Jumat, 22 Februari 2013

KEBOHONGAN IBU


SEMARANG, 02 Desember 2012

@@@
Namaku Salman. Aku dilahirkan sebagai anak pertama dari dua bersaudara.  Aku terlahir dari sebuah keluarga miskin yang serba kekurangan. Aku mempunyai seorang adik perempuan yang usianya terpaut lima tahun di bawahku.  Untuk makan saja, kami sering kali kekurangan. Ibu harus mencari tambahan pekerjaan selain buruh cuci hanya demi kami anak-anaknya. Namun kegigihannya dalam mendidik aku dan adikku, sangat aku acungi jempol. Ibu merelakan tubuhnya lemah hanya karena ingin melihat anak-anaknya menjadi orang yang sukses. Sedangkan ayah, beliau sudah lama meninggal ketika usiaku masih bekisar 3 tahun.
Ketika itu, usiaku masih sangat terbilang sangat kecil. Aku masih belum tahu apa-apa. Aku masih seorang anak laki-laki polos dengan raut wajah sangat unik.  Ketika waktunya kami makan, ibu sering memindahkan sedikit makanan ke piringku. Ia lebih memilih tidak makan dibandingkan harus melihat anak-anaknya kelaparan.
Ketika itu ibu berkata padaku:
“ Makanlah salman, anakku sayang..Ibu tidak lapar. Ibu sudah makan tadi di dapur. Makanlah makanan itu. Semoga menjadi berkah untukmu..”
“ Kapan ibu makan..? dari tadi ibu bekerja terus mencuci baju-baju pak Darman.”
Kebohongan ibu yang pertama. Pertama kalinya aku melihat kebohongan ibu yang membuat aku terisak pilu. Dihadapannya, aku makan sedikit demi sedikit makanan yang telah ibu berikan padaku. Meskipun batinku menjerit melihat kelelahan ibu yang sedari tadi mengerjakan pekerjaan yang seharusnya tidak ia kerjakan. Sedangkan disisi lain, ibu hanya memandangi aku dengan pandangan sangat gembira. Gembira melihat anaknya bisa dengan lahapnya memakan makanan ynag layak. Karena selama ini, kami sangat kesulitan untuk makan yang bisa dibilang layak. Setiap harinya, kami hanya memakan sisa makanan yang diberikan oleh Pak Darwan, seorang yang sangat dermawan menurut kami. Atau bahkan, seringkali kami tidak makan sama sekali jika ibu tidak mendapat pekerjaan. Dan kami terpaksa berpuasa selama satu hari penuh untuk menutupi kebutuhan kami. Namun itu bukanlah hal yang sangat aneh bagiku. Namun satu hal yang senantiasa Ibu katakana padaku
“ Makanlah apa yang ada di depan kita. Anggap saja itu adalah makanan terindah dan terlezat yang pernah kita makan seumur hidup. Karena makan itu untuk hidup. Bukan hidup untuk makan.”
Itulah hal yang selalu aku ingat setiap kali Ibu melihat anak-anaknya makan. Ibu sangat tegar dalam menghadapi kehidupan keras ini. Meskipun aku bukan seorang yang dewasa, namun aku bisa memahami bagaimana kata yang Ibu ucapkan banyak memberikan inspiratif bagiku. Sepiring nasi putih dengan lauk tahu dan sambal terasi aku lahap dengan cepat. Aku sudah terbiasa memakan makanan ala kadarnya. Yang terpenting perutku terisi dengan sesuap nasi.

@@@
Sepulang sekolah, aku sedikit membantu meringankan beban ibu di sawah. Biarpun tubuhku masih terlalu kecil untuk mengerjakan segala pekerjaan orang dewasa, namun aku tak memperdulikan semuanya. Aku melihat tetes demi tetes peluh dari keningnya. Aku lihat keringat membasahi tubuhnya yang tersengat panasnya matahari siang itu. Banyak sebagian dari waktu itu dipenuhi dengan beberapa orang yang bekerja keras menanam padi mengikuti waktu. Ada pula anak-anak seusiaku yang bermain layang-layang di persawahan. Ingin aku mengikuti mereka yang dengan sangat senangnya menikmati masa kanak-kanak mereka. Namun peluh Ibu menyadarkanku untuk tidak menuruti keinginannku bermain bersama teman-temanku. Dan aku lebih memilih membersihkan sisa-sisa padi yang sudah kering.
