. Dan justru ibu
yang mengirim balik uang padaku. Namun dengan lantang ibu selalu menjawabnya
“ Tidak usah salman..tidak perlu kau
buang uangmu untuk ibu. Karena ibu tidak butuh uang kamu nak.karena ibu punya
uang. Yang ibu butuhkan adalah kebahagiaan kamu..”
Kebohongan
ibu yang aku dengar setelah beberapa tahun lalu. Entah kebohongan apa lagi yang akan
ibu katakana padaku..
@@@
Sudah hampir satu bulan ini, aku tidak
menghubungi ibu di kampong karena kesibukanku di kantor. Banyak pekerjaan yang
harus aku lakukan hingga aku tidak mempunyai waktu luang untuk ibu. Dan itu hal
yang sangat aku benci dalam hidupku.
Suatu ketika, kau mendapat kebar dari
nina bahwa ibu masuk rumah sakit karena diabetes akut. Saat itu juga aku
merasakan ada yang hilang dari anggota tubuhku. Aku merasakan ada sesuatu yang
hilang dalam hidupku. Dengan segera, akupun kembali ke kampong halaman dan
menjenguk ibu di rumah sakit dengan berbagai penyesalan dalam batinku. Aku
lihat wajah ibu yang sangat tua itu kesakitan menahan segala penyakit yang
menggerogoti tubuh kecilnya. Aku bisa merasakan bagaimana sakit yang ibu
rasakan saat ini. Seandainya bisa, aku ingin semuanya aku saja yang menanggung.
Biarllah aku saja yang merasakan sakit yang ibu rasakan saai ini.
Aku peluk dan aku ciumi kening ibu
tanpa henti. Danku biarkan air mata ini terus mengalir dari kedua bola mataku.
Lalu aku rasakan sesuatu memanggilku. Ibu membuaka kedua bola matanya dan
meneteskan air mata dihadapanku. Aku lihat pancaran kerinduan dari tatapan
hangatnya. Lalu ibu memelukku erat.
Senyumnya hampar karena menahan sakit yang menggerogoti tubuhnya. Hatiku
sangat perih menyaksikan ibuku dengan keadaan seperti itu. Namun dengan santai
dan senyuman hambar yang tersirat di
wajahnya, ibu berkata:
“ Jangan menangis salaman, jangan
menangis. Ibu tidak sakit ko. Ibu senang kamu bisa datang menemui ibu di sini.
Bagaimana kabar kamu..? dan bagaimana pekerjaan kamu di sana..? baik-baik saja
bukan..? sudahlah jangan menangis lagi..”
Setelah ibu mengucapkan kata-kata itu,
lalu ibu mengembuskan nafas terakhirnya dalam pelukanku. Aku menjerit dengan
sangat kerasnya. Aku menggoyangkan tubuh
ibu dengan air mata yang terus membanjiri tubuh ibu. Kata-kata terakhir itulah dari sekian banyak kebohongan ibu padaku.
Ibu mengatakan bahwa tubuhnya tida terasa sakit. Padahal dari senyumnya saja,
aku sudah bisa erasakan bagaimana sakitnya ibu sekarang. Namun ibu terus saja
menutupinya dengan senyuman hangatnya.
Sekiranya,
aku menyaksikan semua kebohongan demi kebohongan yang sudah ibu katakana
padaku. Namun aku sadar satu hal. Semua yang ibu lakukan selama ini hanyalah
untuk kamu anak-anaknya. Entah bagaimana itu caranya, seharusnya kita bisa
menyadarinya sendiri. Tak ada pelangi yang mampu seindah kasih sayang ibu. Tak
ada batu karang sekuat cinta ibu. Dan tak ada parfum yang mampu seharum cinta
kasih seorang ibu dalam hidup kita.
Kawan
Berdoalah
untuk keselamatannya
Dan
rasakan pelukann cinta dan kasih sayangnya.
Jangan
biarkan engkau menyesal di masa datang .
Kembalilah
pada ibu yang selalu menyayangimu. Dan,
Kenanglah
semua cinta dan kasih sayangnya.