“ Kamu mau main salman..?” Tanya Ibu saat itu
“ Nggak bu.. aku mau bantu ibu saja ” Jawabku polos
Aku mengalihkan keinginannku dihadapannya. Aku tak ingin membuang waktuku terbuang dengan sia-sia. Lebih baik aku membantu ibu dan menyelesaikan pekerjaannya. Setelah selesai menyelesaikan pekerjaannya di sawah, ibu mengajakku pergi ke sungai dekat dengan persawahan. Di sana, aku lihat ibu dengan susah payah mencari ikan-ikan kecil untuk dibawa ke rumah. Aku lihat semangat ibu yang sangat menggelora mencari kelalaian beberapa ekor ikan. Berharap hari ini banyak ikan yang bisa ia dapatkan. Senyumnya mengembang ketika seekor ikan besar terjebak dalam jarring yang ibu pasang di sudut bebatuan dengan arus air yang sangat deras. Ia melawan peluhnya hanya demi seekor ikan.
“ Ibu dapat ikan besar salaman..” Senyumnya ketika itu membiaskan keriangan hari
“ Ia bu..” Aku tersenyum
Setelah mendapatkan beberapa ekor ikan dengan berbagai ukuran juga, kamipun pulang dengan sangat lega. Karena hari ini ada sedikit rezeki yang tak terhingga. Walau hanya ikan pinggiran sungai kecil. Sesampainya di drumah, ibupun membersihkan sisa-sisa lumpur yang masih menempel pada ikan-ikan itu untuk kemudian ia masaak menjadi makanan yang sangat lezat. Sedangkan aku bermain dengan Nina adik perempuanaku yang masih sangat kecil. Bau sedap sop ikan dari dalam rumah sudah sangat terasa sampai di perkebunan belakang rumah.
Ketika saatnya masakan ibu sudah siap tersaji rapi di atas meja, lalu aku mengambil satu ekor ikan dengan sopnya yang sangat menggugah selera, aku santap ikan itu dengan lahapnya. Lalu ibu duduk di samping aku dan Nina sembari memperhatikan apa yang sedang aku lakukan. Aku sangat menikmati masakan ibu yang satu ini. Dengan seekor ikan ini, ibu sanantiasa berharap bisa menjadikan kami anak-anaknya seorang yang pintar dan tumbuh sehat seperti anak-anak lain,walaupun kami bukan orang yang berada. Aku memperhatikan ibu yang sedari tadi memakan nasi dengan sop tanpa ikan yang ia masak sendiri. Dengan sergap aku mengambil sebuah sendok yang aku isi dengan seekor ikan dan aku berikan ke dalam piring ibu. Namun dengan segera ibu berkata
“ Makan saja ikan itu salman, kamu tahu kalau ibu tidak suka makan ikan. Ini buat kamu dan Nina saja. Biar bisa jadi anak yanag pintar dan kalau sudah besar nanti bisa jadi guru.” Ibu menolaknya
Untuk kedua kalinya ibu berbohong padakau. Kebohongan  yang menurutku sangatlah getting. Setahuku, ketika Ayah masih ada ibu senang sekali makan ikan. Terlagi ikan yang didapatnya dari sungai dekat sawah. Lalu  mengapa Ibu mengatakan demikian padaku..?.  aku tatap wajah ibu dengan penuh haru. Banyak pertanyaan dalam benakku tentang pernyataan ibu padaku.
Lalu aku melanjutkan sisa makanannku yang sedikit berantakan di atas meja. Ibu tidak memakan masakan yang sudah ia buat sendiri. Itu kebohongan Ibu kedua yang aku temui.

@@@
Menjelang dewasa, kehidupan kami tidak ada berubahnya sama sekali. Kami masih tetap menjadi orang yang selalu menggantungkan hidup dari sampah dan persawahan orang di kampong. Kehidupan kami masih saja menjadi bahan omongan dan ledekan teman-temanku. Saat ini, aku duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Dalam keadaan yang sulit seperti ini, aku selalu mendapatkan prestasi yang luar biasa. Aku senantiasa menjadi juara kelas. Dan demi menutupi kebutuhan hidup kami serta demi membiayayi sekolah aku dan Nina, ibu melakukan segala cara untuk pendidikan anak-anaknya. Setiap pagi ibu selalu menjajahkan kue-kuenya ke kantin sekolah dan  ke warung-warung kecil dekat dengan rumah. Siangnya ibu pergi ke sawah untuk mengerjakan pekerjaan yang telah diminta oleh Pak Darman. Sedangkan malam harinya, ibu senantiasa menggarap kue-kuenya sampai larut malam. Sungguh lelahnya pekerjaan ibu demi kehidupan anak-anaknya itu.
Namun ibu tidak pernah mengeluh dengan keadaan seperti ini. Ia selalu mensyukuri segalanya dengan hati ikhlas dan lapang. Setiap hari ninalah yang menggantikan pekerjaan ibu di rumah. Mencuci baju, membereskan rumah, dan memasak. Sedangkan aku membantunya di sawah Pak Dawman. Namun aku merasa iba setiap kali melihta Nina,adikku. Seusianya sudah dibebani dengan segala pekerjaan yang tidak seharusnya ia kerjakan.
Suatu malam, ketika itu tepat pukul 21.00 dengan suara angin yang menyelimuti keheningan malam. Setelah menyelesaikan tugas-tugas di sekolha,akupun membantu ibu membuat beberapa kue yang ibu buat dengan berbagai jenis. Aku lihat wajah ibu yang sangat kelelahan. Matanya merah, wajahnya kusam, dan sepertinya ibu memang benar-benar kelelahan setelah seharian menjajahkan kue keliling kampong. Aku melihat kesibukan ibu malam itu yang masih bertumpu ada sebuah lilin kecil di sela=sela malam. Dengan gigihnya ibu terus menempelkan plastic-plastik yang sudah berisi kue ke kobaran api dari lilin kecil tersebut. Aku sendiri sudah tidak sanggup untuk melanjutkan pekerjaan itu sampai larut malam begini. Sedangkan ibu, dengan gigihnya menerjang kantuknya pada malam.
“ Tidurlah Bu..sudah malam. Pasti ibu sangat lelah dan badan ibu kecapean setelah seharian ini terus dan terus menjajakan kue keliling kampong. Biar nanti salman saja yang menyelesaikannya..”
Namun, mendengan perkataanku barusan, Ibu hanya melemparkan senyuman manis ke arahku. Ia hanya menatapku dengan tatapan hambar dan mendekatiku
“ Tidurlah salman, temani Ninak di kamar dia pasti juga kelelahan. Besok kamu harus bangun pagi dan berangkat ke sekolah. Tidurlah..Ibu tidak mengantuk..”
Ibu berbbohong lagi padaku. Aku bisa membaca dari sorot matanya yang penuh dengan kantuk. Matanya sudah tidak bisa dibiarkan lagi untuk menemani cahaya dari lilin kecil itu. Namun demi pekerjaan yang harus ia selesaiakn besok, Ibu justru berbohong padaku.

@@@
Hari pertama Ujian. Dengan sangat susah aku mempersiapkan segalanya demi sebuah tujuan yang harus aku dapatkan demi Ibu. Aku semangat mengikuti hari pertamaku ini dengan sangat gembira. Ibu sengaja tidak pergi ke sawah dan meminta izin utuk pergi ke sekolah menemaniku mengikuti ujian hari pertamaku itu. Dengan wajah yang ceria, ibu terus memberikanku dukunagn dan semangat padaku walau hanya melalui celah kendela ruangan yang aku tempati untuk melaksanakan ujian.
Aku lihat wajah ibu yang penuh dengan kebanggaan. Ibu banyak mempersiapkan segala sesuatunya untukku. Bekal makanan, minuman, dan beberapa kue yang sengaja ibu buat sendiri khusus untukku. Dengan sangat sabarnya, ibu menunggu sampai ujian hari pertaaku selesai di sebuah bangku panjang depan kelas. Kekhawatiran menyellimuti hatinya.
Bel berbunyi. Dan menandakan ujian hari pertamaku selesai dengan baik. Aku berlari menghampiri ibuku tercinta dengan sangat gembira. Dan ibupun menyambut hangat kedatanagnku dengan sangat antusias. Lalu aku lihat beberapa makanan kecil di dekat ibu.
Terik matahari sungguh sangat menyita waktunya. Sehingga keringat terus saja menetes dan membasahi bajunya yang terlihat sangat rapih dari biasanya. Namun demi menyaksikan aku bergelut dengan beberapa soal ujian, ibu menghempas terik matahari dengan senyuman hangatnya. Peluhnya sangat terlihat ketika serat-serat bibirnya mongering dengan sendirinya. Lalu aku menyodorkan sebotol air mineral yang sangat jernih. Yang jernihnya tidak bisa mengalahkan betapa jernihnya kasih sayangnya kepadaku.
“ Salman bawa air untuk ibu. Ibu pasti sangat haus, bukan..? dari tadi salman lihat ibu duduk sendiri di sini dan keringat ibu sudah banyak yang menetes. Baju ibu juga terlihat basah..”
Aku duduk di samping ibu dan sedikit memakan kue yang sengaja ibu bawa dari ruamh untukku.
“ Minumlah nak, ibu tidak haus. Kamu yang mengerjakan soal-soal ujin itu dengan sangat susah. Pasti kamu yang lebih membutuhkan air minum tersebut..”
Untuk yang kesekian kalinya ibu berbohong. Ibu melanjutkan peluhnya di tengah terik matahari yang sangat jahat menempelkan sinarnya pada baju ibu yang sedikit menerawang. Kemudian aku meminum air yang sudah ibu sediakan untukku. Aku perhatikan wajah ibu yang penuh dengan rasa dahaga yang tinggi. Namun ibu masih saja menolak meminum air yang sudah ia siapkan sendiri untukku, dan justru meminta aku untuk meminumnya.

@@@
Semenjak kepergian ayah beberapa tahun yang lalu, aku sering memergoki Ibu melamun di kamarnya. Dan semenjak kepergian ayah pula ibu merangkap menjadi seorang Ibu sekaligus Ayah untuk kami anak-anaknya. Kehidupan kamipun semakin terpuruk. Beribu masalah selalu datang menghamipiri kami sekeluarga. Aku sering melihat ibu menangis sembari memandang foto almarhum ayah di kamar. Semakin hari, kehidupan kamipun semakin tidak terurus. Namun demi melanjutkan pendidikanku dan nina, ibu melakukan banyak cara untuk menutupi kebutuhan hidup setiap harinya. Ibu masih melakukan pekerjaan yang dulu di sawah Pak Darma.
Sebuah cerita unik yang pernah Ibu ceritakan padaku. Sebelum menikah dengan ayah, Pak Darman pernah mengajak ibu untuk menikah. Namun karena Ibu sangat mencintai Ayah, akhirnya niat baik Pak Darman ibu toak tanpa ada sesuatu apapun. Dan semenjak kepergian ayah, ia pun pernah sesekali mengajaak ibu untuk menjadi pendamping hidupnya.
Pak Darman adalah orang teraya di kampong kami. Ia salah seorang pemilik sawah-sawah yang digarap oleh beberapa orang di kampong kami termasuk Ibu. Terkadang ibu sering merasa tidak enak dengan Pak Darman. Namun demi menutupi kebutuhan hidup kami, ibupun menutup rapat-rapa rasa  itu. Bukan hanya itu saja. Pak Darman juga sangat baik padaku dan Nina. Kami sering diberinya makanan-makanan kecil tanpa memberitahu ibu.
Sering aku menghayati. Ibuku memang masih terbilanag muda dan cantik. Wajar jika banyak laki-laki yang menyukainya termasuk Pak Darman dan Pak Rusydi, ayah salah seorang temanku di sekolah. Seringkali ibu juga mendapat beberapa omongan dari beberapa warga disekitar. Tentang hidup kami setelah ayah tidak ada, tentang status ibu yang sudah lama menjadi janda, dan tentang kenapa sampai detik ini ibu belum juga mencari pengganti ayah.
Perah suaatu ketika, aku tak sengaja mendengarkan perbincangan ibu dengan Ibu Tini, tetangga kami yang sangat baik dan peduli terhadap kami. Aku mendengar tentang pembicaraan mereka di suatu sore
“ Lasmi..sudah hampir 10 tahun kamu menjadi janda. Tidak enak juga dilihat sama tetangga. Apa lagi Pak Darma kelihtaannya menyukai kamu dan menginginkan kamu menjadi isrtrinya. Kenapa kamu tidak menikah lagi saja..? biar kehidupan kalian tercukupi. Salman dan Nna juga bisa punya ayah lagi..”
Namun ibu dengan tegasnya menjawab:
“ Aku tidak butuh cinta. Yang aku butuhkan kebahagiaan anak-anakku saja..”
Dan itulah kebohongan ibu untuk kesekian kalinya. Ibu memang orang yang sangat keras kepala. Padahal aku tahu bagaimana hati ibu. Ibu sangat kesepian setelah kepergian ayah. Ibu sangat membutuhkan seoang pendamping untuk mengimbangi kehidupannya bersama kami anak-anaknya. Namun demi cintanya pada ayah, ibu terpaksa mengubur rasa kesepiannya itu dengan melihat kebahagiaan anak-anaknya tersebut.
Demi cintanya pada ayah dan demi kami anak-anaknya, ibu terpaksa berbohong lagi tentang perasaannya. Meskipun aku tahu sebenarnay ibu juga membutuhkan sosok laki-laki di sampingnya. Ibuku sangat keras kepala. Ibuku yang sangat mengindahkan kesetiaannya pada sang suami.

@@@
Semuanya berlalu begitu cepatnya.  Setelah aku dan adikku nina lulus sekolah, aku mendapat kesempatan bekerja di sebuah Perusahaan besar di kota. Sedangkan nina, ia bekerja di sebuah Bank swasta dan masih tinggal bersama ibu di rumah yang sedikit sudah mengalami perubahan. Kini rumah itu tidak lagi sebuah rumah gubug dan kusut. Rumah itu sudah berhasil kami sulap menjadi rumah yang indah dan sedikit megah dibandingkan rumah yang dulu.
Dua bulan sekali aku pulang ke kampong halaman dan melepaskan kerinduanku pada ibu dan adikku. Melihat anak-anaknya sudah bisa menjadi orang besar semua, tak menyulutkan semangat ibu dalam menjalani kehidupan ini. Ia masih tetap pergi ke pasar menjajakna dagangannya. Ibu masih terampil membuat aneka roti dan kue sebagai kegiatannya di rumah. Sesekali ibu memanggil dua orang tetangga untu membantu menyelesaikan pekerjaannya. Atau sesekali nina bersama teman-temannya berkunjung dan ikut serta membantu ibu membuat aneka kue.
Aku sangat bangga dengan sosok ibu yang masih mempunyai semangat tinggi. Diusianya yang sekarang, ibu masih saja melakukann pekerjaan yang seharusnya tidak ia lakukan lagi. Aku dan nina sering seklai menasehati dan menyuruh ibu untuk tidak bekerja dan memintanya untuk istirahat saja di rumah. Namun ibu sangat keras kepala. Ia masih saja melakukan pekerjaannya. Setiap pagi pergi ke pasar dan menjajkan kue-kuenya ke pelanggan yang sudah setia menunggunya.
Namun itulah ibu. Ibuku yang sangat keras. Aku dan nina sring  juga memintanya untuk ikut pergi ke kota nersamaku dan menikmati hari-harinya bersamaku. Namun ibu tidak mau dan lebih memilih tinggal di kampong. Setiap hari, aku selalu menyempatkan diri untuk menceritakan semua yang aku lakukan pada ibu. Aku meminta pendapatnya,nasehatnya, dan aku rindu belaian tangannya. Aku tidak pernah malu mengatakan pada semua sahaabat-sahabatku di kantor. Bahwa aku anak paling maja. Meskipun aku laki-laki, namun ketika aku dihadapkan pada ibu, aku akan berubah menjadi sosok anak bayi yang baru terlahir ke dunia ini dengan dekapan hangat seorang ibu.
“ Aku baru tahu. Sosok salman yang tegas dan peberani kalau sudah ngobrol sama ibunya di telfon pasti kaya anak kacil. Manja sekali..”
Ucap salah seorang teman di kantorku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman hangat. Aku menyadari. Bahwa aku tidak akan menjadi seperti sekarang ini tanpa Ibu. Tanpa Ibuku tercinta. Dan Geo seorang temnanku bercerita tentang kehidupannya yang sampai saat ini belum pernah melihat dan tahu bagaimana ibunya, bagaimana sosok ibunya, dan seperti apa cantinya ibunya tersebut. Geo ditinggal pergi ibunya sewaktu ia dilahirkan, ibunya meninggal ketika melahirkannya. Sangat miris sekali. Aku patut bersyukur masih bisa merasakan cinta dan kasih sayang seorang Ibu.
Setiap bulannya, aku senantiasa mengirimkan sebagian rezekiku untuk ibu dan adikku nina di kampong. Biarpun tidak seberapa, dan tidak sebanding dengan kasih sayangnya, namun aku bisa memberikan sebuah tanda yang tak bisa dihitung dengan apapun. Dan justru ibu yang mengirim balik uang padaku. Namun dengan lantang ibu selalu menjawabnya
“ Tidak usah salman..tidak perlu kau buang uangmu untuk ibu. Karena ibu tidak butuh uang kamu nak.karena ibu punya uang. Yang ibu butuhkan adalah kebahagiaan kamu..”
Kebohongan ibu yang aku dengar setelah beberapa tahun lalu. Entah kebohongan apa lagi yang akan ibu katakana padaku..

@@@
Sudah hampir satu bulan ini, aku tidak menghubungi ibu di kampong karena kesibukanku di kantor. Banyak pekerjaan yang harus aku lakukan hingga aku tidak mempunyai waktu luang untuk ibu. Dan itu hal yang sangat aku benci dalam hidupku.
Suatu ketika, kau mendapat kebar dari nina bahwa ibu masuk rumah sakit karena diabetes akut. Saat itu juga aku merasakan ada yang hilang dari anggota tubuhku. Aku merasakan ada sesuatu yang hilang dalam hidupku. Dengan segera, akupun kembali ke kampong halaman dan menjenguk ibu di rumah sakit dengan berbagai penyesalan dalam batinku. Aku lihat wajah ibu yang sangat tua itu kesakitan menahan segala penyakit yang menggerogoti tubuh kecilnya. Aku bisa merasakan bagaimana sakit yang ibu rasakan saat ini. Seandainya bisa, aku ingin semuanya aku saja yang menanggung. Biarllah aku saja yang merasakan sakit yang ibu rasakan saai ini.
Aku peluk dan aku ciumi kening ibu tanpa henti. Danku biarkan air mata ini terus mengalir dari kedua bola mataku. Lalu aku rasakan sesuatu memanggilku. Ibu membuaka kedua bola matanya dan meneteskan air mata dihadapanku. Aku lihat pancaran kerinduan dari tatapan hangatnya. Lalu ibu memelukku erat.  Senyumnya hampar karena menahan sakit yang menggerogoti tubuhnya. Hatiku sangat perih menyaksikan ibuku dengan keadaan seperti itu. Namun dengan santai dan  senyuman hambar yang tersirat di wajahnya, ibu berkata:
“ Jangan menangis salaman, jangan menangis. Ibu tidak sakit ko. Ibu senang kamu bisa datang menemui ibu di sini. Bagaimana kabar kamu..? dan bagaimana pekerjaan kamu di sana..? baik-baik saja bukan..? sudahlah jangan menangis lagi..”
Setelah ibu mengucapkan kata-kata itu, lalu ibu mengembuskan nafas terakhirnya dalam pelukanku. Aku menjerit dengan sangat kerasnya. Aku  menggoyangkan tubuh ibu dengan air mata yang terus membanjiri tubuh ibu. Kata-kata terakhir itulah dari sekian banyak kebohongan ibu padaku. Ibu mengatakan bahwa tubuhnya tida terasa sakit. Padahal dari senyumnya saja, aku sudah bisa erasakan bagaimana sakitnya ibu sekarang. Namun ibu terus saja menutupinya dengan senyuman hangatnya.
 Sekiranya, aku menyaksikan semua kebohongan demi kebohongan yang sudah ibu katakana padaku. Namun aku sadar satu hal. Semua yang ibu lakukan selama ini hanyalah untuk kamu anak-anaknya. Entah bagaimana itu caranya, seharusnya kita bisa menyadarinya sendiri. Tak ada pelangi yang mampu seindah kasih sayang ibu. Tak ada batu karang sekuat cinta ibu. Dan tak ada parfum yang mampu seharum cinta kasih seorang ibu dalam hidup kita.

Kawan
Berdoalah untuk keselamatannya  
Dan rasakan pelukann cinta dan kasih sayangnya.
Jangan biarkan engkau menyesal di masa datang .
Kembalilah pada ibu yang selalu menyayangimu. Dan,
Kenanglah semua cinta dan kasih sayangnya.